Ilusi Kesetaraan Gender


Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Revowriter Waringin Kurung)

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu." (TQS. Al Hujurat: 13)

Feminisme Lahir Dari Rahim Sekulerisme

Gerakan feminisme dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan.

Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh ideologi pembuat keputusan, dan ideologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. 

Patriaki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. (Wikipedia). 

Kemudian  virus feminisme ini berkembang ke seluruh dunia tak terkecuali negeri-negeri Muslim. Berbagai derivasi dituangkan dan dipaksakan agar diemban oleh para wanita di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada tanggal 21 November 2019, Komnas Perempuan melakukan siaran pers terkait  "Refleksi 25 Tahun Pelaksanaan Beijing Platform for Action di Indonesia: Komitmen Negara dalam Menjawab Tantangan 12 Bidang Kritis".

Adapun Beijing Platform for Action adalah kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) pada tahun 1995 di Beijing.  Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 hingga 15 September 1995 ini, seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPFA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPFA. 

BPFA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Berikut adalah 12 bidang kritis tersebut: 1) Perempuan dan kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam  situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; 12) Anak perempuan. 

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi CEDAW, bersama dengan negara-negara lain yang juga menyepakati BPFA, wajib membuat review implementasi BPFA sejak tahun 1995. Indonesia juga melaporkan perkembangan pelaksanaan BPFA di forum Asia Pasifik setiap lima tahun, yang kemudian di-review secara utuh oleh Commission on the Status of Women (CSW ) yaitu pada tahun 2000, 2005, 2010, 2015 dan selanjutnya nanti di tahun 2020. Setiap review akan menghasilkan dokumen keluaran yang mendorong komitmen global untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan serta menegaskan aksi-aksi prioritas untuk lima tahun selanjutnya. 

Dalam laporan independen yang diserahkan Komnas Perempuan kepada PBB pada 30 September 2019, Komnas Perempuan menyampaikan analisa capaian dan tantangan sejak 2015, isu-isu yang dilaporkan Komnas Perempuan antara lain, kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai konteks khususnya kekerasan seksual. Dan merekomendasikan hal-hal terkait masih perlu diimplementasikannya instrument HAM terkait CEDAW, perlindungan kelompok minoritas, penghapusan kebijakan yang diskriminatif, penghapusan praktik yang membahayakan termasuk FGMC (sunat perempuan) dan perkawinan anak. (Komnas Perempuan.go.id, 22/11/20)

Para feminis menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, karena selama ini mereka merasa dinomorduakan  di lingkungan publik karena aturan patriarki yang ada. Pertanyaannya benarkah anggapan feminis ini?

Jika melihat awal mula kemunculan feminisme adalah di akhir abad 18, Eropa sedang ramainya dengan revolusi Industri dan Prancis, posisi Islam saat itu sedang dalam kemunduran dan silau melihat kebangkitan Eropa. Bangkitnya Eropa setelah melewati polemik antara gerejawan dan kaum intelektual hingga akhirnya menemukan jalan tengah yang dikenal dengan istilah sekulerisme. Memisahkan kehidupan umum/negara dengan Islam, kaum gerejawan mengurus urusan di gereja sementara negara diurus oleh kaum intelektual. Artinya yang sedang digugat oleh feminisme adalah aturan yang digunakan Eropa saat itu, yaitu sekulerisme.

Namun, seiring berjalannya waktu spirit sekulerisme ini digunakan musuh Islam untuk menusuk umat Islam dan ajaran Islam karena Islam menjadi rival bagi ideologi yang diemban oleh Eropa yaitu kapitalisme. Mulailah menjajakkan ide feminis ke tengah-tengah umat Islam yaitu para muslimah dengan ide-ide dan opini yang sebenarnya bertentangan dengan Islam, misalnya kesetaraan gender bahwa wanita harus sama kedudukannya dengan pria di lingkungan publik.

Islam Aturan Yang Adil Dan  Proporsional

Islam aturan dari Allah Swt dan diemban oleh Rasul Saw untuk disampaikan ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt Sang Pencipta lebih tahu apa yang terbaik untuk ciptaanNya. Di dalam Islam kedudukan laki-laki dan perempuan sama yang membedakan ialah ketakwaannya (QS. Al Hujurat: 13).

Karena Allah Swt menciptakan jenis kelamin yang berbeda, tentu Allah Swt membedakan peran masing-masing baik di ranah publik dan domestik. Tidak mungkin adanya perbedaan jenis kelamin jika semua peran yang dilakukan sama, apa jadinya kehidupan. Misal Allah Swt ciptakan wanita dengan struktur tubuh yang mengikuti jenis kelamin hingga peran yang Allah Swt tetapkan yaitu haidh sebagai ciri rahim siap dibuahi, pembuahan terjadi di rahim wanita bukan di pria karena Allah Swt menciptakan organ tubuh wanita seperti itu. Termasuk melahirkan dan menyusui ialah kodrat wanita yang tak bisa digugat.

Sementara laki-laki dengan fisik yang lebih kuat dari perempuan mempunyai tugas untuk menafkahi apapun bentuknya selama halal menurut Islam. Perbedaan ini adalah sebuah keserasian dan keteraturan. Laki-laki tak mungkin bisa ditukar untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Pahala istri ditentukan seperti itu begitu pula dengan laki-laki, bukan sebuah ketidak setaraan.

Di sisi yang lain, Allah Swt memerintahkan kewajiban yang sama pada laki-laki dan perempuan di antaranya ialah kewajiban berdakwah: " Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah [9] : 71)

Feminisme mendorong kaum perempuan untuk meninggalkan ranah domestik dengan alasan kesetaraan gender, tahukah apa yang terjadi? Pekerjaan rumah yang menjadi kewajiban utama kaum ibu tak terurus dengan maksimal begitupun dengan anak-anak. Gesekan antara suami dan istri tak bisa dihindari sehingga cerai seolah menjadi solusi, akhirnya anak menjadi korban broken home. Tujuan pernikahan mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah jauh panggang dari api, begitupun generasi yang cemerlang tak akan terwujud. Potret keluarga muslim saat ini korban virus feminisme dan tidak dibangun berdasar akidah Islam.

Meningkatnya perceraian hingga setengah juta (detikNews, 28/02/20), fenomena anak bullying, broken home, drugs menjadi pelarian dan kawan, free sex dan aborsi hal biasa, siapa yang dipersalahkan? Bukankah hal tersebut tugas kedua orang tua dalam sebuah pernikahan. Ini akibat jika aturan Allah Swt tidak digunakan, kerusakan yang terjadi bukan hanya di satu sisi tapi di semua sisi. Jadi solusinya adalah segera kembali pada fitrah manusia, kembali kepada Allah Swt aturan yang sempurna dan pasti yang terbaik dari Sang Pencipta. 

Keteraturan, keselarasan, keseimbangan dan mendapat lahan pahala dari masing-masing peran hanya ada di dalam Islam. Wanita dimuliakan oleh anak laki-lakinya, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa yang pertama dihormati ialah ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu. Tak ada aturan yang seperti ini selain aturan Allah Swt.

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20] : 124). []


Allahu A'l Bi Ash Shawab.

Posting Komentar untuk "Ilusi Kesetaraan Gender"