Alampun Menjadi Korban Ketamakan Kapitalisme
Oleh: Fitriyah Permata (Owner Liqo Gawiqu/Gaul with Quran)
Baru saja tahun 2021 dimulai, negeri ini sudah disambut dengan berbagai bencana. Gempa bumi di Sulawesi, Gunung Semeru erupsi, pesawat Sriwijaya Air jatuh, tanah longsor dan banjir bandang di berbagai daerah. Seolah alam memberi isyarat akan kondisinya yang mengkhawatirkan.
Bencana alam yang terjadi bukanlah semata kejadian alam biasa. Bencana ini datang akibat ulah tangan manusia tak bertanggung jawab. Seperti banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) menyebutkan bahwa banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan dipicu karena berkurangnya area hutan primer dan sekunder, sebagaimana dilansir BBC.com (18/01/2021).
Fakta lain yang mencengangkan bahwa luas hutan di Kalimantan Selatan periode 1990-2019 telah mengalami penurunan sebesar 62,8 % sebagaimana dilansir detik.com (19/01/2021).
Akibat luas hutan yang semakin menurun, area serapan air pun semakin berkurang. Sehingga ketika curah hujan tinggi, air tidak bisa ditahan dan dengan mudah mengucur deras ke daerah yang lebih rendah. Tak ayal banjir pun melanda pemukiman rakyat.
Dalam UU no 18 tahun 2013 disebutkan bahwasanya hutan adalah milik negara dan dikelola untuk kepentingan rakyat. Dalam UU tersebut juga dijelaskan tentang penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis, serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang. Tetapi sekarang faktanya justru hutan dibabat habis, tanpa peduli nasib rakyat.
Menurut organisasi lingkungan Greenpeace, ada sekitar 4,4 juta hektar hutan yang dibakar, sebagaimana dilansir VOA Indonesia.com (25/10/2020). Pembakaran hutan itu diperuntukkan pembukaan lahan kelapa sawit. Selain itu kayu-kayu tersebut juga digunakan untuk bahan pembuat kertas. Bagaimana mereka bisa dengan mudah membakar hutan di negeri ini? Bahkan menurut Greenpeace 8 dari 10 perusahaan terbesar pemilik lahan kelapa sawit yang ada di area hutan tersebut, tidak pernah mendapatkan sanksi.
Inilah hasil dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Demi memperbesar perusahaan para pemodal, hutan pun rela mereka bakar. Undang-Undang hanyalah sebuah tulisan tak berarti. Asal ada upeti, izinpun dengan mudah dikantongi.Tak peduli risiko apa yang akan terjadi.
Padahal akibat ulah pembakaran tersebut bukan hanya manusia yang sengsara, tetapi juga binatang bahkan bumi ini. Para binatang kehilangan tempat tinggal, ketersediaan oksigen semakin menipis, alhasil lapisan ozon pun semakin rusak. Ketamakan para kapitalis telah membuat alam di negeri ini rusak. Sungguh menyedihkan!
Dalam sistem Islam ada sebuah aturan yang mengharuskan disediakannya area konservasi yang disebut hima, sebagaimana hadist Rasulullah SAW ,Sahabat Abu Hurairah mengatakan, “Bila aku menemukan rusa di tempat antara dua lava mengalir, aku tidak akan mengganggunya; dan dia (Nabi) juga menetapkan dua belas mil sekeliling Madinah sebagai kawasan terlindung (hima).” (HR. Muslim)
Selain itu, pada era kekhilafahan, ketika mencegah terjadinya banjir, maka negara membuat kebijakan untuk membangun bendungan-bendungan yang bisa menampung debit air hujan yang banyak. Seperti yang masih ada di Cordoba, Afganistan, dan Yaman sebagaimana dilansir muslimahnews.com (6/01/2020). Selain itu, negara khilafah memetakan daerah mana yang aman atau tidak untuk tempat bermukim. Bahkan ketika era kekhilafahan, pada setiap jalan yang dibangun, wajib ada sebuah lubang kecil yang berguna menampung air untuk para burung minum.
Begitu luar biasanya sistem Islam menjaga alam dan bumi ini. Sudah selayaknya sistem Islam dijadikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan kerusakan alam yang ada di negeri ini.
Wallahua'lam bishowab
Posting Komentar untuk "Alampun Menjadi Korban Ketamakan Kapitalisme"