Indonesia Overdosis Utang?



Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

Seperti dikutip dari MuslimahNews.com (19/6), tahun ini pemerintah berencana akan menambah utang baru dengan nominal amat besar, yakni mencapai Rp.1006 triliun. Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, didasari Perppu 1/2020 dengan dalih menghadapi Corona.

Selain itu sektor utang luar negeri membengkak hingga mencapai USD 400,2 M. Kebiasaan berutang di Indonesia sudah seperti mengonsumsi 'obat-obatan'. Ada semacam ketagihan.

Padahal berutang adalah lambang ketidakberdayaan. Sebuah negara bisa menjadi negara yang kuat apabila terbebas dari utang.

Ibarat rumah tangga kalau terlalu banyak menumpuk utang akan berbahaya nantinya. Rumah tangga itu bisa saja bubar karena gagal bayar utang.

Karena gagal bayar, orang yang memberikan utang bisa saja menyetir rumah tangga itu. Pemberi utang bisa saja menjarah isi rumah mulai dari perkakas, beras, perhiasan bahkan kalau utang belum terbayar pun rumah dan kendaraan bisa dijarah.

Begitu juga dengan negara ini. Patut diduga karena terlalu banyak berutang kepada negara imperialis baik itu kapitalis mau pun komunis, membuat penguasanya lemah mudah ditindas dan diatur.

Undang-undang pun tak lagi pro rakyat namun pro para pemegang modal. Misalnya UU Minerba yang memuluskan para kapitalis besar untuk merampok SDA yang melimpah di negara ini.

Rakyat marah karena kekayaan alamnya dijarah. Namun negara sudah lemah untuk melawan karena terlalu banyak berutang.

Mengapa harus menambah utang kalau yang lama saja belum bisa dibayar? Apalagi skema utangnya berbentuk riba dan ada yang berbentuk infrastruktur.

Tak ada berkah. Tak ada transfer teknologi dari negara pengutang kepada negara yang diutangi.

Ada negara komunis rasa kapitalis yang memberikan utang sangat besar namun dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Bahannya diimpor dari negara luar itu. Sedangkan tenaga kerjanya bukan dalam negeri tetapi dari negara komunis itu juga.

Sudahlah utang bertambah, lapangan kerja malah berkurang. Pengangguran malah bertambah banyak.

Sedangkan beban utang yang harus ditanggung setiap warga negara sebelum wacana penambahan utang seribu triliun amatlah berat. Setiap warga negara harus menanggung hutang sebesar 24 juta rupiah.

Ya 264 juta penduduknya harus menanggung utang 24 juta rupiah per jiwa karena jumlah  utang negara tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). (Sumber Kompas.com,15/4).

Padahal harusnya gaya berfikir umat dan penguasanya itu berlandaskan aqidah Islam.

Syariat mengharamkan penduduk suatu negeri untuk menyerahkan SDA nya kepada individu-individu atau negara-negara kapitalis. Islam memberikan solusi agar negara mengelola dan  memanfaat SDA untuk hajat hidup warga negaranya.

Islam pula melarang suatu negeri terjerat utang apalagin yang berbasis riba agar berkah ekonomi dan perdagangannya. Islam memberikan solusi kepada Umatnya untuk mengembangkan bisnis dan perdagangan Islami yakni yang riil.

Inilah terbukti di zaman Kekhilafahan Islam Kaum Muslimin pernah hidup bahagia. Tanpa utang tanpa penjarahan SDA. 

Kekhilafahan Umayyah dengan Khalifahnya Umar bin Abdul Aziz pernah menjadikan benua Afrika benua bebas miskin. Dimana tak dijumpai adanya warga miskin yang berhak menerima zakat.

Padahal benua Afrika jauh dari ibukota kekuasaan Islam kala itu di Damaskus. Semoga negeri ini kembali menerapkan Syariah Islam secara totalitas agar bisa lepas dari belunggu utang dan penjarahan SDA. Semoga Indonesia kembali berjaya dengan Islam. []

Bumi Allah SWT, 20 Juni 2020

Posting Komentar untuk "Indonesia Overdosis Utang?"