Rombak Total Sistem Pangan
Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)
Pandemi covid-19 menunjukkan kerentanan sistem pangan yang disandarkan pada pasar dengan mengabaikan aspek kedaulatan pangan. ketergantungan pada impor dan rantai pasok yang panjang telah berdampak buruk bukan hanya pada konsumen di perkotaan, melainkan juga petani yang menjadi produsen pangan.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Tani center IPB University Kamis (15 Oktober 2020). Menurut Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah, Diperkirakan harga komoditas hortikultura di tingkat petani turun hingga 50% sejak Maret lalu. Saat panen raya pada Mei lalu, harga padi juga dibawa HPP (harga pembelian pemerintah).
Di sisi lain, masyarakat perkotaan ternyata justru terhambat dalam mendapatkan pangan berkualitas. bahkan terdapat kasus orang yang meninggal karena kelaparan. hal ini menunjukkan sistem pangan di Indonesia tidak cukup tahan dan adil.
Organisasi pangan dunia (FAO) dalam laporan terbaru "The State of Food Security and Nutrition in the World 2020" menyebutkan, pandemi covid 19 dapat menambah 83 juta-132 juta orang penduduk yang kekurangan gizi di dunia pada tahun 2020, namun hal ini tetap tergantung pada skenario pertumbuhan ekonomi.
Kerentanan pangan di Indonesia bisa tergambar dalam Global Hunger Indeks 2020, yang menempatkan Indonesia di urutan ke 70 dari 107 negara. Dengan skor 19,1 Indonesia dikategorikan dalam tingkat kelaparan sedang. Skor ini membaik dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 23,1.
Jika krisis berkepanjangan, impor pangan dari luar akan bermasalah. Oleh karena itu, belajar dari krisis 1997/1998, kedaulatan pangan lokal menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi sistem pangan secara menyeluruh. Selama ini kekuatan pangan disandarkan pada luar yang ditandai dengan semakin meningkatnya impor pangan.
Situasi ini justru dimanfaatkan para pemburu rente, seperti terjadi pada awal pandemi saat pemerintah membuat relaksasi perizinan impor bawang putih. di sisi lain tidak ada upaya serius pemerintah untuk membantu petani yang menderita karena harga produk mereka yang jatuh. Padahal, saat pandemi ini petani turut berada di garis depan sebagai penyedia pangan untuk seluruh rakyat.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan sistem pangan dengan fokus pada aspek kedaulatan dan keadilan. Saat ini petani belum berdaulat, masih menjadi objek dan menerima manfaat yang kecil dari sistem pangan yang ada. akibatnya sistem ini membuat generasi muda saat ini enggan masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan adanya masalah bagi regenerasi petani.
Kebijakan dan sistem pangan harusnya didorong dari kepentingan petani sebagai subjek pembangunan pertanian dan penyedia pangan bangsa, bukan dari kepentingan pihak luar. Selain itu, kebijakan pangan harus berpihak pada petani sehingga anak-anak muda mau masuk ke sektor ini. Selanjutnya, jika pemerintah memang merasa berpihak ke petani, maka yang seharusnya dipikirkan adalah bagaimana memberikan tambahan akses lahan kepada para petani kecil bukan korporasi besar.
Secara garis besar, keadaan saat ini memberikan gambaran bahwa proyek lumbung pangan belum berpijak untuk kepentingan rakyat. Menyerahkan lumbung pangan pada pihak korporasi hanya menjadikan kebutuhan rakyat ibarat ladang bisnis. Pemerintah membuat kebijakan korporasi yang mengelola. Hal yang terjadi selanjutnya, rakyat hanya sebagai konsumen semata. Lumbung pangan yang digadang-gadang sebagai solusi krisis pangan pada akhirnya hanya sebagai sarana kaum korporat memperkuat cengkramannya di negeri ini.
Maka, butuh solusi yang mampu mengatasi polemik pangan ini dengan cara yang adil dan tidak mendzolimi hak para petani. Tentunya aturan yang tak main-main dalam penegakan hukumnya serta adil dalam menjamin kebutuhan rakyatnya. Semua itu terangkum melalui sistem hukum yang benar dengan penerapan yang tidak mencederai hak umat seperti yang Islam ajarkan. Wallahu a'lam.
Posting Komentar untuk "Rombak Total Sistem Pangan"