Refleksi Hari Ibu: Antara Persepsi hingga Jati Diri


 


Oleh: Afiyah Rasyad


Surga di telapak kaki ibu adalah sebuah hadits yang masyhur diketahui khalayak. Keramat seorang anak adalah ibunya. Ibu tempat bertanya segala macam pertanyaan. Ibu melayani anak di rumah dengan penuh kasih sayang.

Lebih dari setengah abad, peran ibu tergerus keadaan. Ibu yang harusnya bercengkrama dengan anak di rumah, kini berjibaku di dunia kerja demi terpenuhinya suaka rumah tangga. Ibu yang harusnya mendidik dan mengasuh anak, kini lebih bergelora meniti karir di kehidupan publik.

Sebentar lagi Hari Ibu akan dirayakan, namun sayang nasib ibu kian hari kian malang. Pasalnya persepsi di mulai dari ideologi yang diemban. Kapitalisme-sekulerisme mengoyak peran utama perempuan. Persepsi bahwa wanita di rumah saja seperti membiarkan uang begitu saja. 

Lebih dari itu, ide feminisme sukses menggeser kiprah ibu rumah tangga sebagai madrasatul ula. Banyak sosok ibu yang berlomba-lomba mencari kesuksesan di luar ranah publik. Parahnya, kiprah mereka di ranah publik menanggalkan kode etik agama. Banyak ibu muslimah yang terjerat badai feminisme-sekulerisme.

Kehidupan rumah tangga hanyalah waktu sisa dan waktu lelah saja. Ibu sudah mulai terbiasa hidup di luar rumah. Anak dan suami nomor kedua atau ketiga setelah urusan kerja. 

Persepsi kesuksesan adalah meraih banyaknya materi yang menimpa kaum ibu sangatlah wajar. Pasalnya pandangan kapitalisme terhadap perempuan layaknya barang komersil yang dilabeli harga dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Ibu muslimah pun tak luput dari persepsi kapitalisme ini. Meniti karir di luar rumah adalah yang tak pernah dipikirkan dua kali. Banyak di antara ibu muslimah yang berpenampilan layaknya wanita kafir, memaka rok mini sesuai tuntutan tempat kerja. Kalaupun berbusana muslimah, bukan pakaian syar'i yang dikenakan, bukan jilban dan kerudung lebar, namun pakaian ala wanita kafir Barat.

Selain perkara pakaian, ibu muslimah menafikkan pergaulan laki-laki dan perempuan. Ghodul bashor atau menundukkan pandangan tak dilakukan. Ikhtilat antara laki-laki dan perempuan menjadi kebiasaan. Bahkan berdua-duaan dengan lelaki bukan muhrim pun dijalani tanpa paksaan.

Ada pula ibu muslimah yang tidak berkiprah di luar rumah terkungkung dengan kapitalisme sekularisme. Dimana banyaknya materi adalah ukuran kebahagiaan. Walhasil, segala sesuatu dinilai dengan materi. Tatkala materi tidak terpenuhi, ibu akan gampang emosi dan depresi. Tak pelak, anak menjadi sasaran luapan emosi.

Kabar memilukan datang, betapa sadisnya seorang ibu di Nias membunuh 3 anaknya yang masih berusia balita lantaran kesulitan ekonomi (sumut.inews.id, 10/12/2020).

Kabar tersebut bukan kali pertama datang menyapa. Masih banyak berita semisal yang mengoyak jiwa. Dimana para ibu tega membunuh anaknya hanya karena urusan dunia.

Persepsi dan pemandangan ini hanya terjadi di alam demokrasi. Bukan hanya kesalahan ibu yang tak punya iman, namun demokrasi juga punya peran. Demokrasi menjadikan negara abai dalam menanamkan akidah Islam dalam pendidikan setiap individu masyarakat hingga tidak mampu melahirkan individu bertakwa. 

Tak bisa dipungkiri, demokrasi biang masalah sejati, biang masalah tanpa solusi. Demokrasi gagal melindungi ibu dan anak, terutama urusan pemenuhan kebutuhan pokok individu. Semakin banyaknya keluarga miskin menjadi salah satu indikator nyata, kaum ibu terus menjerit karena harga bahan pokok kian melangit. Belum lagi minimnya pendidikan yang disalurkan.

Salah satu hasil dari pendidikan ialah kesiapan ibu menjalankan amanahnya yaitu merawat dan mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang, mengasuhnya sampai ia mampu terhidnar dari kemaksiyatan, mengawal pemikirannya sampai mengantarkan mereka ke gerbang kedewasaan. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS At- Tahrim [66]:6)

Jati diri seorang ibu sebagai madrosatul ula hanya bisa dijalani dengan tenang ketika syariat Islam diterapkan. Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagai kepala keluarga pafa suami, bukan pada stri. Sehingga istri tidak perlu bersusah payah ataupun sukarela bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai risiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalisme saat ini.

Islam mendorong negara memfasilitasi para suami agar mencari nafkah dan mengingatkan mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada. Jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.

Dalam pemenuhan pendidikan, Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok dan asasi manusia. Negara bertanggung jawab penuh dalam menyediakan akses pendidikan secara gratis dan memadai untuk seluruh rakyat.

Terlabih lagi dalam kondisi pandemi saat ini, kebutuhan pembelajaran jarak jauh akan didukung sepenuhnya oleh negara sekaligus melakukan pengawalan dan evaluasi dalam setiap pembelajaran yang berlangsung. Khilafah, akan mengirim guru ke rumah-rumah muridnya. Sehingha ibu akan tenang karena khalifah akan berupaya membantu para ibu menjalankan semua perannya dalam keluarga. 

Dengan penerapan hukum Islam, jati diri ibu akan diperankan utuh. Kemuliaannya juga dijaga. Perannya sebagai ibu, istri, anggota masyarakat dan rakyat akan terlaksana sebagaimana mestinya.


Wallahu a'lam bish showab

Posting Komentar untuk "Refleksi Hari Ibu: Antara Persepsi hingga Jati Diri"