RUU Ketahanan Keluarga, Mimpi Keluarga Ideal di Alam Sekuler
Oleh: Anggun Permatasari
Baru-baru ini Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga menjadi buah bibir. Kemunculannya spontan menyita perhatian masyarakat dan membuat antipati.
Masyarakat sangat kontra dengan RUU ini karena dinilai terlalu jauh mencampuri ranah pribadi individu. RUU ini juga dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Mengapa demikian? karena pasal-pasalnya banyak yang membatasi gerak perempuan. Isu terkait kesetaraan gender sangat kontras dalam RUU ini. Kaum feminis tidak akan suka diatur dan dibatasi. Pastinya kaum feminis tidak akan tinggal diam apabila RUU ini sampai lolos menjadi UU.
RUU ini juga menyinggung masalah penyimpangan seksual dan sejenisnya. Pastinya, RUU ini membuat gerah kaum pelangi yang saat ini justru sedang berjuang mendapatkan pengakuan secara legal.
Kebanyakan masyarakat menganggap, sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020, RUU Ketahanan Keluarga disinyalir mirip tata kelola Orde Baru untuk meregulasi ranah domestik yang otoriter dan militeristik. (Tirto.id)
Adapun menurut International for Criminal Justice Reform (ICJR) ada tiga poin soal RUU ini yang perlu dikritisi: 1. Mereduksi peran agama. Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu menilai, RUU Ketahanan Keluarga mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis. 2. Diskriminasi gender. 3. Dinilai menghina kelompok miskin. (Kompas.com)
Di negeri yang mengadopsi sistem demokrasi sekuler liberal, wajar jika rakyatnya tidak akan pernah suka apabila negara terlalu mengatur urusan pribadinya. Masyarakat terlanjur menikmati kebebasan dalam segala hal. HAM digadang-gadang menjadi alasan ketidaksukaan pada hal-hal yang bersifat mengganggu kenyamanan individu.
Baik pria maupun wanitanya sama-sama suka kebebasan. Mereka tidak suka dengan sesuatu yang terikat. Kalaupun ada yang mampu berkomitmen dalam sebuah institusi pernikahan, biasanya ada perjanjian pranikah yang isinya tidak diperkenankan mengatur atau mencampuri urusan karir satu sama lain.
Tak pelak saat ini laman-laman berita banyak dihiasi dengan berita angka perceraian yang merangkak naik. Contohnya di Kota Makassar, pada 2019 meningkat dari tahun sebelumnya. Perkara perceraian disebabkan masalah ekonomi, cekcok, hingga pasangan memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Di Solok Sumatera Barat, 25 persen dari seluruh kasus perceraian yang terjadi akibat perselisihan terus menerus yang dipicu oleh penggunaan media sosial (medsos). Angkanya meningkat dalam 3 tahun terakhir. (Detiknews.com)
Saat ini sudah menjadi tren bahwa orang tua memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup sesuai keinginan dan kenyamanan mereka. Misalnya, ketika si anak bercita-cita ingin menjadi aktris. Orang tua akan mendukung sepenuhnya tanpa melihat apakah menabrak aturan agama atau tidak.
Bahkan, orang tua saat ini menyerahkan sepenuhnya pilihan keyakinan kepada anak-anaknya. Padahal, salah satu kewajiban orang tua adalah memupuk aqidah anak-anaknya agar kuat dan kokoh juga menjaga agar senantiasa istiqomah.
Berangkat dari kasus-kasus tersebut lahirlah kepedulian sekelompok orang untuk menciptakan suasana keluarga yang harmonis dan ideal, melalui RUU Ketahanan Keluarga ini. Namun, faktanya tetap saja ditolak mentah-mentah oleh rakyat yang terlanjur terpapar kehidupan liberal di alam sekuleristik.
Keluarga ideal yang harmonis dalam alam sekuler liberal adalah angan-angan. Selama sistem salah yang dianut selama ini belum dihempaskan, angan-angan itu mustahil menjadi kenyataan.
Rezim sekuler sejatinya tidak akan mampu memberi solusi tuntas atas masalah yang terjadi dalam tatanan keluarga. Faktanya, masalah tidak hanya berasal dari rumah tangga atau individu. Lingkungan yang kondusif/sakit dan aman/rusuh punya andil besar dalam membentuk kepribadian seseorang.
Dan faktor yang tidak kalah penting saat ini yang menjadi pintu masuk segala informasi yaitu media. Saat ini, orang tua membutuhkan media yang informatif dengan konten yang positif dan mendidik. Dewasa ini, pergaulan yang kebablasan membuat orang-orang salah kaprah menggunakan media. Sehingga, yang banyak berseliweran justru konten-konten negatif dan tidak mendidik.
Peran negara juga sangat dibutuhkan. Kebijakan yang adil, komprehensif dan melindungi tentunya akan menciptakan suasana kehidupan yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya. Tersedianya lapangan kerja bagi kepala keluarga, sistem pendidikan bermutu, sarana prasarana kesehatan yang memadai juga sangat dibutuhkan untuk mencapai keluarga yang sejahtera dan ideal.
Akar masalah dari problematika saat ini sangat sistemis. Tapi, pemerintah justru menyelesaikannya hanya secara parsial bahkan cenderung kontraproduktif dan justru memunculkan masalah baru dalam keluarga.
Keluarga ideal dan harmonis hanya akan terwujud dalam sistem Islam, Daulah Khilafah. Khilafah memiliki seperangkat aturan yang tidak dimiliki sistem lain. Daulah Islam memiliki sistem ekonomi nonribawi, sistem pendidikan Islam berbasis aqidah, pengelolaan sumber daya alam dan distribusi yang adil. Dan juga sistem informasi yang memadai.
Islam juga memberikan sanksi sesuai syariat Islam. Sehingga lingkungan masyarakat akan senantiasa terjaga keamanan dan kenyamanannya.
Dengan begitu dalam kehidupan bernegara akan terbentuk suasana Islam. Masyarakat dan keluarga secara perlahan juga akan memiliki nilai-nilai keislaman. Dengan sendirinya pemahaman mengenai halal dan haram akan terbentuk utuh, hak dan kewajiban akan berjalan bersinergi. Sehingga negara tak perlu sampai ikut campur ke ranah fikih keluarga. Negara fokus pada tugasnya mengurus kepentingan umat.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96). []
Posting Komentar untuk "RUU Ketahanan Keluarga, Mimpi Keluarga Ideal di Alam Sekuler"