Kaum Feminis Mana Tahu Beda Pemahaman dan Pemaksaan, Tahunya Bebas!
Oleh: Anggun Permatasari
Di tengah laju kontaminasi covid-19 yang kian meresahkan, jagat maya dihebohkan dengan postingan media centang biru, DW (Deutch Welle). Media asal Jerman itu dihujat sejumlah tokoh dan netizen tersebab membuat konten video yang mengulas tentang sisi negatif membiasakan anak berjilbab sejak dini.
Dalam video tersebut, DW Indonesia mewawancarai perempuan yang mewajibkan putrinya mengenakan hijab sejak kecil. DW Indonesia juga mewawancarai psikolog Rahajeng Ika. Ia menanyakan dampak psikologis bagi anak-anak yang sejak kecil diharuskan memakai jilbab. Rahajeng menjawab bahwa mereka menggunakan atau memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya (Jurnal Gaya, 26/09/2020).
Lagi-lagi kaum feminis berulah. Tempo hari melempar isu kesetaraan upah, sekarang mempermasalahkan jilbab. Memang, dalam kaca mata kebebasan perilaku kaum feminis, tubuh adalah milik individu yang tidak boleh diatur orang lain. Perempuan harus menghargai dan bangga pada tubuhnya sendiri. Setiap wanita juga berhak menentukan cara bagaimana mengekspresikan rasa syukur terhadap tubuhnya.
Jadi, wajar saja kalau ajaran menutup aurat yang merupakan perintah dan bentuk penjagaan Allah Swt. terhadap wanita dianggap sebagai bentuk pemaksaan. Selain itu, menurut pemikiran dangkal mereka yang sekuler bahwa banyak orang di kehidupan nyata maupun dunia maya menggunakan “logika agama” untuk memberi tekanan dan harapan bagi kehidupan perempuan di ranah publik.
Pegiat feminisme menyerang kaum agamis dengan mengatakan bahwa mereka selalu menjadikan kita suci sebagai alat untuk menghakimi orang-orang yang dianggap salah. Padahal, pada kenyataannya kaum feminis-lah yang sering memelintir dan menerjemahkan ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci semau mereka.
Entah merujuk pada kitab mana mereka mengatakan perintah menutup aurat multitafsir dan masih dalam perdebatan ulama. Kalaupun mereka sependapat bahwa menutup aurat juga merupakan bagian dari hak wanita, hal itu hanya bersifat simbolis untuk keadaan tertentu saja, bukan sebagai pakaian sehari-hari.
Bahkan, mereka menilai bahwa meningkatnya konservatisme agama di Indonesia sejalan dengan bertambahnya perempuan yang menutup aurat. Menurut mereka perintah menutup aurat bukan kewajiban. Menutup aurat adalah budaya yang kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi sekat bagi perempuan dalam mengaktualisasikan diri.
Alih-alih mengedukasi masyarakat untuk menghargai tubuh sendiri, mereka justru menjatuhkan harga diri kaum wanita. Sejatinya, pernyataan seperti itu merupakan buah busuk dari pemikiran dan gencarnya para pejuang gender dalam menyosialisasikan persamaan hak dan kebebasan kaum wanita. Mereka beranggapan bahwa apapun yang dilakukan kaum hawa terhadap tubuhnya adalah hak mereka sepenuhnya.
Pandangan ini lahir dari gaya hidup liberal yang otomatis menghasilkan pemikiran yang sekuler pula. Mereka tidak terima apabila perilakunya dibilang salah apalagi melanggar aturan agama. Karena memang watak buruk sekularisme adalah memisahkan kehidupan dari aturan Tuhan. Akibat pemikiran sekuler itulah kaum feminis tidak bisa membedakan mana pemahaman, mana pemaksaan.
Memang, mereka sejatinya tidak akan berhenti berkampanye tentang kesetaraan dan kebebasan hingga angan semunya terwujud. Sayangnya, walau berbagai gerakan maupun kebijakan yang diharapkan mampu merealisasikan impian mereka telah dilakukan, namun sampai saat ini jumlah dan jenis persoalan yang menerpa perempuan tidak juga berkurang. Berbagai eksploitasi ekonomi, tubuh, komersialisasi melalui media, kekerasan seksual, ketiadaan jaminan pendidikan dan kesehatan ternyata masih membayangi kaum perempuan dimanapun.
Kaum feminis liberal seakan tidak henti menyerang ajaran Islam. Pendidikan ketaatan dalam berpakaian dipermasalahkan. Dianggap pemaksaan dan berakibat negatif bagi perkembangan anak. Padahal, dengan pemahaman utuh yang didasari keimanan dan ketaqwaan serta pembiasaan sejak dini, anak-anak akan melakukannya dengan senang hati.
Pemahaman tentang menutup aurat sejak diri akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Secara fitrah, mereka akan mengenal jati dirinya sebagai seorang muslimah dan paham bahwa jilbab adalah bagian dari identitasnya sebagai hamba Allah Swt. Tapi, lagi-lagi kenyataan ini tidak akan sampai dan diterima oleh pemikiran kaum feminis yang sekuler dan liberal.
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai muslimah untuk melawan serangan paham feminisme yang merusak. Hal ini penting agar anak-anak dan generasi muda tidak teracuni dengan pemikiran busuk mereka. Fakta berbicara, kaum feminis tidak akan berhenti melakukan propaganda jahat terhadap ajaran Islam. Parahnya lagi, negara membiarkan. Sampai saat ini belum ada payung hukum yang benar-benar membendung konten-konten yang mengandung paham sesat yang memojokkan Islam seperti yang ditayangkan DW.
Namun, kasus-kasus semacam ini merupakan hal lumrah di alam kehidupan sekuler liberal. Tanpa disadari selama ini kaum perempuan dilibas ide kesetaraan gender yang menghilangkan fitrah mulianya. Yang lebih menyayat hati, justru banyak dari kalangan muslimah yang juga menjadi agen kaum feminis ikut memperjuangkan ide-ide busuk itu.
Tentu perkara seperti ini tidak akan terjadi apabila negeri ini dipimpin oleh sistem kepemimpinan shahih, Khilafah Islamiyah. Khilafah pastinya meniadakan serangan pemikiran liberal terhadap ajaran Islam. Sistem Khilafah menjamin pelaksaaan kewajiban menutup aurat, bahkan melindungi para muslimah dalam berhijab.
Perintah mengenakan jilbab terdapat dalam al-quran surat Al-Ahzab ayat 59, yang artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuan, dan perempuan-perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenal dan mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Selain itu, perintah berkerudung ada dalam Al Quran Surat An-Nur ayat 31, yang artinya: "Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”
Islam mengajarkan para muslimah untuk menahan kemaluan dan pandangannya. Yang berarti malu merupakan selimut bagi muslimah. Sifat malu adalah akhlak yang utama. Apabila sedikit malu yang dimiliki seorang hamba, menandakan telah mati hatinya.
"Iman itu ada tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Maka iman yang paling utama adalah ucapan ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari Iman.” (HR: Muslim)
Kaum feminis harus banyak membaca sejarah. Dahulu para shahabiyah memiliki ketundukan kepada Allah Swt. yang sangat luar biasa. Ketika Allah Swt. menurunkan ayat hijab, dan mewajibkan jilbab, mereka segera mengambil tirai atau gorden-gorden rumahnya untuk menutup aurat nya. Mereka tidak pernah berkata “panas” apalagi terpaksa. Mereka pun tidak pernah berkata “bagaimana dan mengapa?.” Segera mereka berkata sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami ta’at.
Penerapan syariat Islam yang sempurna melalui bingkai Daulah Islam akan senantiasa menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita dengan seperangkat kebijakan dalam bentuk undang-undang. Konten-konten negatif, menyimpang dan tidak mendidik tidak akan bebas tayang di dunia maya. Sehingga, masyarakat tidak akan seenaknya melakukan penyimpangan yang dapat memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat seperti yang dilakukan kaum feminis.
Wallahualam.
Posting Komentar untuk "Kaum Feminis Mana Tahu Beda Pemahaman dan Pemaksaan, Tahunya Bebas!"