Islam Solusi Tuntas Stunting
Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)
"Bagai tikus mati di lumbung padi." Pribahasa tersebut memberikan gambaran kehidupan negara saat ini. Di tengah alam yang subur areal pertaniannya, aneka macam hewan ternak dan ikan melimpah, justru pemenuhan gizi bagi rakyat khususnya balita tidak terpenuhi.
Sungguh memilukan, kenyataan pahit menyapa negeri kaya SDA ini. Negeri ini menduduki peringkat keeempat di dunia dan kedua di Asia Tenggara dalam persoalan balita stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi. Sungguh miris.
Tentu bukan hal main-main dalam mengatasi stunting. Sebagaimana disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR, Netty Presetiayani Aher bahwa butuh kerja keras dan serius untuk menurunkan angka stunting. Pemerintah harus mengevaluasi pembangunan keluarga, karena hulu persoalan ini adalah keluarga
Netty merinci data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan di tahun 2019 sebelum pandemi mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di Indonesia. Prevalensi balita stunting di Indonesia pada 2019 yakni 27,7 persen. Jumlah yang masih jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya dibawah 20 persen (Merdeka.com, Minggu 20/12).
Stunting adalah perkara vital sejak sebelum pandemi terjadi. Pasalnya, jika negara ini panen generasi stunting, sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan negara akan kehilangan generasi unggul.
Jika dicermati secara mendalam, persoalan stunting di Indonesia yang semakin meningkat angkanya dari tahun ke tahun, berasal dari ketimpangan ekonomi. Terjadinya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin yang menganga lebar membuka celah yang besar adanya stunting bagi si miskin. Sementara kesenjangan ataupun ketimpangan ekonomi ini buah dari diterapkannya sistem kapitalisme.
Bagi negara yang mengadopsi sistem kapitalisme, sistem ekonomi yang digunakan adalah liberalisme. Yakni kebebasan dalam kepemilikan terhadap sektor vital publik atau harta kepemilikan umum seperti tambang gas, emas, listrik, air ataupun sumber daya alam lainnya. Otomatis saat SDA dikuasai dan dikelola oleh pemilik modal, maka manfaatnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang kaya saja.
Sistem kapitalisme menjadikan setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerinta, tak satu pun yang berpihak kepada rakyat. Hubungan antara negara dan rakyat berjalan seperti hubungan produsen dan konsumen. Kebutuhan pokok rakyat, baik kebutuhan pokok personal seperti sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan pokok komunal seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan diserahkan pada rakyat.
Rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama sejak terjadi pandemi. Banyak rakyat yang dirumahkan, pedagang kehilangan pelanggan, belum lagi intaian wabah mematikan. Para laki-laki susah mendapatkan pekerjaan karena minimnya lapangan kerja untuk mereka.
Kondisi buruk ekonomi menghantui rakyat. Peran negara dalam menyejahterakan rakyat bisa dikatakan tidak ada. Rakyat kelimpungan memenuhi kebutuhan pokoknya. Wajar jika stunting semakin meroket kasusnya dalam sistem ekonomi kapitalisme ini.
Bertolak belakang dengan sistem Islam. Tatanan ekonomi dalam Islam begitu rinci dan komprehensif. Kesejahteraan rakyat terjamin karena Islam menjadikan negara dan pemimpinnya sebagai pelayan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurus hajat hidup) dan dia bertanggung jawab atas kepengurusannya." (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam hadits yang lain Rasulullah menegaskan:
"Khilafah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam ada porsi dalam hal kepemilikan harta. Bukan terkait dengan jumlahnya, namun status kepemilikannya.
Harta kepemilikan dibagi tiga. Pertama kepemilikan individu, di sini syariat Islam memperbolehkan individu rakyat memiliki harta berapa pun asal dzatnya halal dan caranya pun halal, seperti bekerja sebagai karyawan, bertani, nelayan, hadiah, warisan, berburu, hibah.
Kedua adalah harta kepemilikan umum, sudah masyhur bahwa Baginda Nabi SAW menyatakan manusia berserikat dalah tiga hal; api (tambang), air dan padang gembala. Artinya ketiga dzat itu menjadi milik umum. Syariat Islam membebankan kepada negara untuk mengelolanya dan mendistribusikan kepada rakyat secara cuma-cuma atau dijadikan fasilitas umum tanpa memungut biaya dari rakyat.
Ketiga adalah harta milik negara, harta ini berasal dari fai', khoroj, jizyah dan zakat. Adapun zakat hanya untuk delapan ashnaf saja, sementara yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Namun demikian, dalam pemenuhan pokok individu (personal), syariat Islam punya mekanisme yang fundamental. Ada dua langkah untuk menyejahterakan rakyat. Langkah secara langsung dan tak langsung.
Jika dalam keluarga ada laki-laki yang menjadi wali ataupun suami, maka mereka akan diedukasi dan didorong memenuhi kewajiban nafkahnya. Jika dia tidak punya modal, akan diberi oleh negara. Negara juga akan membuka lapangan kerja bagi mereka. Ini langkah tidak langsung.
Jika dalam keluarga tidak ada seorang laki-laki atau ada laki-laki yang tidak mampu bekerja, maka nafkah dalam keluarga tersebut akan ditanggung negara. Inilah langkah langsung yang dilakukan negara. Sebagaimana yang pernah dilakukan Kholifah Umar bin Khotthob yang memanggul sendiri bahan makanan ke rumah seorang ibu yang memasak batu. Lalu beliau memasakkannya dengan tangan beliau sendiri. Beliau akan merasa tenang jika sudah dipastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan.
Sementara itu, negara wajib menjamin kebutuhan pokok komunal, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan tanpa tebang pilih. Miskin, kaya, muslim dan ahli dzimmah dijamin seluruhnya oleh negara.
Dengan demikian, rakyat akan terpenuhi sempurna kebutuhan pokoknya termasuk asupan gizi. Maka stunting dalam syariat Islam peluangnya sangat kecil terjadi. Generasi muslim yang sehat, unggul dan bertaqwa akan terjaga dalam negara yang menerapkan syariat Islam.
Wallaahu a’lam bish showab
Posting Komentar untuk "Islam Solusi Tuntas Stunting"