Partai dan Partisan: Kewajiban Agung dari Allah
Kata hizb (partai) disebutkan dalam al-Qur’an di banyak tempat. Beberapa tempat mencela, dan beberapa tempat lainnya memuji. Saya akan mengutip ayat-ayat di mana kata hizb (partai) disebutkan dalam al-Qur’an agar kita dapat memahami maknanya sedemikian rupa sehingga menghilangkan kotoran dan debu yang telah melekat pada kata tersebut saat ini.
﴿وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ﴾
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (TQS al-Maidah [5] : 56).
﴿ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَداً﴾
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (TQS al-Kahfi [18] : 12).
﴿فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُراً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ﴾
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (TQS al-Mukminun [23] : 53).
﴿مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ﴾
“yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (TQS ar-Rum [30] : 32).
﴿إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ﴾
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (TQS Fathir [35] : 6).
﴿اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ﴾
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” (TQS al-Mujadalah [58] : 19).
﴿لَّا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (TQS al-Mujadalah [58] : 22).
Dalam surat al-Ma’idah ayat 56, dan surat al-Mujadala ayat 22, Allah shubhānahau wa ta’āla menyebutkan di dalamnya bahwa barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka mereka adalah hizbullah (pengikut agama Allah). Begitu juga barangsiapa yang tidak saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sedang ia beriman, maka mereka adalah hizbullah (pengikut agama Allah). Dalam kedua ayat tersebut Allah shubhānahau wa ta’āla memuji mereka yang melakukan tindakan tertentu yang telah ditentukan-Nya, kemudian Allah shubhānahau wa ta’āla menyebut mereka dengan hizbullah (pengikut agama Allah) sebagai pujian atas tindakan mereka ini.
Sedang dalam ayat-ayat yang lain, Allah shubhānahau wa ta’āla menggambarkan mereka yang melakukan tindakan tertentu, bahwa mereka adalah hizbusy syaithan (golongan syaitan), yaitu mereka yang lupa dari mengingat Allah (dzikrullah). Mengingat Allah itu adalah mengingat agama-Nya, al-Qur’an-Nya, dan semua yang diperintahkan-Nya. Allah shubhānahau wa ta’āla juga menyebutkan bahwa syaitan mempunyai hizb (partai), yaitu mereka orang-orang yang taat padanya dari kalangan manusia, lalu mereka dimasukkan dalam siksaan neraka yang menyala-nyala. Siapa pun yang tidak menjadikan syaitan sebagai musuh, maka ia termasuk hizbusy syaithan (golongan syaitan).
Adapun pada dua ayat surat ar-Rum dan al-Mukminun, maka pada keduanya terdapat peringatan dari Allah shubhānahau wa ta’āla untuk tidak terpecah-belah dalam agama dan akidah, seperti halnya kaum musyrik, di mana Allah shubhānahau wa ta’āla memerintahkan mereka untuk mengikuti agama yang benar dan lurus, yaitu Islam. Akan tetapi mereka memilih untuk terpecah-belah dan tidak tunduk pada perintah Allah shubhānahau wa ta’āla untuk menjadi satu umat. Masing-masing kelompok mereka mengambil agama yang berbeda satu sama lain, yang dengannya mereka menyekutukan Allah shubhānahau wa ta’āla, sehingga mereka menjadi banyak kelompok atau golongan yang tidak menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya mereka mengikuti agama-agama yang dibawa syaitan, yang hanya mengikuti bisikan hawa nafsu.
Sedang pada ayat surat al-Kahfi terdapat kata “al-hizbaini” (dua golongan) yang menggambarkan realita tentang adanya dua golongan yang saling berselisih selama waktu tidurnya ahlul kahfi. Perselisihan mereka itu adalah tahazzub (partisan), yakni dari ayat ini dipahami bahwa masing-masing golongan yang terdiri dari para tokoh itu memiliki pandapat yang sama yang menyatukan mereka, maka mereka itu adalah hizb (partai atau kelompok).
Dalam literatur zaman kenabian, istilah al-hizbiyah (partai) sudah digunakan. Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua hizb (kelompok). Satu kelompok terdiri dari Aisyah, Hafshah, Shafia dan Saudah. Kelompok yang lain terdiri dari Ummu Salamah dan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa kaum Asy’ari, termasuk di dalamnya Abu Musa al-Asy’ari, ketika mereka menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mendekati Madinah, mereka tampa riang gembira sambil melantunkan syair dengan bahar rajaz, mereka berkata: “Besok kita akan bertemu dengan orang terkasih … Muhammad dan hizb (kelompok)nya.”
Hal ini juga ditegaskan oleh arti hizb (partai) dalam bahasa Arab, yaitu a’wān ar-rajul (bantuan-bantuan untuk laki-laki), laki-laki dan mereka yang sependapat denganya, atau kelompok yang memiliki kesamaan keingingan dan tindakan. Dengan demikian, kami memahami bahwa partai atau partisan itu sendiri tidaklah tercela atau terpuji, melainkan menurut ideologi, akidah dan dakwah yang mendasarinya. Sekarang kita lihat apakah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan tahazzub (partisan), dan atas dasar apa Allah memerintahkan kita untuk partisan?
Tidak diragukan lagi bahwa tahazzub (partisan) merupakan kewajiban dari Allah subhanahu wa ta’ala yang berfirman:
﴿وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran [3] : 104).
Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan adanya jamaah (partai) dari orang-orang beriman yang menyerukan kebaikan, yaitu Islam, serta memerintahkan yang baik dan melarang kemungkaran. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan balasan untuk aktivitas ini adalah kemenangan, yaitu surga. Sehingga hal ini menunjukkan wajibnya membentuk partai yang menjalankan kewajiban tersebut, yang dengannya jamaah (partai) itu pantas mendapatkan kemenangan. Dalam ayat ini ada perintah yang jelas untuk membentuk partai, kelompok atau jamaah guna melakukan aktivitas besar ini, bahwa kewajiban membentuk partai pada ayat tersebut merupakan tuntutan yang sama dengan kewajiban setiap Muslim untuk melakukan amar makruf nahyi mungkar. Akan tetapi ayat tersebut menunjukkan perlunya aktivitas kolektif, di samping peran individu Muslim dalam melakukan amar makruf nahyi mungkar.
Imam Ibnu Taimiyyah juga berbicara tentang hizb (partai) dan tahazzub (partisan). Ia berkata: “… adapun ketua partai, maka ia adalah ketua kelompok yang membentuk partai, artinya kelompok itu telah menjadi partai. Mereka itu berkumpul berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa menambah dan menguranginya. Mereka menyakini hak-hak mereka dan kewajiban-kewajibannya. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan persatuan, sebaliknya melarang perpecahan dan perselisihan.” (Majmū’ al-Fatāwā, 11/92).
Setelah memaparkan sejumlah dalil, menjelaskan pentingnya dan wajibnya keberadaan—setidaknya—ada satu kelompok yang beraktivitas untuk menegakkan Islam di bumi, menghapus dan mengubah segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Selanjutnya kita akan menjeskan pentingnya aktivitas kolektif yang secara realistis tidak mungkin terjadi perubahan tanpa aktivitas kolektif ini.
Aktivitas partisan secara kolektif adalah satu-satunya cara untuk menciptakan perubahan apapun dalam masyarakat. Teladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memulai hal ini. Aktivitasnya untuk mendirikan negara Islam dan menegakkan agama di muka bumi adalah aktivitas kolektif. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabatnya dan mengajari mereka Islam di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Dengan begitu mereka menjadi sebuah hizb (partai atau kelompok) dengan arti hizb (partai) yang sesungguhnya. Hizb (partai) ini adalah pemilik target dan tujuan yang diusahakan secara sungguh-sungguh oleh semua anggota, dan demi mewujudkannya mereka memberikan pengorbanan yang besar dan mahal. Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan cara yang sama hingga berdirinya negara di Madinah, yang dengannya cahaya Islam mulai bersinar, serta semakin kuat dan jernih. Begitu juga dengan semua proses perubahan masyarakat, sama saja untuk yang terbaik atau terburuk, maka semua itu hanya dilakukan oleh hizb (partai) yang memiliki ideologi (pemikiran dan metode, yakni fikrah dan thariqah) yang diyakini oleh para pengikutnya, yang menjadi mercusuar bagi mereka sampai tercapai tujuannya. Demikian pula saat ini, siapa pun yang ingin mengubah masyarakat, maka harus beraktivitas secara kolektif dalam kerangka partai yang memiliki ideologi, yang dengannya pantas untuk berkorban dengan sesuatu yang besar dan mahal, karena yakin akan pentingnya aktivitas dan tujuannya. Sebab jelas sekali bahwa seorang individu tidak punya kemampuan untuk mengubah masyarakat, mendirikan negara, atau mengubah kemungkaran, berbeda dengan aktivitas kolektif, yang telah menjadi kewajiban syar’i, dan metode praktis yang secara logika dan fakta dapat mewujudkan perubahan.
Para penguasa Muslim saat ini mengandalkan kelanjutan tirani dan kezaliman mereka pada kriminalisasi dan larangan partai dan aktivitas partisan yang produktif. Mereka mengunakan para ulama dan penulis bayaran mereka untuk merusak gagasan partisan, pentingnya dan wajibnya, sebagai perintah dari Allah subhānahu wa ta’āla untuk mewujudkan Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan.
Wahai kaum Muslim! Anda tidak akan pernah punya kuasa, tidak akan pernah bisa mengambil kembali hak Anda yang dirampas, dan tidak akan pernah kembali kemuliaan Anda kecuali dengan aktivitas partisan secara kolektif yang dilakukan dengan serius untuk perubahan, yaitu aktivitas mengemban proyek kebangkitan yang dilakukan siang malam untuk merealisasikan dan mewujudkannya sebagai kenyataan dalam kehidupan.
Bahwasannya aktivitas partisan bersama partai yang berusaha mendirikan negara Islam adalah kewajiban yang besar. Besarnya kewajiban mendirikan negara Islam (Khilafah), karena ia adalah satu-satunya cara yang syar’i dan masuk akal untuk mewujudkan Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan, yang diterapkan dan diemban oleh negara, yang diperintah oleh seorang khalifah yang menerapkan Islam kepada umat Islam seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita semua tahu bahwa apa yang diperintahkan oleh ayat itu tidak terwujud saat ini dalam realitas kehidupan, hukum-hukum Allah tidak diterapkan, umat Islam tidak bersatu, dan jihad di jalan-Nya tidak dijalankan seperti yang diperintahkan Allah, tidak ada kemuliaan bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, tidak ada kemenangan yang dirasakan umat Islam di timur dan di barat. Dengan demikian aktivitas partai dan kelompok saat ini tidak cukup dan belum mencapai kecukupan untuk menegakkan kewajiban dari Allah di bumi, sehingga dosa akan ditimpakan kepada semua Muslim yang berdiam diri tidak melakukan aktivitas partisan secara kolektif untuk menegakkan hukum-hukum Allah di bumi. Begitu juga halnya dengan kemungkaran yang diperintahkan untuk dirubah dan diingkarinya, masih ada dan dilakukan yang tampak dengan adanya berbagai kemaksiatan yang diperbolehkan, darah kaum Muslim ditumpahkan, tanah kaum Muslim dan tempat-tempat sucinya dijajah, hukum-hukum jahiliyah diterapkan pada mereka, perbatasan-perbatasan Sykes-Picot yang menentukan hubungan mereka … Semua ini merupakan kemungkaran yang belum ada kecukupan untuk mengubahnya, sehingga dosa akan ditimpakan pada semua Muslim yang berdiam diri dari aktivitas partisan secara kolektif untuk menegakkan hukum-hukum Allah di bumi, menggantikan hukum-hukum jahiliyah di mana kita tengah hidup di bawahnya.
Wahai kaum Muslim! Banyak dari para ulama Anda yang menjadi sekutu para penguasa dalam mengkriminalisasi dan memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan melarang dan memerangi partai dan dakwah kaum Muslim, sementara itu mereka diam dan tunduk pada realita rusak yang tidak diridhai Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dengan demikian mereka rela umat Islam terhina dan terpuruk. Ingat, bahwa Allah subhānahu wa ta’āla tidak akan pernah menurunkan kemenangan dari langit bagi mereka yang tidak menolong agama-Nya, tidak menjalankan perintah-Nya dan tidak meneladani Nabi-Nya. Allah subhānahu wa ta’āla tidak menurunkan malaikat dari langit untuk mendirikan negara Islam bagi mereka yang tidak memperjuangkannya, dan tidak dengan metodenya yang syar’i untuk mencapainya. Allah subhānahu wa ta’āla tidak akan pernah mengubah keadaan dan kondisi kita, kecuali kita mengubahnya. Allah subhānahu wa ta’āla tidak akan mengubah para penguasa dan rezim-rezimnya, selama kita tidak sungguh-sungguh mengubahnya. Untuk itu yakinlah dan bertawakkallah kepada Allah dalam aktivitas partisan secara kolektif, sebagai perintah agung dari Allah subhānahu wa ta’āla, penolong para utusan-Nya, dan orang-orang yang beriman.
Sebagai penutup, kami memohon kepada Allah subhānahu wa ta’āla semoga mempercepat kemenangan bagi para pejuang yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam sebuah jamaah (kelompok) untuk mendirikan negara Islam. Kami memohon kepada-Nya semoga mencatat pahala mereka dan meninggikan derajat mereka, serta mencatat untuk mereka–melalui perjuangan mereka—pahala seperti pahala kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka telah berjuang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan negara Islam pertama. Dan semoga Allah subhānahu wa ta’āla mengumpulkan kami dengan mereka berkat karunia dan rahmat-Nya. Sungguh Allah subhānahu wa ta’āla Mahakuasa atas semuanya. [Dr Omar Badeeb]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 5/8/2020.
Posting Komentar untuk "Partai dan Partisan: Kewajiban Agung dari Allah"