PEP, Penindasan Perempuan Ala Korporatokrasi
Oleh : Fitri (Mahasiswi Jember)
Kemiskinan selalu menjadi sorotan dunia. Kemiskinan tidak hanya terjadi di negara kita tercinta ini, melainkan permasalahan internasional yang tak kunjung usai. Pada bulan September 2019 lalu, BPS mencatatat persentase kemiskinan di kota pada September 2019 tercatat 6,56 persen, sedangkan persentase kemiskinan di perdesaan mencapai 12,60 persen. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara di kawasan ini akan terus merosot. Mulai dari 6,3 persen (2018), menjadi 5,8 persen (2019), lalu 5,7 persen (2020), dan 5,6 persen (2021).
Dunia internasional tidak tinggal diam melihat konidi perekonomian saat ini. Mereka melakukan berbagai macam upaya untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bambang Brodjonegoro menegaskan di Forum ECOSOC Thematic Discussion on the Main Theme of the Council “Indonesia’s Experience in Adressing Multidimensional Poverty”, di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat, Kamis (20/7/2017), “Tantangan dalam mengatasi kemiskinan multidimensional membutuhkan intervensi tidak hanya dari sisi pertumbuhan ekonomi, tapi juga konsistensi kita melaksanakan agenda SDG’s. Ini menjadi jawaban relevan terhadap permasalahan pengentasan kemiskinan,” kata Bambang. Salah satu dari 17 program SDG’s di tahun 2030 adalah kesetaraan gender. Pemberdayaan ekonomi perempuan merupakan salah satu cara untuk merealisasikan ide kesetaraan gender tersebut. Perempuan bukan hanya dijadikan objek yang ditentaskan kemiskinannya, tapi juga sebagai subjek yang harus terlibat dalam menyelesaikan masalah kemiskinan.
Perempuan adalah aset berharga sebuah keluarga dan negara yang fitrahnya menjadi ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Kini perempuan diaruskan dan dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Memang benar perempuan itu multitasking (serba bisa), akan tetapi waktu, kasih sayang kepada anak-anaknya dan suaminya juga menjadi berkurang bahkan sering kali terabaikan akibat pekerjaannya. Hal ini dapat menyebakan rusaknya generasi dan maraknya perselingkuhan hingga perceraian. Oleh sebab itu, kesetaraan gender yang mengaruskan perempuan menjadi wanita karir pemuja materi bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Kemiskinan terjadi bukan karena perempuan yang tidak berdaya di sektor ekonomi, akan tetapi sistem kapitalisme yang membuat kemiskinan semakin menjadi-jadi. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme-liberal melahirkan penguasa yang jauh dari rakyatnya, tetapi justru berselingkuhn dengan pengusaha untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka sistem kapitalisme ini meniscayakan kebijakan pasar bebas kapitalis, privatisasi SDA, meniadakan subsidi, dan melakukan ekonomi yang berbasis riba.
Hal inilah yang menimbulkan kemiskinan semakin menganga, pengangguran semakin meningkat, hutang terus meroket, investasi asing semakin menghapus kemerdekaan negara, dan menjadi perrusak generasi bangsa. Sampai kapanpun, apabila sistem kapitalis masih tetap berkuasa di dunia maka masalah kemiskinan tidak akan kunjung reda. Selain itu, penguasa yang harusnya menjadi pelayan rakyat, justru beralih menjadi sahabat pengusaha untuk memeras rakyatnya sendiri (negara korporatokrasi). Penguasa yang disokong oleh dana para pemilik modal akan menjalankan sistem kapitalis, sehingga para penguasa membuatkan undang-undang yang selalu berpihak kepada para pemilik modal.
Alih-alih mengentaskan kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi perempuan, tapi pada kenyataannnya justru mengkokohkan negara korporatokrasi, dengan berbagai cara seperti menyediakan buruh murah, menjaga daya beli masyarakat, meredam konflik yang dilakukan kapitalisme, dan menghancurkan keluarga kaum muslimin.
Dari berbagai macam dampak yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme tersebut, maka satu-satunya solusi yang tepat adalah penerapan ideologi islam secara kaffah (menyeluruh). Islam memiliki solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi di dunia ini, terlebih masalah kemiskinan dan kemuliaan perempuan. Di dalam islam, seorang perempuan justru diberi tempat mulia dengan peran dan fungsi utamanya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbatul bait). Sementara bekerja hanyalah pilihan bagi mereka yang siap dan mampu memikul beban ganda atau bagi mereka yang telah terbebas dari sebagian amanah rumah tangga dan memiliki ilmu yang bisa didedikasikan untuk kemuliaan umat. Maka, tidak ada pilihan lain bagi kita selain mengembalikan peradaban islam yang membuat perempuan berdaya tanpa mengurangi kemuliannya sedikitpun. [visimuslim.org]
Posting Komentar untuk "PEP, Penindasan Perempuan Ala Korporatokrasi"