Islam Memuliakan Perempuan


Oleh: Hj. Tia Damayanti, M.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Perempuan)

Tanggal 8 Maret lalu, berbagai negara di dunia memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Sejarah Hari Perempuan Sedunia bermula dari aksi unjuk rasa pada 8 Maret 1909 dan dirintis oleh kaum sosialis di Amerika Serikat.

Temma Kaplan melalui tulisannya “On the Socialist Origins of International Women's Day", dimuat dalam Feminist Studies (1985) mengungkapkan, riwayat perayaan Hari Perempuan Sedunia berawal pada 8 Maret 1857. Saat itu, tulis Kaplan, terjadi protes dari wanita buruh yang bekerja di pabrik tekstil di New York. Tindakan semena-mena dan upah rendah menjadi alasan aksi tersebut. Namun, belum ada dampak lanjutan yang signifikan setelah unjuk rasa itu. Pada perkembangannya, IWD menjadi pengingat akan sulitnya untuk mengkoordinasi dan memperbaiki hak-hak perempuan dari segi sosial, ekonomi, maupun politik.

Peringatan IWD ibarat alarm bagi pemerintah atau masyarakat luas, bahwa hak-hak perempuan masih harus diperjuangkan. Fenomena seperti perkawinan anak, perlawanan terhadap perempuan, pemenuhan hak bagi pekerja perempuan, perdagangan manusia, komersialisasi di media, kekerasan seksual dan tiadanya jaminan kesehatan adalah segelintir dari perdebatan bersama masalah perempuan.

Kesetaraan gender digadang-gadang mampu mengakhiri nestapa perempuan. Kesetaraan gender menjadi isu utama dunia dengan penetapan tahun 2030 sebagai tahun perwujudan Planet 50×50 dan SDGs.  Tahun 2020 menjadi tahun yang sangat penting. Pasalnya, pada tahun 2020 itu genap 25 tahun usia Deklarasi Beijing dan Landasan Aksinya. Apalagi sepanjang tahun 2020, banyak momen penting lainnya dalam gerakan hak-hak perempuan abad ke-21. Termasuk Peringatan 10 tahun pendirian UN Women.

Namun kenyataannya, ide  kesetaraan gender belum juga terwujud. Realitasnya perempuan saat ini masih terbelenggu permasalahan yang pelik. 
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Sepanjang 2019, Komnas mencatat terjadi 2.341 kasus atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang paling banyak terjadi adalah inses, yakni sebanyak 770 kasus. Menyusul berikutnya berkenaan dengan masalah seksual, yaitu kasus kekerasan seksual sebanyak 571 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 536 kasus. (TEMPO.CO/06/03/2020)

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kenaikan sebesar 300 persen dalam kasus kekerasan terhadap perempuan lewat dunia siber, dilaporkan melalui Komnas Perempuan. Kenaikan tersebut cukup signifikan dari semula 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. (Kompas.com/06/03/2020)

Sejak kemunculannya, ide kesetaraan gender tidak mampu menekan kasus yang menimpa perempuan. Alih-alih ingin 'memerdekakan' perempuan, yang ada perempuan malah makin terpuruk. Kekerasan dan kejahatan seksual terus bertambah di Indonesia. Beragam kebijakan dan gerakan mengangkat kesetaraan, namun tidak menyurutkan jumlah dan jenis persoalan yang dihadapi oleh perempuan. Kekerasan seksual, eksploitasi ekonomi, komersialisasi media, dan ketiadaan jaminan kesehatan dan pendidikan, serta berbagai persoalan lainnya terus bertambah bahkan menyasar anak-anak di bawah umur.

Solusi kesetaraan yang ditawarkan justru semakin ke sini menghasilkan masalah-masalah baru. Seperti konflik persoalan disharmoni dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini menunjukkan keseteraan gender bukan solusi tuntas persolan perempuan. Cara pandang liberal hanya mampu melihat persoalan perempuan dari sisi ketidakadilan gender. Sedangkan adil yang dipahami pun condong melawan fitrahnya perempuan.

Pada akhirnya memperjuangkan kesetaraan gender akan mengalami jalan buntu. Karena akar permasalahan perempuan sebetulnya bukan pada kesetaraan gender, melainkan karena sistem kapitalis liberal yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini berasaskan manfaat dan mengagung-agungkan kebebasan. Seseorang bebas beragama atau tidak, bebas memiliki kekayaan, bebas berekspresi dan bebas berpendapat. Sehingga wajar jika di negeri ini meminggirkan agama dan menjadikan agama sekadar ritual saja, karena sekuler merupakan turunan dari kapitalis. 

Islam sebagai agama yang sempurna menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Berikut bentuk perlindungan Syariah untuk menjaga mereka dari berbagai bentuk pelanggaran kehormatan, termasuk masalah kekerasan :

Pertama, Islam memberikan peran berbeda antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan fitrahnya. Hal ini disebabkan ada sejumlah sifat yang hanya dimiliki oleh kaum laki-laki atau kaum perempuan, yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenisnya. Sebagai misal, kaum perempuan mempunyai potensi untuk mengandung dan menyusui anak-anaknya; sementara laki-laki –yang secara fisik lebih kuat– tidak bisa menjalankan fungsi tersebut. 

Maka tugas utama perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga. Dengan peran ini perempuan tidak perlu menghabiskan waktu di ruang publik, bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram, yang membuka peluang terjadinya kejahatan dan kekerasan di ruang publik. Sejalan dengan itu, Islam telah mewajibkan laki-laki untuk menanggung nafkah perempuan (QS. Al Baqarah [2] : 233).

Sistem ekonomi Islam juga menjamin para suami mendapat kemudahan dalam mencari nafkah. Bahkan kebutuhan pokok rakyat menjadi tanggung jawab negara. Negara akan mengelola kekayaan alamnya untuk kemakmuran rakyat. Cara ini akan meminimalisir banyaknya perempuan yang keluar rumah hanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kedua, Syariah Islam menjamin perlindungan perempuan dari tindak kekerasan di ruang privat, seperti rumah. Diantaranya adalah melalui syariat (aturan) pernikahan yang menjamin hak dan kewajiban bagi suami isteri. Dalam Islam, pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri (QS. Al A’raaf [7] : 189).

Rasulullah Muhammad Saw pun bersabda:

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang paling berakhlak mulia, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Dengan demikian semua bentuk hubungan yang menistakan salah satu pihak dianggap pelanggaran terhadap hukum syariat. Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap istri adalah perkara yang dilarang keras dalam Islam.

Ketiga, syariat Islam menutup peluang terjadinya kejahatan terhadap perempuan. Bahkan menghalangi apa saja yang bisa mendorong dan memicu hal itu.
Diantaranya dengan mewajibkan masyarakat untuk menjaga interaksi sosial di antara mereka. Antara laki-laki dan perempuan tidak boleh bercampur-baur. Keduanya wajib menutup aurat, saling menjaga pandangan dan menghindari khalwat.

Islam juga mewajibkan kaum perempuan untuk berkerudung dan berjilbab (berpakaian longgar tanpa potongan), ketika beraktifitas di kehidupan umum. Serta melarang wanita ber-tabarruj, yaitu menampakkan kecantikan dan perhiasan kepada laki-laki bukan mahramnya. Islam juga menghalangi semua bentuk pornografi dan pornoaksi.

Syariah melarang beberapa jenis pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuanan, misalnya pramugari, bintang film, model iklan, penari, penyanyi, peragawati, pramugari, pramuniaga, caddy di lapangan golf dan lain-lain. Semua jenis pekerjaan tersebut hanya akan merendahkan kehormatan perempuan dan berpeluang memunculkan tindakan kekerasan terhadapnya.

Keempat, Syariah Islam akan menjatuhkan sanksi hukum yang keras kepada pelaku kejahatan, termasuk kepada pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan. Sanksi dalam Islam tidak hanya memberikan efek jera, namun juga mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Seperti, bagi para pemerkosa, dia akan dijatuhi sanksi jilid(cambuk) 100 kali bagi pelaku yang belum menikah dan rajam hingga mati bagi yang telah menikah.

Jika pelaku juga membunuh korbannya maka akan dikenai had pembunuhan sesuai dengan jenisnya. Yaitu ia di-qishash (dibalas bunuh), kecuali jika dimaafkan oleh ahli waris korban. Namun pelaku itu harus membayar diyat kepada ahli waris korban sebesar 100 ekor unta. 

Dengan semua itu, peluang terjadinya kejahatan seksual terhadap perempuan benar-benar ditutup oleh Islam.

Kelima, Syariah Islam -yang penerapannya dilakukan oleh Negara Khilafah secara sempurna- akan menjaga ketakwaan semua individu, baik laki-laki maupun perempuan. Takwa menjadi benteng utama untuk mencegah seseorang melakukan pelanggaran kehormatan terhadap orang lain. Dengan mekanisme ini, tindak kekerasan terhadap perempuan akan diminimalisir karena kuatnya rasa takut setiap warga negara terhadap murka Allah SWT.

Demikianlah, Syariah Islam akan mencegah segala tindakan kekerasan terhadap perempuan. Begitu nyata bentuk perlindungan yang dilakukan Syariah dibandingkan sistem kapitalis yang terbukti menistakan perempuan. Khilafah sebagai institusi yang menerapkan Islam akan mengakhiri nestapa perempuan dan akan memuliakannya.

Wallahua'lam..

Posting Komentar untuk "Islam Memuliakan Perempuan"