Uang Baru: Haru Biru dan Solusi Semu

 


Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)

HUT RI di tengah pandemi memang tak semeriah tahun sebelumnya. Gegap gempita karnaval dan festival tak seramai tahun lalu. Kali ini HUT RI ditemani oleh pandemi covid-19. 

Meski pandemi masih melanda negeri, pemerintah punya cara tersendiri merayakan HUT RI. Sebagaimana diberiyakan Kompas.com bahwa pemerintah dan Bank Indonesia (BI) baru saja menerbitkan uang baru sebagai Uang Edisi Khusus Kemerdekaan ke-75 RI (Uang Baru HUT 75 RI) dengan lembaran nominal Rp 75.000 (18/08).

Uang baru yang diterbitkan tersebut memicu pro kontra di tengah masyarakat. Uang Baru HUT 75 RI ini pasalnya diterbitkan di tengah pandemi dan negara masih mengalami karut marut ekonomi, bahkan di ambang resesi.

Meski penerbitan ini hanya dilakukan bank sentral secara berkala setiap 25 tahun sekali, namun keberadaannya tak cukup memberikan solusi bagi berbagai persoalan yang dihadapi selama pandemi. Fakta uniknya desain uang baru yang mengusung tiga tema besar (Mensyukuri Kemerdekaan, Memperteguh Kebhinekaan, dan Menyongsong Masa Depan Gemilang) tak lantas dapat menyumbat problematika yang dihadapi saat ini.

Kriminalitas yang tinggi, dekadensi moral, resesi, mata rantai penyebaran dan penggunaan narkoba dan turunannya, ataupun persoalan lain yang masih menghiasi negeri tak lantas bisa terhenti dengan diterbitkannya uang baru. Haru biru penyambutannya hanya dirasakan masyarakat di kalangan atas saja, uang baru tak memiliki nilai tawar akan sebuah solusi. Euforia saja akhirnya yang dirasakan oleh segelintir masyarakat yang punya modal kuat. Sementara masyarakat menengah ke bawah tetap melarat dan sekarat.

Penerbitan uang baru di tengah pandemi menunjukkan cara pandang sesuai ideologi yang diemban, yakni sistem kaputalisme. Pasalnya, di saat rakyat butuh solusi krusial seperti vaksin dan kebijakan karantina yang mencukupi kebutuhan pokok tak kunjung dipenuhi. Justru pemerintah memikirkan penerbitan mata uang di tengah menurunnya daya beli.

Sistem kapitalisme memalingkan negara dari tanggung jawab yang sebenarnya, yakni menjadi pelayan utama rakyat. Negara cenderung berpikir untuk kesenangan sesaat dan apa yang membawa manfaat berupa keuntungan materi.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Permasalahan utama yang dihadapi terkait pandemi akan segera diselesaikan. Karantina total akan dijadikan sebagai solusi. Ketersediaan APD, alkes dan vaksin akan segera dibiayai. Begitu pula kebutuhan pokok individu rakyat akan dipenuhi.

Islam mewajibkan khalifah benar-benar menjadi perisai dan pelayan rakyat. Khalifah harus memastikan satu persatu individu rakyat, sudah sejahtera atau belum. Selain itu, khalifah wajib menyelenggarakan pendidikan yang berbasis aqidah Islam dengan Tsaqofah Islam, Bahasa Arob dan Sains berbasis tauhid sebagai kurikulum dasar guna menjaga suasana keimanan, sehingga peluang kriminalitas dan dekadensi moral dapat diminimalisir bahkan ditiadakan.

Sementara terkait uang baru tak akan dijadikan solusi dalam menangani persoalan kehidupan. Sistem Islam memakai dinar dan dirham sebagai mata uang. Sistem uang emas dan perak ini tahan inflasi, cenderung stabil, dan sangat berharga. Negara tak akan mencetak uang baru hanya sebatas seremonial semata.


Wallahu a'lam bish showab

Posting Komentar untuk "Uang Baru: Haru Biru dan Solusi Semu"