Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berdamai dengan Yahudi, Arab Mengkhianati Baitul Maqdis


 


Oleh: Ragil Rahayu, SE

Satu per satu negara Arab meninggalkan Palestina dan memihak pada Yahudi. Setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menandatangani Perjanjian 'perdamaian' Abraham dengan Israel September lalu, kini Arab Saudi akan melakukan langkah serupa. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan negaranya terbuka untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. 

Sebelumnya, telah terjadi pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di Neom. Turut hadir dalam pertemuan tersebut kepala Badan Intelijen Israel Yossi Cohen dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo (Republika.co.id, 6/12/2020).

Penasihat khusus Presiden AS Donald Trump tentang negosiasi Timur Tengah, Avi Berkowitz menyatakan bahwa tujuh negara Arab atau muslim kemungkinan akan mengikuti jejak yang diambil Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain (mediaindonesia.com, 2/10/2020). Oman, Kuwait, Sudan, dan Maroko disebut-sebut juga akan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

Sikap negara-negara Arab ini merupakan pengkhianatan pada rakyat Palestina. Israel telah merampok tanah Palestina sejak tahun 1967 hingga kini. Berdasarkan proposal Presiden AS Donald Trump terbaru hanya akan tersisa sekitar 15 persen dari keseluruhan wilayah Palestina sebelum dijajah Israel (suarasurabaya.net, 1/7/2020). 

Penjajahan ini seharusnya dijawab dengan perlawanan militer, bukan malah tunduk pada perjanjian damai yang hakikatnya melanggengkan penjajahan terhadap Palewstina, negeri tempat Mi’raj.

Israel-AS Untung, Arab Buntung

Normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab memberikan keuntungan besar bagi Negeri Yahudi itu. Yang pertama, hal tersebut memudahkan jalan pendudukan Palestina. Tidak akan ada lagi dukungan dari negara Arab terhadap Palestina. 

Yang kedua, militer Israel akan mendapat sokongan yang lebih kuat. Dikutip dari Middle East Monitor, wartawan majalah Haaretz Israel, Hagai Amit mengatakan kalau ratifikasi perjanjian normalisasi hubungan Israel-Bahrain adalah 'awal baru bagi musim semi Arab-Israel'.

Yang ketiga, terkait dengan industri persenjataan milik Amerika Serikat (AS). Berdasarkan laporan Amit, Departemen Pertahanan AS mengeluarkan beberapa berita baik soal industri artilerinya. UEA diperkirakan akan menerima beberapa unit jet tempur F-35 dari AS setelah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. 

Sementara Qatar berhasil meraih kesepakatan dengan AS terkait pembelian jet tempur F-15 untuk pertama kalinya. Akan ada 36 unit F-15 yang dikirim terlebih dahulu dari total 72 buah pesanan dari Qatar. Departemen Pertahanan AS juga mengungkap kalau Boeing berhasil dapat kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi untuk membuat 70 unit jet tempur F-15. Total nilai kontrak mereka sebesar 9,8 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp138 triliun.

Angkatan udara Israel secara tidak langsung mendapatkan keuntungan dari kesepakatan itu karena AS akan terus meningkatkan dan mengembangkan jet tempur F-15 milik mereka. Selain itu, beberapa onderdil untuk jet tempur tersebut juga diproduksi dan dipasangkan oleh industri penerbangan Israel (Pikiran-Rakyat.com, 18/11/2020).

Nasionalisme Membutakan Mata

Sikap egois negara-negara Arab disebabkan oleh paham nasionalisme yang mereka anut. Paham ini juga yang tengah dianut oleh seluruh negeri-negeri muslim di dunia. Nasionalisme telah membutakan mata mereka terhadap penderitaan umat Islam di Palestina. 

Padahal Baitul Maqdis sangat dekat dari istana mereka. Namun mata mereka buta, telinga mereka tuli, dan mulut mereka bisu. Sehingga tak bergerak sedikit pun untuk menyelamatkan nyawa saudaranya di Palestina. Untuk menjaga kehormatan para muslimah dan menyeka air mata anak-anak disana.

Bantuan hanya mereka kucurkan berupa donasi sosial. Berupa obat dan makanan. Seringkali bantuan itu tak sampai ke tangan kaum muslimin Palestina, karena Yahudi membokade wilayah mereka.

Khilafah Pelindung Al Quds

Sikap pengecut negara-negara Arab ini tidak akan terjadi jika ada kekuasaan berupa khilafah. Karena Khilafah adalah satu-satunya negara yang akan mengerahkan segala kekuatan demi melindungi Palestina. Dulu Khalifah Umar bin Khattab membebaskan Palestina dari Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) pada tahun 638 Masehi/16 Hijriah. Uskup Agung kota ini, yaitu Patriach Sophorius menyerah dengan damai. 

Palestina di bawah naungan Khilafah berkembang menjadi sebuah wilayah yang multi agama. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai dan tertib. Khilafah tidak pernah memaksakan agama Islam kepada penduduk Palestina.

Palestina senantiasa berada di bawah naungan Khilafah mulai dari Khulafa’ur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, hingga Bani Utsmaniyah. Khalifah Utsmaniyah yakni Sultan Abdul Hamid II senantiasa menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi.

Pada 1892 Yahudi Rusia memohon untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina, namun Sultan menolak. Pada 1896 Theodor Herzl kembali menemui Sultan untuk meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Sultan menolak dengan tegas. “Sesungguhnya, Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan tersebut. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian dalam kantong kalian sendiri,” jawab Sultan.

Pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan melarang peziarah Yahudi untuk tinggal di Palestina lebih dari tiga bulan. Pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada 1902 Herzl menghadap Sultan Abdul Hamid II lagi. Herzl menyogok Sultan dengan uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang Pemerintah Utsmaniyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina. Semuanya ditolak oleh Sultan. 

“Nasihati Herzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan Palestina. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka.Jika suatu saat kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Namun, selama masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah,” tegas Sultan (republika.co.id, 9/9/2020).

Demikianlah sikap ksatria Khalifah terhadap Yahudi Israel. Khilafah Islamiyah melindungi dan menjaga Palestina hingga titik darah penghabisan. Sungguh bertolak belakang dengan sikap Negara-negara Arab yang “menjual” Palestina dan Baitul Maqdis dengan harga murah. Wallahu a’lam bishshawab.[]


Posting Komentar untuk "Berdamai dengan Yahudi, Arab Mengkhianati Baitul Maqdis"

close