Impor Tak Terkendali di Tengah Pandemi
Oleh: Susi Firdausa
Di saat mata dan segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebaran Covid-19, lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membuat warga +62 mengurut dada. Terutama para petani. Para pejuang bercaping itu harus berbesar hati menyandingkan hasil produksi lahannya dengan sayuran dan berbagai komoditas pangan luar negeri. Tak ada pembelaan dan perlindungan terhadap petani di negeri sendiri.
Dengan dalih menjaga ketersediaan barang konsumsi kebutuhan rakyat yang terjangkau, pada 8 April lalu Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 58 Tahun 2020 yang mengatur penataan dan penyederhanaan izin impor untuk kebutuhan bahan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku dan penolong.
Dalam pasal 2 Perpres tersebut, jenis perizinan impor dapat berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan. Sementara pasal 6 menyatakan, "BUMN dapat ditugaskan untuk melaksanakan impor produk/barang untuk pemenuhan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1). Perpres ini juga mengatur bahwa barang impor untuk pemenuhan kebutuhan dapat diberikan fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai.
Realisasi dari kebijakan pelonggaran izin impor dalam Keppres tersebut adalah melonjaknya nilai impor berbagai komoditas. Dilansir katadata.co.id (23/4/2020), Kementerian Perdagangan telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana mencatat, impor bawang putih yang sudah masuk ke tanah air tanpa Persetujuan Impor (PI) mencapai 28 ribu ton.
"Jumlah bawang putih yang masuk mencapai 48 ribu ton. Dari jumlah itu, 20 ribu ton memakai PI, sementara 28 ribu ton masuk tanpa PI," kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Kamis (23/4). Hal tersebut mencerminkan importasi bawang putih dapat dilakukan dengan mudah. Dengan demikian, siapa pun dapat melakukan impor bawang putih.
Komoditas lain yang mengalami peningkatan impor yang cukup tajam adalah ampas/sisa industri makanan, pupuk dan sayuran. Sementara dalam hal volume impor, Tiongkok tercatat sebagai negara penyuplai terbesar, disusul Amerika dan Italia. Menunjukkan dengan jelas ketergantungan yang besar terhadap negeri tirai bambu itu.
Lonjakan impor di saat pandemi ini terjadi karena dua alasan: 1) Klaim sepihak bahwa produksi lokal menurun, dan 2) Pelonggaran syarat impor yang dituangkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2020.
Kementerian Perdagangan dan Pertanian berbeda sikap menghadapi soal impor di masa pandemi. Secara jelas menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Rencana swasembada atau kemandirian pangan yang digagas Kementerian Pertanian tentu saja tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat Kementerian Perdagangan sekaligus kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor. Situasi pandemi dijadikan alasan untuk memuluskan keinginan mereka.
Tentu saja yang paling merasakan keuntungan di balik kebijakan ini adalah kalangan pemilik modal. Inilah watak asli sistem kapitalisme yang juga diterapkan di negeri ini. Kepentingan pebisnis dan pengusaha di atas segalanya. Nasib petani semakin mengenaskan akibat kebijakan pelonggaran izin impor ini. Sebelum kebijakan ini dituangkan saja nasib petani sudah mengiris hati, apalagi dengan dikeluarkannya kebijakan ini. Sungguh hati nurani penguasa tak lagi berfungsi.
Pelonggaran izin impor telah membawa dampak negatif bagi petani dengan mangkrak dan anjloknya harga hasil panennya. Dengan dalih ketahanan pangan dan penyediaan kebutuhan rakyat, kebijakan yang mengebiri pendapatan petani pun dikeluarkan. Jika ketahanan pangan dimaknai sebagai kemampuan sebuah bangsa untuk menjamin kecukupan rakyatnya dalam memperoleh pangan bermutu baik, aman dan berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan keragaman sumberdaya lokal, maka kebijakan pelonggaran izin impor sungguh telah menikam makna ini. Kedaulatan pangan yang terwujud dalam swasembada pangan pun seakan hanya mimpi.
Masifnya berbagai kemudahan impor semakin menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa saat ini bukanlah rezim yang berpihak dan serius mengurusi urusan rakyat. Kedaulatan pangan menjadi hal yang utopi. Faktanya, kepentingan para konglomeratlah yang senantiasa diakomodasi. Watak sesungguhnya dari rezim neo liberal.
Sudah saatnya menghentikan sepak terjang penguasa yang berperan bak pengusaha. Untuk itu, dibutuhkan negara yang memiliki visi misi jelas. Negara sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat. Negara yang melindungi kepentingan rakyatnya dan mengharamkan diri dari bergantung kepada negara lain. Negara yang memiliki visi misi seperti ini hanyalah negara yang melandaskan seluruh kebijakannya pada aturan yang datangnya dari pencipta bumi dan alam semesta beserta seluruh isinya ini. Negara yang menjalankan syariat Allah SWT dalam bingkai Daulah Islam.
Wallahu a'lam.
Bondowoso, 08 Juni 2020
Posting Komentar untuk "Impor Tak Terkendali di Tengah Pandemi"