Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilusi Dalam Wacana Pajak Emisi


Oleh: Afiyah Rosyad (Staf Pengajar Sekolah Pra dan Baligh Khoiru Ummah Paiton)

Tingginya biaya hidup di negeri ini semakin membuat rakyat terpuruk dalam urusan ekonomi. Berbagai kenaikan harga dan tarif menjadi kado bagi rakyat di awal Januari lalu.

Banyak sekali dalih pemerintah saat kenaikan itu harus terjadi. Kesepakatan di antara petinggi negeri mau tidak mau harus direstui. Meski mencekik leher sendiri.

Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat publik heboh. Pasalnya, dia membuat sebuah usulan mengenai pajak atau cukai atas emisi kendaraan bermotor kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dinilainya emisi yang dapat berupa asap knalpot memberikan dampak buruk terhadap iklim. Jakarta, CNN Indonesia (Rabu, 19/02/2020)

Lebih jauh, Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa objek yang dikenakan cukai adalah kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi CO2. Bahlan dia sudah menghitung penerimaan negara atas pajak emisi sebesar Rp 15,7 triliun.

Nominal tersebut seolah bukan nilai yang kecil untuk menopang ekonomi negara. Terlebih wacana ini diusulkan agar pabrik atau produsen kendaraan bermotor beralih produksi, dari kendaraan non listrik yang menghasilkan emisi CO2 menjadi kendaraan listrik sesuai program pemerintah.

Sekilas, wacana ini sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Dapat menyelamatkan negeri. Namun kenyataannya, banyaknya kendaraan bermotor selama ini karena kemudahan dalam mendapatkannya.  Impor kendaraan bermotor juga hal yang biasa di negeri ini. Membelinya pun sangat mudah bagi konsumen.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa meningkatnya individu yang membeli kendaraan bermotor, bukan semata karena pertumbuhan penduduk yang semakin padat. Namun, gaya hidup rakyat yang sudah bergeser. Jika 15 atau 20 tahun lalu, rakyat akan membeli barang yang dibutuhkan dengan hasil kebun, tabungan, kerja, dan lain-lain. 

Saat ini, rakyat diberi fasilitas jual beli utang atau jual beli kredit. Untuk kendaraan bermotor ini dengan sistem leasing yang lengkap dengan bunganya.

Di sisi lain, pemerintah juga memberikan contoh gaya hidup konsumtif dan glamour terhadap rakyat. Tidak bisa lagi membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Belum lagi gaya hidup utang yang diemban oleh negeri.

Jika kemudian wacana pajak emisi digadang-gadang selamatkan negeri, sungguh hal tersebut jauh panggang dari api. Sejatinya nominal Rp 15,7 triliun yang telah dihitung Menkeu tak akan cukup membantu dalam menyelesaikan utang luar negeri.

Pos Pendapatan dalam Sistem Islam

Gaya hidup berutang yang sudah trend di tengah rakyat dan junjungan tertinggi negeri, merupakan hal yang lumrah dalam sistem ekonomi kapitalis. Kapitalisme mengajarkan pada setiap negara yang menganutnya, agar mencurahkan tenaga seminimal mungkin dan meraih keuntungan semaksimal mungkin.

Salah satu cara yang jitu yaitu disuntikkannya dana bantuan atau lebih dikenal utang luar negeri dari Negara maju ke Negara berkembang. Lalu dengan mudah negara penyuntik dana akan mendikte kebijakan sebagai timbal balik atau balas budi. Maka kedaulatan Negara yang dipertaruhkan.

Tak heran jika kemudian kebijakan yang ada di Negara yang berutang pro Asing (Negara pemberi utang). Maka rakyat yang menjadi tumbal dari rakusnya pemerintah atas utang luar negeri tersebut.

Sementara Islam menjabarkan sistem ekonomi dengan jelas dan rinci. Kepemilikan dalam Islam ada tiga. Pertama kepemilikan individu, di sini Islam membiarkan individu rakyat memiliki harta sebanyak mungkin. Islam tidak membatasi jumlahnya, namun Islam membatasi tata cara kepemilikannya harus sesuai syariat Islam dan hartanya adalah harta halal.

Kedua, kepemilikan umum. Maka yang termasuk dalam kepemilikan umum sudah masyhur di khalayak mengenai hadits Baginda Nabi SAW. Yakni manusia berserikat dalam tiga hal: padang gembala, api dan air. Dengan tegas Islam menyatakan bahwa SDA tersebut adalah milik umum, harus dikelola oleh Negara dan didistribusikan untuk kepentingan rakyat. 

Maka listrik, tambang batu bara, emas, migas, dan lainnya harus dikelola Negara, kemudian didistribusikan kepada rakyat. Bukan dijual dengan tarif yang tinggi, rakyat hanya mengganti biaya pengelolaan bahkan bisa jadi gratis.

Ketiga, kepemilikan Negara. Di sinilah pos pemasukan dan pengeluaran benar-benar menjadi tanggung jawab penuh Negara. Islam tidak pernah menganjutkan untuk untang luar negeri sebagai sumber pendapatan. Karena pos pendapatan  Negara dalam Sistem Ekonomi Islam bukan berasal dari utang.

Pos pemasukan antara lain: fai' (harta rampasan perang), jizyah, khoroj, zakat (hanya untuk delapan asnaf saja/mustahiq), sedekah kaum Muslimin, dan pajak. 

Adapun pajak (dhoribah) bukan kewajiban, pajak adalah solusi terakhir jika kas Negara (baitul mal) kosong melompong. Sementara dana yang mendesak dibutuhkan, misal untuk bencana alam baitul mal kosong. Maka pajak akan ditarik dari kaum Muslimin yang kaya saja. Bukan setiap individu rakyat.

Demikianlah pos pemasukan dalam Sistem Islam. Sejatinya, Negara ada sebagai junnah atau perisai bagi rakyat. Negara bertanggung jawab atas kehidupan rakyat. Bukan justru memalak dan mendzolimi rakyat. []

Wallahu a'lam

Posting Komentar untuk "Ilusi Dalam Wacana Pajak Emisi"

close