Seputar Kasus Joko Tjandra, Oligarki Lumpuhkan Hukum?
Jakarta, Visi Muslim- Lolosnya koruptor kakap Joko Tjandra dari kejaran aparat hukum jadi pertanyaan banyak kalangan. Sebagaimana diketahui, koruptor yang telah masuk DPO sejak 2009 silam ternyata bersliweran di tanah air selama tiga bulan bahkan bisa membuat KTP di satu kelurahan di Jakarta.
Sebagaimana diketahui Joko Tjandra kembali ke tanah air untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsinya. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, Joko sempat berada di Indonesia pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Komentar
Lolosnya Joko Tjandra lebih dari karut marut sistem administrasi dan hukum di Indonesia, tapi kuat dugaan ada kesengajaan meloloskan koruptor tersebut. Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, Direktorat Jenderal Imigrasi sewajarnya mudah mendeteksi seorang buron yang masuk ke Indonesia. Namun hal ini tak terjadi di Indonesia, saat Djoko Tjandra dengan mudahnya membuat KTP elektronik dan paspor.
“Dokumen menunjukkan (Djoko Tjandra) masuk tidak lewat jalan tikus, ini menunjukkan pemerintah memberikan jalan masuk, lewat jalan tol, memberi karpet merah,” ujar Benny dalam rapat dengar pendapat dengan Direktur Jenderal Imigrasi Jhoni Ginting, Senin (13/7).
Awalnya semua pihak mencoba membantah keteledoran mereka. Mulai dari pihak imigrasi, Kejaksaan Agung, hingga Kemenkumham. Sampai akhirnya terkuak memang ada kesengajaan meloloskan Joko Tjandra masuk ke tanah air, yaitu pencabutan namanya dari DPO atau red notice interpol.
Sebelumnya, pihak imigrasi telah mengeluarkan pencekalan untuk sang koruptor atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 24 April 2008. Pencegahan tersebut berlaku selama 6 bulan. Kemudian, keluar red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama enam bulan.
Tahun ini, tepatnya 5 Mei 2020 terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Inilah yang membuat Joko leluasa masuk ke Indonesia. Seperti penuturan kuasa hukumnya, kliennya masuk ke Indonesia tidak mengendap-endap. Resmi.
Alasan penghapusan Joko Tjandra dari red notice oleh NCB Interpol mencurigakan. Karena seperti penjelasan Mahfud MD, ada buronan lain yang sudah 13 tahun dan tak ada permintaan perpanjangan tapi tak dicoret dari daftar pencarian orang. Karenanya alasan Kepolisian Indonesia mencabut red notice Joko Tjandra tak masuk akal.
Potret bobroknya sistem hukum di Indonesia semakin bertambah setelah MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) menemukan fakta bila Joko Tjandra mendapatkan surat perjalanan dinas resmi dari satu instansi.
Belakangan, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane membeberkan, surat jalan buron terpidana kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, dikeluarkan oleh Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS. Dari data yang diperoleh IPW, surat bernomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas tertanggal 18 Juni 2020 tersebut ditandatangani oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.
Apapun yang terjadi, kasus Joko Tjandra menguatkan dua hal; Pertama, pemberantasan korupsi sudah mati di periode kedua pemerintahan Jokowi. Mulai dari pelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang melumpuhkan sejumlah sejumlah kewenangan KPK seperti terkait penyidikan, penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Kedua, berkuasanya oligarki tidak hanya pada politik dan kekuasaan, tapi hingga ke ranah penegakkan hukum. Pencabutan red notice oleh NCB Interpol adalah tanpa betapa kuasanya Joko Tjandra melawan aparat keamanan. Berikutnya, bila pernyataan IPW benar, bahwa Bareskrim yang memberi surat jalan pada terpidana koruptor menunjukkan bahwa kepolisian telah dirusak oleh invicible hand oligarki.
Dugaan kedekatan Joko Tjandra dengan sumbu kekuasaan juga kuat. Mengutip dari Kompas, adik Djoko Tjandra, dan seorang kerabatnya pernah menemui Presiden Joko Widodo di Papua Nugini. Ketika itu Presiden menghadiri jamuan malam kenegaraan bersama Perdana Menteri Papua Niugini Peter Charles Paire 0’Neill di Gedung Parlemen, Port Moresby, pada 11 Mei 2015
Begitulah demokrasi, yang berkuasa bukanlah hukum, apalagi kedaulatan rakyat, tapi kekuatan politik dan uang. Kaum oligarki begitu leluasa memainkan peran, sementara seorang rakyat kecil berprofesi tukang bangunan bernama Sarpan harus mengalami berbagai penyiksaan oleh aparat setelah dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan, padahal sebenarnya ia adalah saksi mata kasus tersebut. Lupakah penegak hukum ini dengan peringatan Allah SWT:
“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (TQS. Hud: 18).[]Iwan Januar/LS
Posting Komentar untuk "Seputar Kasus Joko Tjandra, Oligarki Lumpuhkan Hukum?"