Saling Berjauhan di Dalam Shaff Shalat Merupakan Bid'ah, Dosanya Dipikul Penguasa
Oleh : Syaikh 'Atha' Bin Khalil Abu Ar-Rasytah
Assalamu‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga dan para sahabat beliau serta orang yang mengikuti beliau. Wa ba’du.
Kepada semua orang yang mengirimkan kepada saya pertanyaan tentang saling berjauhan dengan jarak dua meter di antara makmum di dalam shalat jamaah dan shalat Jumat. Mereka mengatakan bahwa para penguasa di beberapa negeri kaum Muslim menutup masjid-masjid, dan ketika mereka membukanya mereka mengharuskan orang-orang yang shalat untuk saling berjauhan dengan jarak dua meter.
Penguasa menjustifikasi yang demikian itu bahwa penyakit itu menjadi udzur. Jadi sebagaimana orang boleh shalat sambil duduk, maka diqiyaskan kepadanya, orang berjauhan dari orang di sampingnya dengan jarak dua meter, bahkan hingga seandainya orang itu tidak sakit, melainkan dikhawatirkan penyakit maka dia saling menjauh.
Mereka bertanya-tanya, apakah boleh penguasa mengharuskan orang-orang yang shalat untuk saling berjauhan menurut jarak yang disebutkan sebelumnya? Atau, saling berjauhan ini adalah bid’ah yang mana penguasa akan memikul dosanya?
Dan para penanya mendesak untuk segera mendapatkan jawaban.
Dan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka, saya katakan dan dengan taufik dari Allah SWT.
Kami telah mempublikasikan lebih dari satu jawaban mengenai bid’ah. Seandainya para penanya merenungkannya niscaya menjadi jelas untuk mereka jawaban bahwa saling berjauhan menurut potret yang disebutkan itu adalah bid’ah yang penguasa akan memikul dosanya, jika mengharuskan masyarakat dengan saling berjauhan ini.
Penjelasan yang demikian itu sebagai berikut.
Pertama, kami telah mempublikasikan pada 28 Rajab 1434 H/7 Juni 2013 M, yang di situ dinyatakan: "... bid’ah adalah menyalahi perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan tatacara penunaiannya. Bid’ah secara bahasa seperti dicantumkan di Lisân al-‘Arab adalah _al-mubtadi’ alladzî ya’tî amran ‘alâ syubhin lam yakun_. Dan orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang melakukan suatu perkara menurut kemiripan (syibhin) yang belum ada, _wa abda’ta asy-syay’a: ikhtara’tahu lâ ‘alâ mitsâlin_ Anda melakukan bid’ah, misalnya Anda melakukan inovasi tidak menurut contoh.”
Bid’ah itu secara istilah juga demikian. Yakni, disitu ada “contoh” yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan seorang muslim melakukannya dengan menyalahinya. Ini berarti menyalahi tata cara syar’iy yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan perintah syara’. Makna ini ditunjukkan oleh hadits:
«وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ» [البخاري ومسلم]
"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak." (HR al-Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh al-Bukhari).
Begitulah. Siapa saja yang sujud tiga kali dalam shalatnya dan bukannya sujud dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab dia menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa saja yang melempar jumrah delapan kali lemparan, bukan tujuh kali lemparan, ke Jamarât Mina, maka dia juga telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa saja yang menambah lafal adzan atau menguranginya, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi adzan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw.
Adapun menyalahi perintah syara’ yang tidak dinyatakan tata caranya, maka itu masuk dalam bab hukum syara’, dan bukan masuk dalam pembahasan bid'ah atau bukan bid'ah. Karena itu dikatakan, itu adalah haram atau makruh jika itu merupakan khithab taklif. Atau, dikatakan batil atau fasad, jika merupakan khithab wadh’i. Dan yang demikian itu menurut qarinah yang menyertai perintah tersebut.
Sebagai contoh, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., yang mana beliau menggambarkan shalat Rasulullah saw. Aisyah ra. berkata: Rasulullah saw itu:
«... وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ، حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ، لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا... »
"Rasulullah saw jika beliau mengangkat kepala dari ruku’, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak..."
Di dalam hadits ini, Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku’, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika ia mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tatacara ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. Maka, siapa saja yang menyalahinya maka ia telah melakukan bid’ah. Jadi, jika orang yang sedang shalat bangkit dari ruku’ kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Akan halnya contoh lain, Imam Muslim telah mengeluarkan hadidts dari Ubadah bin ash-Shamit ra., ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw.:
«يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ ازْدَادَ، فَقَدْ أَرْبَى»
“Beliau melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya, maka siapa saja yang menambah atau minta tambah maka sungguh telah melakukan riba.”
Seandainya seorang Muslim menyalahi hadits ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi berlebih satu dengan lain, dan bukannya sama timbangannya, maka tidak dikatakan ia telah melakukan bid’ah, melainkan dikatakan bahwa ia telah melakukan keharaman yakni riba.
Ringkasnya: bahwa menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. adalah bid’ah. Sementara menyalahi perintah Rasul saw. yang bersifat mutlak tanpa ada penjelasan tata caranya, maka hal itu ada pada bab hukum syara’: haram, makruh atau batil dan fasad; hal itu sesuai dalil yang menunjukkannya)." Selesai.
Dan kami juga telah mengeluarkan yang lebih rinci tentang bid’ah pada 8 Dzul Hijjah 1436 H/22 September 2015 M. Demikian pula, kami telah mengeluarkan jawaban lainnya sebelum dan setelah itu, dan itu mencukupi dan memadai dengan izin Allah.
Kedua: Atas dasar itu, maka negara-negara di negeri kaum Muslim, jika mengharuskan orang-orang yang menunaikan shalat agar saling berjauhan satu orang di samping yang lain sejarak satu atau dua meter, baik apakah yang demikian itu di dalam shalat Jumat atau shalat jamaah karena khawatir penularan, khususnya tanpa ada gejala-gejala patologis, maka dengan itu dia telah melakukan dosa besar yang mana saling berjauhan ini merupakan bid’ah. Yang demikian itu karena saling berjauhan dalam shalat itu merupakan penyimpangan yang jelas terhadap tata cara shaff dan merapatkannya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dengan dalil-dalil syar’iy, di antaranya:
1. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits, ia berkata: “Nabi saw mendatangi kami dan kami para pemuda yang sebaya, maka kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Dan Beliau seorang yang lemah lembut dan penyayang. Beliau bersabda:
«فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ».
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan ajarkan mereka ilmu dan latihlah mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat, dan jika waktu shalat telah datang maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian, kemudian orang paling tua di antara kalian yang mengimami kalian.”
2. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Dibacakan iqamat shalat lalu Rasulullah saw menghadap kepada kami, lalu beliau bersabda:
«أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي»
“Luruskan shaff kalian, dan rapatkanlah, dan aku melihat kalian dari belakang punggungku.”
3. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari an-Nu’man bin Basyir ra., ia berkata: "Rasulullah saw meluruskan shaff kami hingga seolah-olah beliau meluruskan anak-anak panah, sampai beliau melihat bahwa kami telah memahaminya. Kemudian beliau keluar pada suatu hari dan beliau berdiri (untuk shalat), sampai hampir-hampir beliau bertakbir lalu beliau melihat seorang laki-laki dadanya menonjol dari shaff, maka beliau bersabda:
«عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ»
“Hai hamba-hamba Allah, sungguh kalian meluruskan shaff kalian atau sungguh Allah akan memperlain-lainkan wajah-wajah kalian.”
4. Imam Muslim juga telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ».
“Mengapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Kami katakan: “Ya Rasulullah, bagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Beliau bersabda; “mereka melengkapi shaff pertama dan lurus dalam shaff.”
5. Al-Hakim telah mengeluarkan, dan ia berkata: “Hadits shahih menurut syarat Muslim, dari Abdullah bin Amru, bahwa Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»
“Siapa yang menyambung shaff maka Allah menyambungnya, dan siapa yang memutus shaff, maka Allah memutusnya.”
6. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
«أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»
“Luruskanlah shaff, tidak lain kalian (harus) berbaris dengan shaffnya para malaikat, luruskan antar bahu-bahu, tutuplah celah yang kosong, lunakkan pada tangan saudara kalian dan jangan biarkan ada celah untuk setan, dan siapa yang menyambung shaff maka Allah menyambungnya dan siapa yang memutus shaff maka Allah memutusnya.”
Ini merupakan penjelasan sempurna dari Rasulullah saw untuk tata cara penunaian shalat jamaah. Dan para sahabat ridhwânullâh ‘alayhim patuh (terikat) dengan yang demikian.
Imam Malik telah meriwayatkan di al-Muwatha’ dan al-Baihaqi di as-Sunan al-Kubrâ:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ "يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، فَإِذَا جَاءُوهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدِ اسْتَوَتْ، كَبَّرَ
"Bahwa Umar bin al-Khaththab ra. memerintahkan pelurusan shaff-shaff. Dan jika mereka datang kepadanya, mereka memberitahunya bahwa shaff-shaff telah lurus, (maka) Umar bertakbir."
Ketiga: tidak bisa dikatakan bahwa penyakti yang menular adalah udzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam shalat. Tidak bisa dikatakan demikian. Sebab penyakit yang menular adalah udzur untuk tidak pergi ke masjid, dan bukan udzur untuk saling berjauhan dari orang yang shalat di sampingnya satu atau dua meter!!
Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah saw (Tha’un) dan tidak ada riwayat dari Rasul saw bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke shalat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi udzur sehingga dia shalat di rumahnya. Daerah yang di situ tersebar penyakit, maka diintensifkan pengobatannya secara gratis dengan serius dan penuh kesungguhan dengan pemeliharaan negara, dan orang yang sakit tidak dicampurkan dengan orang-orang yang sehat.
Rasulullah saw bersabda dalam apa yang dikeluarkan oleh Muslim di Shahîhnya dari Usamah bin Zaid, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاساً مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ»
“Tha’un merupakan ayat (pertanda) siksaan, dengannya Allah azza wa jalla menguji manusia di antara hamba-Nya. Maka jika kalian mendengarnya, jangan kalian masuk ke dalamnya dan jika terjadi di suatu negeri sementara kalian ada di situ maka jangan lari darinya.”
Yakni bahwa orang yang sakit dengan penyakit menular tidak dicampur dengan orang-orang yang sehat, dan untuknya disediakan pengobatan yang cukup dan memadai dengan izin Allah. Adapun orang yang sehat, maka dia pergi ke masjid menunaikan shalat Jumat dan shalat jamaah seperti biasa tanpa saling berjauhan.
Keempat, demikian juga tidak dikatakan bahwa saling berjauhan di dalam shalat ketika terjadi wabah diqiyaskan terhadap rukhshah shalat sambil duduk ketika sakit. Ini bukan qiyas syar’iy. Yang demikian itu karena orang yang sakit, dia shalat sambil duduk merupakan rukhshah dari Allah SWT, yakni karena udzur yaitu penyakit. Udzur merupakan sebab, dan bukan ‘illat. Syara’ tidak menjadikannya ‘illat, tetapi syara’ menjadikan setiap udzur sebagai udzur untuk hukum yang udzur itu didatangkan untuknya, bukan untuk hukum lainnya. Jadi, itu dinilai sebagai udzur khusus dengan hukum yang udzur itu datang untuknya, dan bukan udzur yang umum untuk semua hukum. Dan udzur itu tidak memberi pemahaman aspek peng’illatan. Oleh karena itu, tidak bisa diqiyaskan kepadanya.
Jadi, "sebab" itu bersifat khusus dengan apa yang "sebab" itu menjadi "sebab" eksistensinya, dan tidak melampaui berlaku kepada yang lainnya, sehingga tidak bisa diqiyaskan kepadanya
Ini berbeda dengan ‘illat. ‘Illat tidak bersifat khusus dengan hukum yang disyariatkan karenanya. Tetapi ‘illat itu melampauinya berlaku kepada yang lainnya dan diqiyaskan kepadanya.
Dari sini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan tentang ibadah, dari sisi keberadaannya sebagai "sebab" dan bukan sebagai ‘illat, menjadikan ibadah itu bersifat tauqifiyah, tidak disertai ‘illat, dan tidak diqiyaskan terhadapnya, karena "sebab" itu khusus dengan apa yang dia menjadi sebab untuknya.
Kelima: rukhshah itu merupakan bagian dari hukum wadh’i. Dan itu merupakan seruan asy-Syâri’ berkaitan dengan perbuatan hamba menurut kondisi (wadh’u). Selama dia sendiri merupakan seruan asy-Syâri’, maka di situ harus ada dalil syar’iy yang menunjukkannya. Misalnya berkaitan dengan shalat orang yang sakit sambil duduk. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Imran bin Hushain ra., ia berkata: saya punya wasir lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentang shalat, maka Beliau bersabda:
«صَلِّ قَائِماً فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»
“Shalatlah dengan berdiri dan jika kamu tidak mampu maka sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu maka sambil berbaring.”
Rukhshah ini, yakni udzur ini, dinyatakan oleh dalil syar’iy. Semua yang dinyatakan oleh dalil syar’iy bahwa itu merupakan udzur untuk hukum tertentu maka dinilai sebagai udzur. Dan apa yang tidak ada dalil syar’iy tentangnya, maka tidak ada nilainya dan tidak dinilai sebagai udzur syar’iy sama sekali.
Dan karena tidak ada dalil bahwa orang yang sakit boleh menjauh di dalam shalatnya dari orang yang ada di sampingnya sejarak satu atau dua meter, maka secara syar’iy ucapan ini tidak punya nilai, dan tidak boleh.
Keenam: ringkasnya, dari apa yang telah dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengubah tatacara untuk shalat yang telah dijelaskan oleh Rasul saw dinilai sebagai bid’ah. Tetapi hukum syar’iy dalam kondisi ini adalah orang yang sehat badannya, dia pergi untuk shalat seperti biasa di shaff-shaff yang lurus, tanpa renggang. Sedangkan orang yang sakit dengan penyakit menular, dia tidak pergi sehingga tidak menulari yang lain.
2. Jika negara menutup masjid-masjid, dan berikutnya orang-orang yang sehat terhalang dari datang ke masjid untuk shalat Jumat dan shalat jamaah maka negara berdosa besar karena menelantarkan shalat Jumat dan shalat jamaah. Jadi, masjid-masjid wajib dibuka untuk shalat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasul saw.
3. Demikian juga jika negara melarang orang-orang yang shalat dari menunaikan shalat sesuai tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw, tetapi negara mengharuskan mereka untuk saling berjauhan satu atau dua meter di antara orang yang shalat dan orang ada di sampingnya karena khawatir penularan, khususnya tanpa gejala-gejala patologis, maka negara berdosa besar.
Ini adalah hukum syara’ yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâhu a’lam wa ahkam.
Dan saya memohon kepada Allah SWT agar memberi petunjuk kaum Muslim kepada perkara mereka yang paling lurus dan agar kaum Muslim menyembah Dia sebagaimana yang Dia perintahkan, dan agar mereka terikat dengan ketaatan kepada Rasul-Nya saw. Dan agar mereka menegakkan syariah yang hanif tanpa penyimpangan dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah.
Dan sungguh di dalam yang demikian itu ada kebaikan dan pertolongan dengan izin Allah yang sesuatu pun di muka bumi dan di langit tidak bisa melemahkan-Nya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Saudaramu
'Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah
17 Syawal 1441 H
08 Juni 2020
Posting Komentar untuk "Saling Berjauhan di Dalam Shaff Shalat Merupakan Bid'ah, Dosanya Dipikul Penguasa"