Said Didu VS Luhut Binsar Pandjaitan Atau VS Kekuasaan Tiran?
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH (Advokat, Anggota Hizbut Tahrir)
Kasus pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dengan mantan Sekretaris BUMN, M. Said Didu makin nampak arah politisasi penyidikan yang diduga dilakukan dan diterapkan oleh Penyidik.
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba di kalangan wartawan dikabarkan beredar sebuah surat Dirtipidsiber terkait status hukum Said Didu. Dalam surat nomor B/47/VI/2020/Dittipidsiber Bareskrim tertanggal 10 Juni 2020 itu, pihak Dirtipidsiber akan melakukan serangkaian gelar perkara peningkatan status tersangka juga memanggil dan memeriksa Said Didu.
Surat yang beredar ditandatangani oleh Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Siber, Kombes Golkar Pangarso, atas nama Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim.
Namum, belum lama kemudian Humas Mabes Polri Awi Setiyono, menyebut proses masih berjalan. Artinya, hingga saat ini belum ada peningkatan status Said Didu sebagai tersangka. (11/6).
Kasus Said Didu ini bermula dari adanya Laporan Polisi Bernomor LP/B/018/IV/2020 Bareskrim tanggal 8 April 2020. Laporan ini terkonfirmasi dilakukan oleh Advokat Arief Patramijaya yang disebut Kuasa Hukum Luhut Binsar Pandjaitan.
Pelaporan ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan Said Didu di media sosial yang menyebut Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan, hanya memikirkan uang, uang, dan uang. Said Didu dijerat dengan pasal Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik dan Penyebaran Berita Bohong, sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU 19/2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE dan atau pasal 14 ayat 1 dan 2 dan atau pasal 15 UU 1/1946 tentang peraturan hukum pidana.
*Bermasalah Sejak Penyelidikan*
Pernyataan Said Didu yang menyebut dalam fikiran Luhut B. Pandjaitan, hanya memikirkan uang, uang, dan uang, adalah simpulan pendapat dari berbagai fakta yang diuraikan sebelumnya. Karenanya, apa yang disampaikan oleh Said Didu masih terkategori sebagai sebuah pendapat, dimana realitas sebuah pendapat memang perlu diuji kesahihannya.
Bahwa, jika dalam proses pengujian pendapat ternyata diketahui pendapat dimaksud tidak Sahih, atau dengan kata lain sebuah pendapat terbukti keliru, tetap saja statusnya adalah pendapat. Pendapat yang keliru dalam dunia akademik dan penalaran ilmiah pun, lazim terjadi.
Kalaulah pendapat ini dirasa tidak sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa dirinya tidak merasa hanya berfikir uang, uang dan uang, tetap saja tidak menggeser kedudukan pernyataan Said Didu sebagai pendapat. Karena, boleh saja ini bukan soal kesalahan pendapat Said Didu, tetapi perbedaan pandangan Said Didu dengan Luhut Binsar Pandjaitan dalam memandang dan menilai sebuah permasalahan.
Karenanya, pendapat Said Didu ini adalah pendapat yang dilindungi Konstitusi, dimana didalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) ditegaskan :
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Hanya saja, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE (pasal 27 ayat 3) itu genus deliknya ada dalam pasal 310 KUHP. Dalam konteks pencemaran, yang menjadi asas bukan pada ujarannya, tetapi pada aspek "ketersinggungan" yang sifatnya sangat subjektif.
Misalnya saja, seseorang menyebut pihak lain dengan ungkapan "hei, kamu kepala botak", meski bukan fitnah, meski bukan hoax, meski faktanya memang kepalanya botak, tetap saja pihak yang diujar memiliki hak untuk tersinggung dan mengadukan persoalan ini sebagai pencemaran nama baik.
Karena itu, dalam konteks "ketersinggungan" sah dan wajar Luhut melaporkan ke polisi. Dan bisa saja polisi menyidik dengan pasal pencemaran nama baik.
Namun begitu polisi menerapkan pasal menyebar hoax, pasal menyebarkan berita atau pemberitahuan bohong, menggunakan pasal 14 ayat (1) dan (2) dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana, disinilah politisasi pasal diduga dilakukan Penyidik.
Sebab, apapun yang dikatakan said Didu itu faktanya adalah pendapat bukan berita atau pemberitahuan. Yang lebih mengkhawatirkan, pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1946 itu ancamannya 10 tahun penjara.
Karena pasal menyebarkan berita bohong ini disematkan bersamaan dengan pasal Pencemaran nama baik, terlepas apakah terbukti atau tidak di pengadilan, dalam proses penyidikan kelak polisi bisa melakukan penahanan terhadap Said Didu karena ancaman pasal 14 ayat (1) ini diatas 5 tahun, yang bisa dijadikan dasar penahanan terhadap tersangka.
Testing The Water
Nampaknya, ada upaya pihak tertentu untuk mengukur tingkat perhatian publik pada kasus Said Didu. Jika wacana penetapan tersangka tidak ditentang publik, bisa saja Said Didu benar-benar ditetapkan sebagai Tersangka dan boleh jadi ditindaklanjuti dengan penahanan.
Kasus politik yang menggunakan sarana hukum biasanya faktor yang dijadikan sandaran peningkatan status atau pengambilan sejumlah tindakan adalah faktor politik, bukan aspek bukti dan unsur-unsur pidananya. Hukum dan serangkaian bukti dan keterangan saksi, hanya dijadikan sandaran legitimasi.
Secara politik, dukungan publik, opini yang membela Said Didu, akan sangat menentukan masa depan kasus ini. Jika publik tak memberikan perhatian, melepaskan kasus ini sebagai kasus pribadi Said Didu, dan tidak memahaminya sebagai kasus "Ancaman terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin Konstitusi", maka kuat dugaan penulis Said Didu akan segera dikandangkan.
Namun, jika publik ikut terlibat dalam Advokasi politik, yakni memberikan dukungan politik melalui berbagai sarana yang tersedia, seperti membangun wacana umum pembelaan bagi Daid Didu, meramaikan sosial media dengan narasi yang membela Said Didu, dapat dipastikan kasus ini hanya akan jalan ditempat dan tidak jelas penuntasannya, sampai akhirnya keputusan politik menyudahi, misalnya dengan berakhir dan bergantinya rezim.
Sebenarnya, yang layak disidik dengan pasal menyebarkan berita atau pemberitahuan bohong adalah media yang terburu-buru mengabarkan Said Didu ditetapkan sebagai Tersangka. Setelah mengunggah kabar, media baru mengklarifikasi.
Bahkan, portal berita kumparan menulis berita dengan judul "Said Didu Ditetapkan Sebagai Tersangka Ujaran Kebencian Terkait Luhut". Judul berita ini jelas berita atau pemberitahuan bohong, apalagi redaksi kumparan juga mengunggah foto dokumen palsu yang menyebut Said Didu sebagai Tersangka.
Selain patut diduga menyebar berita atau pemberitahuan bohong, dokumen yang diedarkan adalah dokumen yang diduga palsu. Pemalsuan dokumen, apalagi dokumen Penyidikan lengkap dengan tanda tangan pejabat terkait adalah tindak Pidana pemalsuan, sebagimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP.
Akankah Penyidik Bareskrim Polri menyidik perkara dugaan pemalsuan dokumen ini ? Akankah dugaan menyebar berita bohong Said Didu tersangka juga akan diproses hukum ? Kita tunggu saja. Jika tidak, hal ini semakin menguatkan dugaan publik bahwa kasus ini tak hanya perseteruan Said Didu vs Luhut Binsar Pandjaitan, tetapi perseteruan rakyat melawan rezim tiran. []
Posting Komentar untuk "Said Didu VS Luhut Binsar Pandjaitan Atau VS Kekuasaan Tiran?"