Covid-19 Masih Meraja, Resesi di Depan Mata
Oleh: Anggun Mustanir
Hampir tujuh bulan dunia diselimuti pandemi covid-19. Segala upaya dikerahkan guna menekan laju kontaminasi virus corona di tengah masyarakat. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda pandemi angkat kaki dari ibu pertiwi. Dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Salah satu imbas yang paling dikhawatirkan adalah resesi.
Ancaman resesi di Indonesia kian nyata setelah negara tetangga Singapura baru-baru ini mengalaminya. Presiden Joko Widodo juga telah mengingatkan para menterinya bahwa sebelum resesi benar-benar terjadi, alangkah baiknya persiapkan diri mulai dari sekarang.
Dilansir dari laman berita Detikfinance.com., 19/7/2020, "Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi. Sebab tidak ada yang mengetahui akan berlangsung sampai kapan jika resesi benar terjadi".
Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, di saat seperti ini masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan. Selain mempersiapkan tabungan yang banyak, masyarakat juga disarankan agar menjaga kesehatan agar resesi tidak berkepanjangan. Sebab resesi terjadi disebabkan oleh virus mematikan covid-19.
Jika kekhawatiran itu benar terjadi, resesi akan mengakibatkan penurunan seluruh aktivitas ekonomi. Yang paling mudah dirasakan adalah menurunnya jumlah lapangan kerja. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto pernah menjelaskan bahwa ketika resesi terjadi maka akan ada ledakan gelombang pengangguran. Ujung-ujungnya orang miskin akan bertambah.
Ekonomi Indonesia dan Dunia Sudah Terpuruk Sebelum Pandemi
Resesi ekonomi sudah di depan mata. Sejak awal wabah menyebar ke seluruh negara, para pemimpin dunia menuduh covid-19 sebagai penyebab jatuhnya perekonomian yang merata. Padahal, kondisi perekonomian bangsa-bangsa di dunia sudah ambruk sebelum covid-19 hadir. IMF sendiri mengakui bahwa laju perekonomian dunia saat ini mengalami krisis.
Nilai tukar rupiah melemah sejak Akhir 2019, sehingga BI mengoptimalkan Operasi Moneter. Indonesia telah mengalami perlambatan ekonomi cukup dalam sejak kuartal I tahun 2019 dan semakin menurun di triwulan I 2020 menjadi 2,97 persen. Pandemi covid-19 memperparah kondisi perekonomian negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
Pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur pada kuartal II-2019 hanya sebesar 3,54% secara tahunan (year-on-year/YoY), Angka pertumbuhan tersebut melambat dari tahun sebelumnya (kuartal II-2018) yang sebesar 3,88%. Bahkan kali ini laju pertumbuhan ekonomi sektor manufaktur merupakan yang paling kecil sejak kuartal II-2017 atau dua tahun lalu. (CNBCIndonesia.com., 5/8/2019)
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, konon muncul mitos bahwa krisis ekonomi dunia terjadi setiap 10 tahun sekali. Padahal itu tidak benar. Karena krisis bukanlah gejala alam melainkan hasil perbuatan manusia. Ini disebabkan kesalahan sistemik dalam mengelola negara. Kebijakan politik yang diambil segelintir oknum juga memiliki andil besar dalam membawa arah perundangan dan perkembangan ekonomi negeri.
Terjadinya krisis yang berulang sampai resesi dan depresi merupakan watak asli sistem kapitalisme. Hal ini dikarenakan fondasi ekonominya yang rapuh. Fondasi sistem ekonomi kapitalisme dibangun dari struktur ekonomi yang semu, yakni ekonomi sektor nonriil. Bukan ekonomi yang senenarnya, yaitu ekonomi sektor riil.
Para ahli mendorong masyarakat mengantisipasi dengan gaya hidup hemat dan menyiapkan alternatif pekerjaan. Faktanya, kehidupan rakyat saat ini sudah memprihatinkan. Jangankan menyisihkan uang untuk ditabung. Memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah kelimpungan. Harga kebutuhan pokok semakin hari terus meroket.
Belum lagi biaya sekolah yang tidak sedikit. Ditambah fasilitas kesehatan yang semakin tidak terjangkau biayanya. Sedangkan lapangan kerja terbatas. Untuk kebutuhan papan atau perumahan saja saat ini masyarakat banyak yang tinggal di tempat kurang layak dan padat.
Islam Menciptakan Perekonomian Yang Stabil
Sejatinya tidak cukup hanya mengantisipasi, tapi perlu solusi tuntas atas resesi akibat berlakunya ekonomi kapitalisme. Dibutuhkan penyelesaian sistemik, bukan individu. Saat ini perlu juga mendorong masyarakat memahami cacat bawaan sistem kapitalisme yang menghasilkan krisis termasuk resesi dan bagaimana sistem ekonomi Islam menciptakan ekonomi yang stabil dan tidak rentan resesi.
Dalam aturan Islam, perekonomian yang stabil dan mapan harus dibangun dengan tata kelola kepemilikan yang benar. Ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum.
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Islam melarang penguasaan atas sumber daya alam secara kelompok atau pribadi. Misal, perampasan tambang emas, gas, sumber air yang saat ini banyak dikuasai asing. Sehingga hasilnya tidak dapat dinikmati rakyat secara merata justru membuat bisnis para kapital menjadi raksasa.
Islam tidak mengenal sistem ekonomi non riil seperti pasar saham, obligasi, deposito dan lain-lain. Seluruh ekonomi Islam digerakkan oleh ekonomi nyata.
Selain itu, faktor distribusi amatlah penting bagi rakyat. Hasil sumber daya alam harus bisa sampai pada semua rakyat secara merata. Dengan distribusi yang adil, kesejahteraan akan terwujud. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Jadi, selama sistem kapitalisme masih membelenggu rakyat, maka resesi bukan tidak mungkin akan terus melanda negeri.
Dengan demikian, in syaa Allah kemandirian ekonomi akan terwujud. Semoga masyarakat semakin sadar segala kebaikan sistem Islam. Dan sejatinya kesengsaraan yang terjadi saat ini adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang rusak. Wallahu alam.
Posting Komentar untuk "Covid-19 Masih Meraja, Resesi di Depan Mata"