Berhenti Mengkambinghitamkan Islam dalam Kasus Tragedi Sigi




Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 

Pada Jum'at, 27 Nopember 2020, terjadi pembantaian sadis satu keluarga di Daerah Sigi, Sulawesi Tengah (www.tribunnewsmaker.com, 1 Desember 2020). Pelaku berjumlah sekitar 6 orang. Para pelaku diduga dari kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Ali Kalora.Sedangkan MIT sendiri berafiliasi dengan ISIS. 

Lagi-lagi kejadian memilukan ini terkesan dikaitkan dengan radikalisme. Seruan-seruan agar mengedepankan Islam yang moderat seolah mendapatkan angin segar. 

Sedangkan dari pemerintah segera melakukan tindakan cepat. Presiden Jokowi sendiri mengecam tragedi Sigi sebagai aksi terorisme. Segera pemerintah mengerahkan TNI dan Polri untuk mengejar kelompok Ali Kalora.

Tidak Ada Kaitannya dengan Islam

Salah bila mengkaitkan tragedi Sigi dengan Islam. Apalagi langsung menjadikan ajaran Islam tentang jihad dan harta fai sebagai sumber masalah. 

Islam dengan tegas melarang untuk membunuh orang lain. Kita bisa menyimak di dalam firman Allah SWT berikut ini. 

انه من قتل نفسا بغير نفس او فساد في الارض فكأنما قتل الناس جميعا، ومن احياها فكأنما احيا الناس جميعا

Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh jiwa tanpa hak, atau membuat kerusakan di muka bumi, maka sesungguhnya seperti membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa yang menghidupkan satu jiwa manusia, maka sesungguhnya ia seperti telah menghidupkan seluruh manusia (QS Al-Maidah ayat 32).

Nyawa itu adalah pemberian Allah SWT. Tidak ada hak bagi siapapun untuk mengambil nyawa orang lain. Oleh karena itu, dosa besar bagi siapa saja yang melakukan pembunuhan. 

Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan dalam firmannya:

ولا تقتلوا النفس التي حرم اللّه الا بالحق

Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang telah Allah haramkan kecuali dengan alasan yang haq (benar) (Surat al-Isra ayat 33).

Alasan yang haq (benar) adalah alasan yang diijinkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Yang termasuk alasan haq adalah rajam bagi pezina muhson, qishash pada kasus pembunuhan sengaja, hukuman mati bagi orang murtad, hukuman mati bagi pembegal yang membunuh dan sangsi takzir hukuman mati bagi kejahatan yang berat. Pelaksanaan sangsi tersebut adalah hak negara.

Berikutnya secara faktual, tragedi Sigi tidak berkaitan dengan Islam. Menurut Pengamat Inteligen dan Terorisme UI, Ridwan Hamid, warga di kaki bukit menjadi target kelompok Ali Kalora. Kebetulan kemarin itu korbannya adalah keluarga Kristen. Sedangkan di Bulan April kemarin, petani Poso pesisir menjadi korban mereka, yang notabenenya agamanya Islam, imbuhnya.

Sekarang kita membuat perbandingan. Saat terjadi pembantaian warga pendatang di Wamena, Papua pada September 2019 oleh OPM, kelompok Ali Kalora tidak membela warga pendatang. Padahal warga pendatang di Wamena, mayoritasnya beragama Islam. Artinya jika kelompok Ali Kalora menamakan dirinya sebagai Mujahidin, seharusnya membela Islam dan umatnya. Bukan justru mencoreng kemuliaan Islam dengan aksi pembantaian terhadap warga sipil. 

Begitu pula ISIS memproklamirkan diri memperjuangkan Islam, tapi sepak terjang mereka justru jauh dari tuntunan Islam. Tujuannya adalah untuk menjadikan umat Islam menjauh dari ajaran Islam, khususnya ajaran jihad dan Khilafah.

Pola Berpikir yang Salah

Tatkala terjadi aksi tidak berperikemanusiaan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi jihad, serta merta dikembangkanlah pandangan agar menjadikan kemoderatan sebagai arus utama. Padahal seharusnya yang dilakukan mendudukkan term jihad sesuai proporsinya dalam Islam. Dengan demikian akan diketahui jauhnya aksi sadis tersebut dari ajaran Islam.

Jihad itu merupakan ajaran Islam. Ajaran jihad berposisi sebagai mercusuar Islam. Secara bahasa jihad berarti bersungguh-sungguh. Sedangkan secara syar'i jihad adalah mengerahkan segenap daya dan kemampuan dalam berperang meninggikan kalimat Allah di hadapan kekufuran. Dalam kaidah ushul, makna syar'i itu harus dikuatkan daripada makna term secara bahasa. Sebagaimana Allah menyatakan dalam firman-Nya:

وقاتلوهم حتّى لا تكون فتنة ويكون الدين للّه

Perangilah mereka hingga tidak ada lagi kekufuran dan agama itu semuanya untuk Allah (Surat al-Anfal ayat 39).

Jadi jihad itu dilakukan dalam kondisi perang. Ada jihad mempertahankan diri saat diserang musuh. Sebagai contoh muslim Palestina yang berjihad mempertahankan diri dari agresi Israel. Adapun jihad hujumi atau menyerang terlebih dahulu itu hanya bisa dilakukan oleh Khilafah. Tentunya setelah bangsa kafir tersebut terlebih dulu diseru kepada Islam dan keamanannya, tapi mereka menolak. Maka pada kondisi demikian, Khilafah akan mengerahkan pasukan guna menghilangkan halangan fisik yang menghadang sampainya hidayah Islam kepada penduduk bangsa tersebut. 


Dari aktifitas jihad Khilafah tersebut, didapatkanlah ghonimah/rampasan perang termasuk di dalamnya fai. Fai itu didapatkan tanpa melalui peperangan. Bisa jadi bangsa kafir tersebut menyerahkan dirinya tatkala mendengar akan ada serbuan pasukan Khilafah. Karenanya mereka menyerahkan hartanya sebagai jaminan keamanan. Atau bisa jadi mereka melarikan diri meninggalkan harta bendanya. 


Kesimpulannya, aksi sadis terhadap warga sipil bukanlah jihad. Tidak boleh mengatasnamakan jihad. Aksi sadis tersebut tidak lebih dari aksi perampokan dan pembegalan, yang dalam terminologi Islam disebut dengan kejahatan Qutha ath Thariq. Maka sangsi Islam terhadapnya adalah jika mereka mengambil harta, maka dipotong kaki dan tangannya bersilangan. Jika mereka membunuh tidak mengambil harta, maka mereka diberi sangsi hukuman mati. Sedangkan bila mereka merampas harta sekaligus membunuh, maka mereka akan dibunuh setelah itu disalib. Demikianlah sangsi yang pantas bagi para perampok, pembegal dan pembuat kerusakan di muka bumi.

Oleh karena itu, negara akan mengerahkan satuan kepolisian guna menumpasnya. Bahkan sangat diperlukan untuk mengerahkan tentara bersenjata lengkap guna mengejar mereka. Perang terhadap para pelaku kerusuhan tersebut adalah perang dalam rangka membunuh dan menyalib mereka. Negara harus tegas menolak semua model intervensi asing dalam menyelesaikan masalah demikian. 

Dalam proses penumpasan para perampok dan pembegal tersebut, sangat penting peran serta masyarakat memberikan informasi kepada negara. Maka negara harus mampu menjamin rasa aman warganya. Negara memperhatikan kesejahteraan warga sehingga hal demikian akan melahirkan loyalitas terhadap negara. 

Demikianlah garis arah kebijakan negara yang ditetapkan Islam dalam menghadapi para perampok, pembegal jalanan dan para pembuat kerusuhan di muka bumi. 


# 03 Desember 2020

Posting Komentar untuk "Berhenti Mengkambinghitamkan Islam dalam Kasus Tragedi Sigi"