Kesetaraan Gender, Madu Berbalut Racun


Oleh: Tawati (Koordinator Media Kepenulisan Daerah)

Kesetaraan gender maupun pembangunan berbasis gender di Kabupaten Majalengka sudah menunjukkan perbaikan. Hal itu dapat dilihat sejauh mana keterlibatan dan peran aktif perempuan dalam politik dan ekonomi.

Dikatakan Komisioner Bawaslu Kabupaten Majalengka, Idah Wahidah,  “Kesetaraan gender atau kesetaraan laki-laki dan perempuan mengacu kepada kesetaraan hak, tanggung jawab, kesempatan, perlakuan dan penilaian atas perempuan dan laki-laki dalam kehidupan, politik ataupun di tempat kerja.” 

Di ranah politik, sudah menunjukkan adanya upaya pemenuhan 30 persen kuota perempuan. Sebagai contoh, persentase gender anggota Bawaslu kabupaten Majalengka sudah memenuhi 20 persen, sekretariat Bawaslu sebesar 38 persen, dan panwas sebesar 34,29 persen.

Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh Badan Pusat Statistik (BPS) Majalengka, Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kabupaten Majalengka memiliki nilai 85,43 atau di urutan 23 di Provinsi Jawa Barat.

IPG yang diperoleh BPS kabupaten Majalengka diharapkan menjadi pemacu bagi stakeholders untuk lebih mengoptimalkan peran perempuan dalam pembangunan. (Citrust.Id, 12/3/2020)

Tak dipungkiri, peran publik perempuan makin mendominasi. Sebab target global ide kesetaraan gender salah satunya ialah menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat.

Tak heran bila partisipasi politik perempuan sebanyak 30 persen pun terpenuhi. Semua ini tak lepas dari peran pengusung ide gender yang terus menyuarakannya. Sayangnya, hal ini menimbulkan persoalan baru. Peran ibu menjadi terpinggirkan.

Sibuknya perempuan dalam peran publik membuat rumah tangga terabaikan. Meski masih ada yang merasa sukses memainkan perannya di ranah domestik dan publik, hal itu tak menghalangi tingginya angka perceraian. Bangunan keluarga retak.

Jargon ‘Perempuan harus mandiri secara ekonomi; Jangan bergantung pada laki-laki atau suami’ seolah menjadi mantra yang mampu membius kaum perempuan melupakan hakikat ia diciptakan. Tak memahami hak dan kewajiban, lalu menuntut persamaan hak dan kewajiban yang sebenarnya hal itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta. Dan lagi-lagi, Islam menjadi sasaran isu kesetaraan.

Kesetaraan Gender  yang menganjurkan bahwa perempuan harus menentukan sendiri hak-hak dan peran mereka dalam kehidupan secara fundamental bertentangan dengan akidah Islam, karena di dalam Islam, laki-laki dan perempuan tidak menentukan hak-hak, peran, dan tugas mereka berdasarkan kesetaraan atau keinginan dan kepentingan mereka sendiri, tetapi berdasarkan hukum Allah subhanahu wa ta'ala. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” [TQS Al-Ahzab: 36].

Selain itu, seorang Muslimah tidak menilai keberhasilannya dengan mengukur dirinya dibandingkan dengan laki-laki berikut hak-hak dan tanggung jawabnya, melainkan berdasarkan pada bagaimana penilaian Allah subhanahu wa ta'ala kepadanya dan bagaimana pemenuhan tugas yang telah Dia tetapkan baginya. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” [TQS An-Nisa: 32] 

Islam sudah memiliki paket lengkap bagaimana memperlakukan kaum perempuan. Sejatinya, kaum muslim tak perlu repot-repot mengadopsi ide Barat. Dan tak perlu silau dengan pemikiran dan konsep yang mereka tawarkan. Sebab, apa yang mereka tawarkan sejatinya madu berbalut racun. 

Dengan demikian, kesetaraan gender bukan nilai yang universal; melainkan merupakan konsepsi sekuler barat yang asing bagi budaya dan sejarah Islam. Oleh karena itu, ide ini tidak boleh sampai ditanamkan kepada komunitas-komunitas dan negeri-negeri Muslim, berkedok premis palsu bahwa kesetaraan gender adalah konsep yang netral secara budaya, karena ini adalah sebuah kebohongan.
Wallahua'lam bishshawab

Posting Komentar untuk "Kesetaraan Gender, Madu Berbalut Racun"