Bahaya Infiltrasi Komunisme dalam RUU HIP



Webinar today, Sunday 21 Juni 2020

Oleh: Pierre Suteki

Sejak pembuatan Naskah Akademis (NA) RUU HIP patut diduga telah timbul niat untuk melakukan perubahan atas Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi sebuah Dasar Bernegara sesuai gagasan individu Ir Soekarno (Soekarnoisme) yang dikenal dengan pemerasan Pancasila menjadi Trisila, yakni Sosio nasionalisme, Sosio demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan dan hingga Ekasila, yakni Gotong Royong. Upaya ini tertuang dalam Pasal 7 RUU HIP yang berbunyi:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. 
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. 
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. 

Siapa yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? Ir. Soekarno lah yang telah mengajukan ide untuk memeras Pancasila itu jika istilah Pancasila tidak disetujui. Apakah disetujui oleh BPUPKI dan Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta? Jawabnya: Tidak! Terbukti hingga Piagam Jakarta dan UUD NRI 1945 kelima sila tidak diperas menjadi Trisila hingga Ekasila, gotong royong. Lalu mengapa kita masih "ber-halu" kepada memory pada awal tahun 1945 ketika pembahasan dasar negara dilakukan. Keadaan ini sangat rawan menimbulkan gesekan antar golongan yang tidak berkesudahan seperti situasi yang terjadi selama sidang Badan Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Kata orang Pancasila sudah final, tetapi mengapa masih juga ditafsirkan bahkan sengaja mau diperas-peras hingga menjadi Ekasila, gotong royong? Gotong rotong macam apa? Ala komunis, ala liberalis, ala Pancasila yang seperti apa? Yang mendekati komunis, yang sekuler? Pemerasan itu justru menimbulkan keadaan sulit ada pemahaman Pancasila yang utuh. Oleh karena itu Pancasila tidak boleh diperas-peras dan pemerasan itu patut diyakini sebagai sebuah upaya untuk mengganti isi Pancasila hingga mengganti Pancasila itu sendiri.

Fakta hukum berikutnya juga mengindikasikan bahwa patut diduga terjadi perencanaan Makar Dasar Negara/Idelogi yang dilakukan oleh Pengusung Ideologi Komunisme (PIK) dan oleh karenanya perlu dicurigai telah menjadi "penumpang gelap" dalam penyusunan RUU HIP. Beberapa indikasi adanya perencanaan oleh penumpang gelap ini dapat diungkap melalui beberapa bukti argumentatif yang secara substantif dapat dibaca dalam RUU HIP, berikut ini:

1. Cacat Ideologis Politik Hukumnya

Politik hukum RUU HIP dapat kita telusuri melalui konsideransnya. Pada konsiderans RUU Ideologi ini tidak mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi dasar peraturan diterbitkannya RUU Ideologi negeri ini yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai tonggak sejarah keberlakuan UUD 1945 dan Pancasila yang murni dan konsekuen sehingga kita tahu, bahwa Pancasila yang dimaksud HIP ini tetap harus Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak dapat diperas menjadi TRISILA apalagi EKASILA.

Adapun Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 mengatur tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Penyebaran Ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme. HIP adalah menyangkut ideologi maka, harus ada sikap tegas terhadap ideologi lain khususnya ideologi Komunisme yang dianut oleh PKI yang secara terang-terangan telah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap NKRI.

2. Distorsi Pokok-pokok Pikiran Sila Pancasila

Istilah pokok pikiran dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pertama kali kita temukan pada Penjelasan UUD 1945. Ada empat pokok pikiran yang kita kenal yang tidak lain adalah lima sila Pancasila yang disebut secara utuh, tidak satu kata yang dianggap sebagai pokok pikiran. Pada Pasal 3 (1) disebutkan tentang Pokok-pokok pikiran Haluan Ideologi Pancasila memiliki prinsip dasar yang meliputi: a. ketuhanan; b. kemanusiaan; c. kesatuan; d. kerakyatan/demokrasi; dan e. keadilan sosial. Pokok pikiran HIP ini mendistorsi sila-sila Pancasila karena hanya menyebutkan kata dasarnya. Seharusnya prinsip dasar HIP tetap sila-sila Pancasila yang utuh. Jadi harus: Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa harus demikian? Karena ada konsep lain ketuhanan, yakni ketuhanan yang berkebudayaan seperti konsep Ir. Soekarno. Juga harus Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Mengapa karena ada kemanusiaan ala komunisme (memasung HAM) dan liberalisme (pengutamaan HAM). Juga bukan kesatuan, tetapi Persatuan Indonesia, dan seterusnya. Kita tidak ingin sila yang sudah dasar itu diperas hingga dapat dimaknai secara berbeda. 

3. Pergeseran Sendi Pokok Pancasila

Dalam Pasal 6 (1) HIP disebutkan bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pergeseran sendi ini amat berbahaya bagi corak kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Apakah kita lupa bahwa negara Indonesia ini adalah negara yang berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945). Apa artinya itu? Artinya sendi pokok negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula sendi pokok Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Keadilan Sosial. Hal ini harus dipertegas mengingat bila digambarkan secara piramidal maka puncak Pancasila itu bukan keadilan sosial melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi esensi, sendi pokok, ruh dari keempat sila lainnya. Menjadikan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila dapat menyeret kita ke arah keadilan sosial ala komunis (ateis) dan kapitalis (sekular). Apakah kita mau mengarahkan kehidupan kita pada konsep keadilan sosial kedua ideologi komunis tersebut?

RUU HIP tidak layak menjadi UU jika ditinjau dari Naskah akademis maupun substansinya. Distorsi teks dan konteks Pancasila telah membuktikan bahwa ada hidden agenda dibalik penyusunan RUU HIP ini. Kecurigaan itu tetap perlu dilakukan mengingat bahaya latent ideologi komunis itu tetap dan terus akan ada. Menyusup segala lini arteri kehidupan anak bangsa. Dying-nya akan manifest jika ruang gerak serta situasi dan kondisi siap untuk dijalankan aksi. Memaksakan HIP menjadi sebuah UU adalah langkah mundur menuju perdebatan ideologis yang tidak akan berkesudahan dan hal ini pasti akan memporak-porandakan bangunan persatuan dan kesatuan anak bangsa di bawah naungan NKRI.

Terakhir perlu ditekankan bahwa, seandainya pun karena kritik masyarakat lalu Tap MPRS XXV 1966 ini dimasukkan ke RUU HIP dan persoalan Trisila dan Ekasila ditiadakan, bukan berarti selesai masalah. Intinya RUU HIP telah MEN-DOWN GRADE PANCASILA sebagai Falsafah Dasar Negara dan Norma Dasar Negara (Grundnorm) menjadi Norma Hukum Positif (instrumental) yang dapat dipakai sebagai ALAT GEBUK bagi pihak yang berseberangan dengan rezim.

Semarang, 21 Juni 2020

Tabik...!!!

Posting Komentar untuk "Bahaya Infiltrasi Komunisme dalam RUU HIP"