Menakar Kebijakan Pendidikan di Tengah Pandemi
Oleh : Rianti Kareem, S.Pd.I
Kebijakan Pendidikan di Masa Pandemi
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan berbagai penyesuaian pembelajaran yang diharapkan tidak membebani guru dan siswa, namun sarat nilai-nilai penguatan karakter seiring perkembangan status kedaruratan Covid-19.
Penyesuaian tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Covid-19 di lingkungan Kemendikbud serta Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan.
“Kami mendorong para guru untuk tidak menyelesaikan semua materi dalam kurikulum. Yang paling penting adalah siswa masih terlibat dalam pembelajaran yang relevan seperti keterampilan hidup, kesehatan, dan empati,” demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, pada acara media briefing Adaptasi Sistem Pendidikan selama Covid-19, hasil kerja sama antara Kementerian Luar Negeri, Kemendikbud, dan Ketua Tim Pakar Penanganan Covid-19, di Istana Kepresidenan, Provinsi DKI Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Tidak sampai di situ saja, serangkaian kebijakan lain pun dikeluarkan menyikapi perkembangan penyebaran Covid-19, seperti pembatalan ujian nasional (UN), penyesuaian ujian sekolah, implementasi pembelajaran jarak jauh, dan pendekatan online untuk proses pendaftaran siswa sesuai Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Desease (Covid-19).
Selain itu, terdapat kebijakan penyesuaian pemanfaatan bantuan operasional sekolah (BOS) dan BOP yang fleksibel untuk memenuhi kebutuhan sekolah selama pandemi.
Hal tersebut merujuk pada dua peraturan terbaru yaitu (1). Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler; dan (2). Permendikbud Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Dan Pendidikan Kesetaraan Tahun Anggaran 2020.
Memasuki tahun ajaran baru 2020/2021 ditengah pandemi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga menerbitkan kurikulum darurat Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Satuan pendidikan dalam kondisi khusus dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
“Kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa,” jelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam taklimat media Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, secara virtual, di Jakarta, Jumat (07/08/2020).
Pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat 1) tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; 2) menggunakan kurikulum darurat; atau 3) melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. “Semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut,” terang Mendikbud. (kemdikbud.go.id)
Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) yang disiapkan oleh Kemendikbud merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya.
Karut Marut Pendidikan di Tengah Pandemi
Harus disadari jika kualitas sumber daya manusia yang unggul akan berbanding lurus dengan penyelenggaraan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan yang buruk akan menghasilkan sumber daya manusia yang tidak berkualitas. Sebaliknya, jika pendidikan diselenggarakan berkualitas maka dipastikan akan mampu menciptakan sumber daya manusia yang unggul.
Kualitas pendidikan saat ini masih dalam pusaran pandemi NCoV-19. Gerakan belajar dari rumah (SfH) menjadi andalan bagi pemerintah agar di saat pandemi NCoV-19 merebak tidak menghambat pemerintah dalam mewujudkan tujuannya. Kebijakan belajar dari rumah (SfH) sebenarnya menjadi kebijakan dadakan yang diputuskan oleh pemerintah agar penularan pandemi NCoV-19 bisa diputus mata rantai penyebaranya.
Namun di sisi lain, pendidikan yang tengah berjalan harus berubah drastis mengingat proses belajar mengajar tidak diperbolehkan datang ke sekolah seperti biasanya. Proses pembelajaran tersebut memaksa tenaga pendidik ataupun siswa untuk beradaptasi terhadap situasi ini. Hal tersebut dikarenakan mayoritas institusi pendidikan kita belum terbiasa menggunakan pembelajaran dalam jaringan (daring). Berbeda dengan Universitas Terbuka atau lembaga pendidikan lainnya yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran jarak jauh. Oleh karena itu kebijakan belajar dari rumah (SfH) telah membawa konsekuensi serius terhadap proses pembelajaran di tengah pandemi NCoV-19 saat ini.
Setidaknya ada beberapa tantangan yang dihadapi atas kebijakan study from home (SfH) bagi guru ataupun siswa saat ini, diantaranya :
Pertama, kebijakan study from home (SfH) menuntut guru dan siswa untuk bisa menggunakan teknologi informasi yakni gawai ataupun laptop. Pembelajaran melalui platform webinar, google classromm, ataupun semacamnya dalam kebijakan study from home (SfH) membuat sebagian guru dan siswa mengalami kesulitan. Tidak semua guru dan siswa memiliki piranti tersebut sehingga menghambat proses kegiatan belajar mengajar secara daring. Hal tersebut juga diperparah kondisi sebagian guru dan siswa dengan penguasaan teknologi yang masih rendah.
Kedua, yakni tidak semua guru dan siswa memiliki akses internet yang memadai. Bagi kaum millenials yang terbiasa menggunakan akses internet tentunya tidak bermasalah. Di sisi lain hal tersebut akan menjadi masalah jika banyak siswa dan guru yang berasal dari pelosok dan pinggiran yang kadang memiliki akses internet yang terbatas.
Ketiga, yakni berkaitan dengan masalah biaya. Bagi status ekonomi kelas menengah ke atas tentu aspek biaya bukan menjadi persoalan. Namun, bagi guru dan siswa yang berada dalam status ekonomi menengah ke bawah maka akan terasa berat. Sementara di Indonesia masih banyak guru ataupun siswa yang hidup dengan keterbatasan sehingga dengan membeli paketan atau kuota internet akan membebani mereka.
Sementara disisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mengumumkan bolehnya sekolah yang berada di zona hijau (sejumlah 92 kabupaten/kota atau 6% dari keseluruhan sekolah di Indonesia) untuk melakukan belajar tatap muka setelah memenuhi beberapa persyaratan.
Keputusan ini pun mendapat respons beragam. Diantaranya Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), dan elemen masyarakat lainnya. Pihak sekolah bakal kerepotan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai protokol kesehatan. Utamanya soal physical distancing yang mengharuskan kelas hanya terisi setengahnya.
Tentu ini akan berimbas kepada kurikulum dan kinerja guru. Belum lagi jika ada siswa yang tidak mendapat izin orang tua belajar di sekolah. Maka pasti sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa-siswa tersebut. Pastinya, pekerjaan sekolah akan jauh lebih berat.
Menakar Kebijakan Pendidikan di Tengah Pandemi
Meskipun Mendikbud telah melonggarkan masalah capaian pendidikan agar tak terfokus pada kurikulum yang telah ditetapkan. Namun sayang, yang terjadi adalah kebingungan pada guru. Ini karena negara senyatanya tak mampu memberikan gambaran kurikulum pendidikan yang tepat lagi sahih (sesuai Islam).
Beban berat kurikulum tersebut bertambah parah dengan minimnya kualitas guru dan sarana prasarana penunjang, apalagi pada kondisi pandemi. Baik tatap muka maupun jarak jauh sama-sama beratnya. Semua ini sebenarnya bertolak pada sistem pendidikan. Karenanya, hanya sistem pendidikan Islam saja yang selayaknya diemban negara untuk mengelola pendidikan di Indonesia.
Islam sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki solusi bagi seluruh problematika manusia. Problem pendidikan saat pandemi pun sangat bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam. Bahkan solusi tersebut seharusnya dijalankan dalam kehidupan. Sebab, dari segi paradigma asas utama, yaitu akidah Islam selaras dengan fitrah manusia. Terlebih lagi kita meyakini bahwa aturan yang berasal dari Allah pasti baik untuk manusia.
Dalam sistuasi pandemi, Islam –yang terepresentasi dalam sistem Khilafah– menetapkan kebijakan penguncian area yang terjangkiti wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka. Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.
Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat.
Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.
Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu risau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Tentu, membuat galau di mana-mana. Bahkan orang yang tampak sehat (Orang Tanpa Gejala), mereka juga bisa menyebarkan virus penyakit. Terlebih New Normal Life berlaku dan PSBB sudah tak seketat dulu lagi. Itu semua telah menepis keseriusan masyarakat melakukan physical distancing. Maka daerah hijau pun menjadi tetap rawan.
Inilah dilema yang harus ditanggung masyarakat akibat penerapan kebijakan kapitalistik dalam menangani pandemi. Hitung-hitungan ekonomi lebih dominan dari pada keselamatan atau nyawa manusia. Demi berjalannya roda ekonomi, tempat wisata dan mal atau pusat perbelanjaan umum dibuka. Dampaknya tentu saja kepada dunia pendidikan atau siswa. Anak-anak yang statusnya tidak bekerja pun bisa terkena dampaknya.
Inilah, mengapa sistem islam yakni Khilafah menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab, ia menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia. Terlebih kebutuhan pendidikan, yang tak boleh terjeda oleh wabah.
Sistem Pendidikan Islam dalam Negara Khilafah
Dalam Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya”. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sebagai bagian dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami (syakhshiyah islamiyah) setiap Muslim, membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, kurikulum Islam memiliki tiga komponen materi pokok yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islam; (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Hal demikian akan mampu mencetak peserta didik yang menghiasi segenap aktivitasnya dengan akhlak mulia dan memandang Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang benar.
Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijmak sahabat atas pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan hal itu.
Sumber dana untuk semua itu adalah dari pemasukan harta milik negara dan hasil pengelolaan harta milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut, dsb. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: padang, air dan api (energy”). (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dengan demikian, maka pendidikan bermutu dan gratis atau biaya yang sangat rendah bisa disediakan serta dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak rakyat tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "Menakar Kebijakan Pendidikan di Tengah Pandemi"