Agent Of Change Tersandera Pakta Integritas?
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya“. (HR. At-Tirmizi)
Beredar informasi tentang dokumen pakta integritas mahasiswa UI, terdapat poin yang mengatur mahasiswa tidak terlibat kegiatan terkait politik praktis dan kemahasiswaan yang tidak diizinkan kampus. Karena mahasiswa selama ini dianggap sebagai alat atau agen faham fundamentalisme, yang beredar di kampus oleh organisasi tertentu yang tidak resmi menurut kampus. Penandatanganan pakta integritas ini dianggap sebuah kemajuan, agar mahasiswa bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Jika mereka melanggar aturan kampus atau yang tertera di dalam pakta integritas, maka mereka bersedia dihukum (m.cnnindonesia, 13/9/20).
Hal ini dilakukan untuk mendukung arahan Presiden mempersiapkan SDM unggul yang memiliki kepribadian Indonesia dan siap mengamalkan Pancasila. Membumikan konsep Kampus Merdeka-nya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan memperkuat kemampuan literasi data, literasi teknologi, literasi manusia, dan experimental learning. Semuanya untuk mempersiapkan masa depan anak bangsa menghadapi tantangan Industry 4.0 dan Society 5.0 era disrupsi teknologi (beritasatu.com, 12/9/20).
Benarkah ini sebuah kemajuan bagi mahasiswa, apalagi pakta integritas itu mencoba diterapkan pada mahasiswa baru. Dimana mereka calon-calon agen perubahan sebuah bangasa, bagaimana bisa menjadi agent of change jika mereka tersandera pakta integritas? Bukankah sebuah perubahan banyak diawali oleh para pemuda yang menjadi tonggak kebangkitan dan perjuangan bangsa yang memiliki daya kritis? Karena di usia muda semangat mereka berkobar menyala-nyala agar negeri ini berubah ke arah yang lebih baik sesuai arahan Sang Pencipta.
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI menolak adanya pakta integritas yang diwajibkan kepada mahasiswa 2020 karena dinilai mengekang kebebasan berpendapat dan antidemokrasi. Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia menampik bahwa pakta integritas tersebut berasal dari kampus. Ia mengatakan pakta integritas yang beredar bukan dokumen resmi dari UI. Ahli hukum tata negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan mengatakan pakta integritas jarang diterapkan di lingkungan pendidikan. Asep menyebut keberadaan pakta integritas seringkali ditemukan dalam kehidupan birokrasi di sebuah lembaga negara.
"Dalam kehidupan birokrasi seringkali pakta integritas diwajibkan. KPK itu salah satu contoh. Dalam konteks dunia kampus jarang."
Asep menjelaskan pakta integritas merupakan bentuk janji seseorang untuk melakukan sesuatu yang ditetapkan sebuah institusi. Pakta integritas sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum yang tinggi, namun hanya berdasar moral dan etika. Umumnya pada institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pakta integritas mengatur tatanan moral yang harus diikuti pegawai. Salah satunya berjanji tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dan tindak pidana korupsi.
Menurut Asep, pakta integritas tidak bisa membatasi kegiatan seseorang. Jika diterapkan di kampus, katanya, pakta integritas sekadar mengatur mahasiswa mengikuti aturan kampus dan menghormati almamater, bukan membatasi kegiatan mahasiswa. "Pakta integritas itu kan [seharusnya menjabarkan] karakter pribadi, kejujuran, kerja keras, menghormati perbedaan, toleran di kampus. Itu yang mesti dibangun. Bukan tidak boleh [melakukan kegiatan tertentu], dalam kata organisasi," ujarnya.
Terjadi mis dalam memahami akar masalah dalam kehidupan di negeri ini, sehingga solusi yang ditawarkan tidak akan pernah tuntas malah menambah masalah. Maksudnya agar mahasiwa tidak bermasalah, namun hal ini membungkam daya kritis mahasiswa sebagai agent of change. Sesungguhnya akar masalah mulai dari perilaku pemuda yang menyimpang, misal kecanduan narkoba, pelaku free sex, legebete, dan sebagainya adalah akibat dari tidak sesuai dengan sunnatullah.
Hingga masalah dalam bentuk besar seperti bernegara, bagaimana menyelesaikan korupsi, pandemi, kemiskinan, dan lain sebagainya karena manusia abai dari perintah Allah. Benarlah firman-Nya, bahwa segala kerusakan yang terjadi di muka bumi karena ulah manusia yang tidak patuh pada aturan-Nya. Secara logika, jika sebuah mobil merek tertentu tidak mengikuti panduan dari pabriknya maka yang terjadi adalah kerusakan. Maka apalagi manusia dan alam semesta yang diciptakan begitu kompleks oleh Sang Pencipta.
Seharusnya para pemuda diarahkan agar sesuai arahan Sang Pencipta bukan diarahkan menjadi pembangkang penciptanya. Tentu hal ini bertentangan dengan misi pemuda yang familiar yaitu sebagai agent of change. Sejarah mencatat, para pemuda memiliki peran yang besar bagi perubahan. Umar bin Al Khaththab di usia 28 tahun aktif berdakwah membela Islam, begitu juga sahabat Ali bin Abi Thalib di usia 10 tahun. Sehingga usia mereka digunakan untuk kebaikan dan menjalankan perintah Allah, tak heran kehidupan para sahabat diliputi keberkahan.
Beginilah gambaran pemuda di dalam Islam, dan Islam mengangkat peran para pemuda dalam mengembangkan risalah Islam. Menjadi panutan bukan robot yang harus tunduk pada penguasa walaupun penguasa berlaku dzalim. Akankah pemuda di negeri ini mencatat sejarah emas nan gemilang sebagai agent of change hingga Islam tegak di muka bumi dan menjadi pemuda yang didamba Allah dan Rasul-Nya?
Allahu A'lam Bi Ash Shawab.
Posting Komentar untuk "Agent Of Change Tersandera Pakta Integritas?"