Saatnya Generasi Millenials Melek Sejarah

 


Oleh: Rianti Kareem 

Mungkin bagi sebagian orang, belajar sejarah merupakan hal yang sangat membosankan, karena hanya belajar masa lalu saja. Padahal apa yang kita saksikan hari ini takan pernah ada tanpa dimulai dari sejarah. 

Belajar sejarah tidak hanya berurusan dengan kisah “ tempo doloe” tapi juga sejarah dapat mengispirasi banyak hal yang akan kita  pahami, baik pada diri sendiri maupun orang lain. 

Seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana. mengatakan: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.” 

Dalam Al-Qur'an kita diperintahkan untuk "....Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu". (Q.S Al-Hasyr :18)

Sejarah adalah Guru Kehidupan, terlebih bagi  generasi muda yang baru memulai sebuah perjuangan. Sebagai seorang muslim kita wajib mengetahui sejarah kita, terlebih bagi umat islam di Indonesia harus melek bagaimana Islam itu bisa sampai kepada nenek buyut hingga terwariskan kepada generasi Millenials. 

Pentas sejarah di Indonesia adalah panggung kaum muslim. Tak sepenggal pun lintasan sejarah di luar garis Islam, semua terkait dengan ummat Islam. Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah (Khilafah) melibatkan sejarah yang panjang. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam tersebar ke seluruh dunia karena adanya peran negara yakni Khilafah yang mengemban risalah tersebut.

Tanpa adanya sebuah institusi Khilafah, sangat mustahil Islam dapat menguasai 2/3 dunia. Hampir seluruh negara tersinggahi agama Islam, termasuk bumi Nusantara. Mustahil hal tersebut terjadi jika hanya di sebarkan oleh individu yang menurut sejarah yang ada dibawa oleh pedagang.

Setelah menelusuri realita sejarah Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan, banyak penguasa muslim yang mengidentikkan kekuasaan mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk menegakkan kembali Khilafah Islam.

Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.

Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia. Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang.

Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.

Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran Khilafah.

Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

"Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah…."

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:

"Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya."

Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan pada akhir surat ini, yakni, “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam.”

Khilafah Mengamankan Rute Perjalanan Haji

Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.

Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.

Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. 

Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:

"(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu."

Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.

Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak

Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani.

Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.

Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.

Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia. Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.

Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.

Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.

Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.

Bendera Turki di Kapal Aceh

Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani. Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki. 

Respon atas Keruntuhan Khilafah

Pada permulaan tahun 1920 Khilafah Usmani menemui babak baru. Setelah Turki dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah menjadi sebuah negara republik yang sekuler dan tidak hanya itu, bahkan ia mengumumkan penghapusan kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera mengejutkan dunia Islam dan  membawa respon sejumlah umat Islam  untuk mewujudkan kembali Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan menerapkan hukum-hukum Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat, termasuk di Nusantara, mulai dibicarakan ide penegakkan Khilafah kembali.

Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan Khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah Khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. 

Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan Khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. 

Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Utsmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip Van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.

Fakta sejarah telah berbicara,  bahwa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Kedigdayaan Khilafah bukanlah omong kosong belaka.  Begitu pula dengan peran Khilafah dalam menjalin hubungan dengan Nusantara kita tercinta. Sehingga, tak perlu memelihara rasa takut mendengar kata Khilafah. 

Apa yang ditakutkan dari Khilafah? 

Dengan Khilafah, seluruh ajaran Islam dapat diterapkan secara kaffah. Sementara Islam dari Allah Swt, Zat Yang Maha Benar dan Maha Adil

Dengan Khilafah pula, Islam tersebar ke seluruh dunia. Termasuk ke negeri ini.

Wallahu'alam.. 

*Dikutip dari berbagai sumber

Posting Komentar untuk "Saatnya Generasi Millenials Melek Sejarah"