Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akidah, Syariah, dan Corona


Oleh: Ustadz Yan S. Prasetiadi

Setelah menyaksikan perjuangan berbagai negara di belahan dunia dalam melawan pandemi corona, kini giliran umat Islam di Indonesia diuji melawan pandemi ini. Hingga tulisan ini dibuat, berbagai media nasional menyebut total 309 orang positif corona dan 25 diantaranya meninggal dunia. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan corona, Achmad Yurianto dalam konferensi pres melalui akun youtube (17/3/2020), jumlah tersebut diyakini akan terus bertambah.

Dalam menghadapi musibah ini tentu umat Islam tidak boleh salah bersikap, semisal panik sehingga tidak rasional dalam bertindak, atau terlalu percaya diri dengan semua teknologi, sehingga muncul sikap takabur dan meremehkan pandemi serta membuang nilai spiritualitas dalam menghadapi musibah. Justru, seharusnya umat Islam menunjukan pada dunia, sikap terbaik dalam menghadapi pandemi ini, sesuai ajaran Islam, baik dari sisi akidah maupun syariah, agar dunia mengetahui keagungan ajaran Islam.

Berdasarkan karakteristik ajaran Islam yang terdiri dari akidah dan syariah, maka sikap terbaik yang bisa dirumuskan adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam adalah agama yang mencakup urusan dunia dan akhirat, artinya Islam pasti memiliki cara menyelesaikan segala macam problem kehidupan, namun cara menyelesaikan masalah tersebut diselesaikan dengan mekanisme yang berbeda dengan ideologi lainnya, sebab setiap masalah kehidupan di dunia hakikatnya selalu ada kaitan dengan akhirat, karena manusia di dunia dalam pandangan Islam akan menghadapi hisab di akhirat atas segala amalnya.

Kedua, akidah dan hukum syara’ memiliki karakteristik yang berbeda. Jika berkaitan dengan aktivitas hati, semisal membenarkan atau mengingkari sesuatu; atau mengimani sesuatu tanpa ada tuntutan melakukan perbuatan, semisal beragam kisah dan informasi mengenai perkara ghaib, maka ini semua masuk kategori akidah. Adapun, jika berkaitan dengan aktivitas manusia, yakni manusia dituntut untuk melakukan aktivitas tertentu untuk menyelesaikan masalah kehidupan, maka ini masuk kategori hukum syara’ atau istilah umum dikenal sebagai syariah Islam.

Ketiga, dalam konteks akidah, umat Islam wajib meyakini wabah corona bisa muncul atas izin Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai sebuah ujian yang mengandung hikmah besar bagi umat manusia. Hikmah nyata yang terlihat sekarang, manusia yang dianggap memiliki teknologi maju, negara-negara yang dianggap modern dan mempunyai titel great power atau super power sekalipun, harus mengakui ‘kalah’ dan ‘lemah’ dihadapan makhluk mikroorganisme ini. Begitulah virus yang lebih kecil ketimbang nyamuk ini, mampu memberikan tantangan besar bagi para penguasa dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 26).

Saat tulisan ini dibuat, banyak negara sudah mengeluarkan triliunan dolar, namun vaksin masih belum berhasil ditemukan, sedang korban terus berjatuhan. Uniknya, para ahli medis sepakat mengandalkan ciptaan Allah yang lain, yang bernama ‘imunitas tubuh’. Imunitas atau daya tahan tubuh ini atas izin Allah, sudah ada dalam diri setiap manusia secara gratis, sesuai kadarnya masing-masing. Dua ciptaan-Nya ini, virus dan imunitas, menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Keempat, dalam konteks akidah yang lebih detil, kita meyakini, semisal ajal dan kematian, serta musibah atau ujian yang menimpa seorang muslim, semuanya adalah urusan Allah. Termasuk juga terpaparnya atau tidaknya seseorang oleh virus corona termasuk wilayah kekuasaan Allah. Semua harus disikapi dengan tawakal, menyerahkan semuanya pada Allah subhanahu wa ta’ala. Tetapi sikap tawakal dan keyakinan mengenai musibah dan ajal, tetap harus didudukan dalam wilayah akidah, yakni aktivitas hati, berupa pembenaran segala perkara yang diluar kekuasaan manusia adalah kekuasaan Allah. Sekali lagi, kata kuncinya adalah ‘pembenaran’ bukan ‘harus berbuat apa’.

Kelima, dalam konteks hukum syara’, sebagai seruan pembuat syariah yang berkaitan dengan perbuatan manusia (al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, h. 219). Umat Islam memiliki tugas dan kewajiban melakukan aktivitas atau tindakan tertentu dalam menghadapi pandemi korona yang sudah mencapai negerinya. Bahkan Islam pun mempunyai paket kebijakan yang seharusnya diambil seorang penguasa negeri muslim dalam menghadapi pandemi korona ini. Semua rumusan kebijakan, bisa digali dari beragam dalil syariah yang sudah disimpulkan berdasarkan literasi fikih Islam. Disinilah umat Islam diberi hidayah (panduan) oleh Allah melalui syariah, untuk menjawab ‘harus berbuat apa’ terkait pandemi corona. 

Keenam, sikap penguasa dan rakyat dalam menghadapi pandemi korona wajib terikat hukum syariah, sebab penguasa muslim beserta rakyatnya dalam konteks hukum syara’ terkena hukum taklifi, yakni bentuk hukum perbuatan secara langsung (wajib, sunnah, haram dll), juga hukum wadh’i, yakni ketentuan dalam menjalankan kesempurnaan dan keabsahan hukum syara’ (rukhsah, syarat, sabab dll). Hal ini sesuai implementasi kaidah ushul:

الأَصْلُ في الأَفْعَالِ التَقَيُّدُ بالحُكْمِ الشَرْعِيِّ فَلا يُقَامُ بِفِعْلٍ إِلاَّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهِ

Hukum asal perbuatan terikat hukum syara’, maka tindakan dilaksanakan setelah diketahui hukum syara’nya. (Nizham al-Islam, h. 94).

Ketujuh, dalam konteks penguasa, Islam mengharuskan penguasa mengutamakan kemashlahatan rakyat diatas segalanya, terlebih disaat pandemi coronya semakin meningkat di negeri ini. Artinya kebijakan apapun yang diambil penguasa, tidak boleh berdasarkan kepentingan yang lain, seperti ekonomi, investasi atau perdagangan, namun wajib mengutamakan upaya pencegahan dan menghentikan pandemi corona di negeri ini, apapun resikonya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Seorang Imam adalah pengurus rakyatnya dan bertanggungjawab perihal urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari, 893).

Karena itu penguasa wajib menyediakan secara maksimal: alat pengetesan corona, laboratorium pengujian, rumah sakit khusus pandemi dengan kapasitas besar dan tersebar, tenaga ahli dan medis untuk membuat vaksin secepat mungkin, mengerahkan tenaga kesehatan untuk atasi korban pandemi, menyediakan anggaran besar untuk kesehatan, dan segala hal yang diperlukan untuk menghentikan pandemi. Sesuai kaidah ushul:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sebuah kewajiban tidak akan terlaksana sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib.

Kedelapan, dalam konteks sinergi penguasa dan rakyat, seluruh komponen wajib menjalankan hukum syara’ terkait pencegahan pandemi corona. Ketika sebelum menjadi pandemi (wabah global), penguasa bisa melakukan prosedur karantina bagi para suspect atau isolasi bagi yang positif, sikap seperti ini sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ

“Janganlah kalian mencampurkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR. Al-Bukhari, 5774)

Adapun bagi masyarakat secara umum, bisa melakukan social distancing (menjaga jarak dan hindari kerumunan), baik sebelum atau sesudah wabah corona ini menjadi pandemi. Hal ini mencegah kondisi yang tidak terkendali, berupa penularan yang massif. Sebagaimana riwayat dari Ya’la bin ‘Atha dari Amru bin asy-Syarid dari ayahnya, dia menyebut dalam delegasi tsaqif ada seorang lelaki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan menyampaikan kepada lelaki tersebut:

إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Kami sudah menerima bai’atmu, segera pulanglah.” (HR. Muslim, 2231)

Di dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga jarak dengan utusan dari tsaqif yang diketahui menderita penyakit menular. Kebijakan lainnya yang dilakukan penguasa dan wajib diikuti rakyatnya, adalah melakukan karantina wilayah, atau yang biasa dikenal lockdown. Dalam kaitan semisal Indonesia, lockdown bisa dilakukan secara total satu negara atau bisa hanya dilakukan di daerah, provinsi, atau kabupaten tertentu. Kebijakan lockdown ini menurut para ahli, bisa dilakukan juga diawal kasus corona muncul, meskipun penderita tidak terlalu banyak, alasannya penularan virus corona bersifat deret ukur bukan deret hitung. Upaya karantina wilayah ini, sejalan dengan sabda Nabi shallallu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar wabah (tha’un) berjangkit di suatu negeri, maka janganlah mendatangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di tempat kalian berada, janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya.” (HR. Muslim, 2218)

Ketika lockdown terjadi, umumnya kegiatan ekonomi dan bisnis rakyat akan terkena dampaknya, maka negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok masyarakat sehingga kebijakan karantina wilayah bisa berhasil serta menurunkan atau bahkan menghilangkan tingkat penularan, sehingga pihak medis lebih mudah melakukan penyembuhan para pasian yang menderita corona. Artinya negara melakukan mekanisme distribusi kekayaan melalui jalan subsidi penuh bagi warganya yang terdampak lockdown. Anggaran untuk subsidi kebutuhan rakyat selama masa lockdown bisa diambil dari hasil pengelolaan harta milik umum, seperti hasil dari kekayaan alam Indonesia, tambang emas di Papua, serta dari tambang migas lainnya. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sumber daya alam tersebut milik rakyat:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ

“Kaum muslim mempuyai kepentingan bersama dalam tiga perkara, yaitu: padang, air dan api.” (HR. Abu Dawud, 3477)

Kesembilan, secara lebih detil, berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kaum muslim yang sifatnya dilakukan secara berjamaah pada saat muncul pandemi corona, tentu akan sangat berbeda saat kondisi ketika musibah atau pandemi belum ada. Pada titik ini, hukum syara’ juga punya solusi dalam mengatur ibadah kaum muslimin, disinilah hukum wadh’i mesti diperhatikan oleh umat Islam. Hukum wadh’i yang dimaksud adalah seputar azimah dan rukhshah.

Dalam al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh (h. 245-247) disebutkan ‘azîmah adalah hukum yang disyariatkan secara umum yang wajib dikerjakan. Sedangkan, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan sebagai dispensasi bagi azimah karena udzur tertentu, sementara hukum azimahnya tetap tidak berubah, namun tidak wajib dikerjakan. Jadi pelaksanaan azimah dan rukhshah adalah sama-sama mengamalkan syariah, sehingga tidak bisa dikatakan mengamalkan azimah lebih banyak pahalanya dari rukhshah. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى عَزَائِمُهُ

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla mencintai tatkala diambil rukhshah dari-Nya sebagaimana Ia mencintai ketika dilaksanakan perintah-Nya.” (HR. at-Thabarani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, XI/323)

Kesepuluh, untuk kasus di Indonesia, rinciannya bisa dirumuskan sebagai berikut:

Bagi yang sudah dinyatakan positif corona, maka wajib bersabar dan bertawakal, sebab seorang muslim yang tertimpa musibah akan mendapat pahala jika bersabar dan tawakal, namun ikhtiar kesembuhan juga tetap dilakukan sesuai dalil-dalil umum anjuran berobat. Termasuk yang bersangkutan haram hukumnya menularkan kepada yang lain, semisal ikut shalat berjamaah, shalat jum’at, shalat ied, ikut kumpulan massa besar dll, artinya dia wajib mengisolasi diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Thabarani)

Bagi orang sehat yang tinggal dalam zona merah atau wilayah dengan tingkat penularan tinggi, berdasarkan informasi terpercaya, maka orang tersebut boleh mengambil rukhshah meninggalkan shalat berjamaah, shalat jum’at, shalat tarawih, shalat ied dll, sesuai kaidah:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan. (as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, h. 87)

Bagi orang sehat yang tinggal dalam zona kuning atau wilayah dengan tingkat penularan rendah dan terkendali, berdasarkan informasi terpercaya, maka orang tersebut boleh melaksanakan shalat berjamaah, shalat jum’at, shalat tarawih, shalat ied dll, sesuai kaidah:

كُل فَرد من أفراد المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حُرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً

Sesuatu yang merupakan bagian dari perkara mubah, jika berbahaya atau berpotensi membahayakan, maka hanya sesuatu tersebut yang haram, sedangkan yang lainnya tetap mubah. (Taisir al-Wushul ila al-Ushul, h. 46).

Namun pelaksanaan segala macam kegiatan mesti dilakukan dengan kewaspadaan dan kehati-hatian. Semisal menerapkan social distancing secara individu, shaf agak direnggangkan, waktu pelaksanaan ibadah dipersingkat, jumlah jamaah dibatasi, hindari kontak fisik, sering mencuci tangan dll, sesuai prosedur medis yang disarankan. Sebab seorang muslim diharuskan berlaku ihsan dalam setiap perkara (QS. Al-Baqarah: 195).

Adapun ketika kondisi pandemi corona betul-betul tidak terkendali di suatu wilayah, serta kondisinya mengancam jiwa. Maka dalam kondisi ini seluruh umat Islam di wilayah tersebut, haram melaksanakan segala macam aktivitas yang diduga kuat menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan; menghentikan shalat berjamaah, shalat juma’at, ied dan segala aktivitas yang menjadi kesempatan pandemi memakan korban. Dalam kasus ini, seorang muslim bukan mengambil rukhshah lagi, namun dalam kondisi menjalankan hukum syara’ untuk menghindari kebinasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ 

“Dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).

Dalam hal ini, fatwa MUI terbaru berkenaan pandemi corona sudah cukup dijadikan rujukan umat Islam.

Kondisi terakhir yang perlu diperhatikan adalah, ketika suatu wilayah dinyatakan darurat, semisal darurat nasional, namun informasi tentang sebaran zona merah atau yang terpapar corona sulit didapatkan oleh masyarakat. Maka dalam hal ini, kita berpegang pada kaidah:

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Kepastian tidak bisa dihilangkan karena keragu-raguan. (as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, h. 50)

Jadi kepastian informasi tentang darurat, baik bersifat global ketika dinyatakan pandemi oleh WHO atau dinyatakan darurat nasional oleh pemerintah, sudah cukup memberikan gambaran tingkat bahaya pandemi corona ini. Apalagi ketika media merilis prosentasi kematian yang cukup tinggi di Indonesia. Sehingga ketika ada sebagian umat Islam mengambil rukhshah tidak berjamaah, tidak shalat jum’at, tidak shalat ied dll atau bahkan menghentikan kegiatan rutin di rumah ibadah, maka itu termasuk tindakan yang diperbolehkan.

Penutup, begitulah rumusan Islam menghadapi pandemi corona ini, namun satu yang pasti, umat Islam harus yakin bahwa segala ujian dan musibah ini, pasti akan berakhir. Umat Islam diharapkan bersabar menjalankan hukum syara’ ditengah menyelesaikan pandemi corona. Termasuk yang tidak boleh terlupakan adalah meskipun dalam kondisi seperti ini, kewajiban amar makruf nahi munkar tetap berjalan, mengikuti uslub yang relevan dan terbaik. InsyaAllah setelah semua ini selesai, Allah akan tunjukkan hikmah besar buat negeri muslim terbesar ini. Wallahu a’lam. [www.visimuslim.org]

Posting Komentar untuk "Akidah, Syariah, dan Corona"

close