Perayaan HUT RI di Tengah Pandemi

 


Oleh: Afiyah Rasyad (Pemerhati Sosial dan Politik Probolinggo)


Ada yang berbeda di bulan ini. Bulan istimewa yang setiap tahun dimeriahkan dengan perayaan kemerdekaan. Sang Saka Merah Putih mulai berbaris rapi dan melambai diterpa angin di sepanjang jalan, menjadi simbol rasa syukur.

Agustus adalah bulan kenangan. Di bulan ini, 75 tahun silam kemerdekaan diumumkan. Setiap tahun biasanya ramai dengan perlombaan untuk sambut hari kemerdekaan sejak awal bulan. Namun, kali ini tak semeriah dulu, pasalnya pandemi masih melanda.

Rasa khawatir dan was-was masih menyelimuti sebagian penduduk negeri. Kegiatan perlombaan ataupun festival sambut HUT RI tentu melibatkan khalayak, kerumunan tak bisa dihindari. Bahkan Pemkot Surabaya mengimbau warga tidak menggelar perlombaan dan malam tirakatan untuk merayakan HUT RI (detik.com, 11/8/2020).

Imbauan Pemkot Surabaya dalam surat edaran (SE) nomor 003.1/7009/436.8.4/2020  menuai kontra dari seorang seniman Surabaya Heri Prasetyo. Dia ingin warga berani melakukan banyak hal dengan protokol kesehatan sebagaimana yang diberitakan detik.com (Selasa, 11/8/2020).

Di tengah pandemi, memang seharusnya kerumunan itu dikurangi atau tidak ada kerumunan sama sekali. Mengingat covid-19 masih berkeliaran, hendaklah warga menahan diri dari perayaan.

Sebenarnya perayaan yang dilakukan di luar pandemi pun hanya sebatas euforia perayaan yang tidak membekas dalam sanubari. Sejatinya kemerdekaan yang patut disyukuri adalah berdaulatnya negeri ini dari intervensi asing.

Meski gelar merdeka telah tersemat lebih dari setengah abad, namun negeri ini masih kebingungan dalam menata anggaran belanja hingga terbebani utang luar negeri. APD dan Alkes tak terpenuhi dengan memadai. Belum lagi angka kriminal menukik tajam, kemiskinan terus meningkat tak mau ketinggalan, ditambah kasus kekerasan seksual dan penyimpangan seksual yang tak bisa diredakan.

Kata merdeka sebatas kata yang dielu-elukan saja. Korporasi asing masih bebas berkeliaran mengintervensi kebijakan. Perusahaan asing juga masih leluasa mengeksploitasi sumber daya alam di negeri ini. Sungguh realitas yang jauh dari kata merdeka.

Kenestapaan menimpa negeri sekian lamanya, bebas dari cengkraman fisik penjajah, masuk dalam lubang intervensi asing yang memiliki modal kuat. Negeri ini belum mampu menerapkan aturan yang mengantar pada kemerdekaan hakiki. 

Sangat wajar hal ini terjadi, mengingat aturan yang diterapkan adalah sistem kapitalisme sekuler. Sistem kapitalisme menyandang manfaat sebagai asas. Sistem ini mengaburkan dan menggeser makna kemerdekaan hanya sebatas perayaan tanpa dirasakan penerapannya. Kemerdekaan hanya dipandang sebagai status saja, tanpa ada implementasi kedaulatan.

Kedaulatan yang seharusnya dimiliki negeri ini telah tergadai karena ULN (utang luar negeri). Donatur yang menyuntikkan dana pada negeri ini tentu menagih kompensasi. "Tidak ada makan siang gratis" adalah slogan dari sistem kapitalisme. Maka wajar negeri ini tak berkutik dalam dominasi korporasi yang menyuntikkan dana.

Belenggu kapitalisme menghapus tetesan keringat dan darah para pejuang dan pahlawan bangsa. Kemerdekaan hakiki yakni terbebas dari penghambaan pada harta dan manusia belum sepenuhnya dirasakan seluruh bangsa. Ditambah sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan semakin membuat bangsa membabi buta tunduk pada modal asing semata.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Kemerdekaan dalam pandangan Islam ialah kebebasan menghamba hanya pada Allah. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang bebas melaksanakan syariah Islam, baik urusan ibadah vertikal ataupun ibadah horizontal.

Kemerdekaan tak hanya menjadi sebatas perayaan seremonial, akan tetapi menjadi bukti ketaatan total pada Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan. Sayangnya, negeri ini tak menerapkan aturan Islam. Sehingga kemerdekaan sekedar perayaan tanpa esensi.[]

Posting Komentar untuk "Perayaan HUT RI di Tengah Pandemi"