Lagi! Terjadi Ambivalensi Penanganan Pandemi



Oleh : Habiba Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Sudah lebih setahun menghadapi pendemi, nyatanya dunia belum juga nampak berhasil keluar dari musibah ini. Terlebih, kini justru ditemukan adanya beberapa varian virus corona yang menurut para ahli lebih mudah menyebar dan sangat  mematikan. Sebagaimana dikabarkan banyak liniberita, varian baru virus corona tersebut berasal dari Inggris yang diberi nama B117. Yang menyedihkan, varian baru virus corona tersebut kini telah menyebar ke banyak negara.

Tentunya hal ini wajib menjadi perhatian pemerintah Indonesia, jangan sampai varian virus ini masuk ke wilayah nusantara. Tersebab, pastilah rakyat yang akan kembali dikorbankan. Jangan seperti setahun lalu, ketika muncul informasi adanya wabah corona di Wuhan, pemerintah justru meremehkan. Hingga kebijakan Lockdown yang disarankan banyak praktisi kesehatan dianggap terlalu berlebihan. Namun, setelah masuknya virus ini ke Indonesia, barulah nampak betapa kewalahan pemerintah menangani pandemi ini.

Tak cukup tertampar kah, ketika Indonesia dinobatkan masuk dalam peringkat terakhir kinerja penanganan Covid-19? Sebagaimana data yang dirilis oleh Lowy Institute. Hal ini  menunjukkan jika memang Indonesia  belum menunjukkan adanya keseriusan di dalam penanganan pandemi. Sebagaimana Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, yang tidak heran mengetahui Indonesia menjadi yang terburuk dalam penanganan pandemi di Asia Tenggara. Dari beberapa indikator seperti geografi, politik (kebijakan), demografi dan ekonomi, Indonesia merupakan negara yang paling rumit. 

Rumit memang, ada banyak contoh kebijakan pemerintah yang cukup ambivalen. Contoh saja, bagaimana berbagai kegiatan keagamaan dilarang, tapi pilkada justru digelar. Lalu, ketika mungkin saat ini pemerintah dikatakan sedang fokus untuk bisa menyelesaikan pandemi dengan penggalakkan vaksinasi, namun tidak didukung dengan program penggalakan 5M dan 3T yang memadai. Hingga tes untuk deteksi dini covid-19   masih juga berbayar. Termasuk ketika ramai akan ada varian virus baru covid-19 yang bahkan disinyalir sudah masuk ke negara tetangga Singapura, pemerintah masih nampak santai.

Bahkan, justru membuka kran masuknya warga negara asing (WNA) masuk ke Indonesia. Sebagaimana diberitakan kompas.com bahwa sebanyak 153 WNA dari China masuk ke Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Sabtu (23/1/2021). Tentunya hal ini menjadi sorotan publik. Namun, tetap saja pemerintah menganggap bahwa hal ini adalah hal yang dijamin hukum karena memiliki kepentingan tertentu. Lagi-lagi, sikap ambivalensi pemerintah tehadap wabah ini kembali terjadi. Seolah tidak mau belajar bagaimana sikap mereka  di masa awal munculnya wabah di Wuhan, betapa menganggap enteng wabah ini. Dan kini, setelah ribuan rakyat menjadi korban, apakah pemerintah tak juga mengambil pelajaran?

Harusnya, pemerintah segera mengambil langkah strategis. Jangan menganggap remeh varian baru virus ini. Sebagaimana para ahli juga sudah memberikan peringatan. Bahkan, menurut epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, varian baru Covid-19 dari Inggris itu diduga telah menyebar ke Indonesia, meskipun belum banyak (inews.id). Pemerintah harus segera melakukan tracing kepada pasien yang diduga membawa varian virus ini, sehingga tidak sampai menyebar. Langkah strategis lain yang harus dilakukan adalah menetapkan Lockdown wilayah. Maksudnya pemerintah harus benar-benar meutup kran keluar masuknya warga negara asing ke Indonesia. Jangan bersikap sombong seperti awal mula wabah ini muncul. 

Lebih jauh dari itu, fakta jika mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Maka sudah sepatutnya mengambil Islam sebagai solusi. Mengambil bagaimana langkah-langkah Islam dalam menangani wabah bahkan pandemi. Hal mendasar yang perlu difahami adalah bahwa penanganan sebuah pandemi bukanlah persoalan teknis medis semata. Namun, perkara ini berkaitan erat dengan cara pandang terhadap manusia, kesehatan, dan keselamatan jiwa. 

Sangat berbeda dengan kapitalisme yang ada saat ini. Kapitalisme sebagai ideologi menganggap bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Negara tidak bisa melakukan intervensi karena sifatnya hanya regulator saja. Maka dalam menangani pandemi, wajar jika fokus utamanya adalah si pemilik modal ini tak boleh merugi, maka jelas nyawa manusia tak ada harganya dibanding kerugian ekonomi.

Berbeda dengan Islam. Islam memberikan penghargaan tertinggi pada nyawa manusia, sebagaimana hadist dari Rasulullah, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasa’i). Begitu juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah [5]:3).

Maka kebijakan yang diambil oleh Islam dalam menangani pandemi  harus secepat mungkin dan sebisa mungkin tidak ada korban jiwa. Ada beberapa prinsip Islam dalam penanggulangan wabah sehingga segera berakhir tanpa korban lebih banyak lagi. Maka kebijakan lockdown adalah hal yang harus dilakukan ketika terjadi wabah. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim). 

Selanjutnya adalah mengisolasi orang yang sakit. Sabda Rasulullah saw, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.”(HR Imam Bukhari). Begitu juga menjaga yang sehat agar tidak sampai tertular yang sakit dengan berbagai upaya. Tentunya kebijakan yang benar-benar memanusiakan manusia bukan kebijakan yang hanya memikirkan kepentingan penguasa. Sehingga, rakyat pun tidak akan pernah mengalami dilema dan mau patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan negara.

Kemudian, diupayakan adanya pengobatan segera hingga sembuh. Bersabada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok rakyat, sehingga negara wajib memberikannya secara cuma-cuma alias gratis.  Tidak boleh dikomersilkan sebagaimana kapitalisme saat ini. Termasuk pengadaan vaksin yag didukung dengan penelitian yang memadai untuk seluruh umat manusia. Hal ini tentu didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam yang merupakan hasil dari penerapan secara total sistem kehidupan Islam yakni sistem ekonomi dan politik Islam berikut sekumpulan konsep sahihnya. 

Dengan paradigma dan prinsip seperti itu seharusnya menjadi mudah untuk menyelesaikan wabah. Maka, adanya peringatan varian virus baru harus segera ditanggapi oleh pemerintah dengan berbagai langkah. Jangan sampai, varian virus baru ini akan semakin menambah rumit keadaan. Lockdown wilayah harus segera ditetapkan, sehingga pemerintah biasa fokus menangani wabah yang ada di dalam negeri. Lebih jauh, sudah saatnya negeri ini mengambil Islam sebagai solusi tuntas setiap problematika. Wallahua’lam bi shawab.

Posting Komentar untuk "Lagi! Terjadi Ambivalensi Penanganan Pandemi"