Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyorot Efektifitas PPKM Tangani Pandemi




Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Penerapan PPKM Jawa Bali periode 11-25 Januari 2021 dinilai tidak efektif menurunkan kasus Covid-19. Akhirnya diperpanjang hingga 8 Februari 2021. Yang terjadi kasus Covid-19 per 4 Februari 2021 mencapai 1,11 juta positif, 906 ribu sembuh dan 30.770 meninggal.

Orientasi kebijakan penanganan Covid-19 yang masih menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai hal yang utama, mengakibatkan ketidaktuntasan. Kebijakan yang berubah-ubah hanya menjadikan rakyat apatis terhadap Covid-19. Ada semacam pandangan umum bahwa kelaparan yang lebih menakutkan daripada Covid-19. Pasalnya rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan ekonominya di tengah pandemi. Maka akan terlihat anomali kebijakan. Masih terlihat kerumunan masyarakat, baik di kafe-kafe, kantor, dan lain sebagainya. Bahkan perhatian terhadap masker menunjukkan gejala tidak diperhatikan.

Menilik kasus Covid-19 yang masih naik, akhirnya diputuskan PPKM mikro. PPKM mikro akan diterapkan di skala RT dan RW. Tentunya dalam pelaksanaannya dibutuhkan satgas Covid-19 tingkat RT dan RW. Lagi-lagi asas penanganan Covid-19 masih berorientasi ekonomi. Padahal mestinya penanganan Covid-19 itu orientasi utamanya adalah kesehatan.

Sebagai simulasi teknisnya, misalnya di satu RW itu ada 5 RT. Maka yang menjalani PPKM hanya RT tertentu yang terkena ataupun terpapar pandemi. Sedangkan yang lain masih di mungkinkan beraktifitas seperti biasa.

Pertanyaannya, akankah PPKM mikro akan efektif menangani pandemi? Ketika kebijakan mikro tidak dibarengi kebijakan di skala yang lebih luas, maka tetap tidak efektif. Masyarakat masih harus berjuang sendiri mencukupi kebutuhan ekonominya. Mau tidak mau mereka tetap keluar rumah. Kerumunan masih berpeluang terjadi.

Apalagi dengan wacana Lockdown weekend. Senin hingga Jum'at atau Sabtu, masyarakat bekerja di kantor dan lainnya. Sabtu dan Ahad lockdown. Yang jadi persoalan adalah senin hingga Jumat atau Sabtu itu. Artinya masih ada interaksi yang leluasa di tengah masyarakat. Di samping itu Covid-19 ini tidak mengenal liburan weekend.

Menurut hemat penulis, di tengah masyarakat menunjukkan gejala naiknya rasa tidak peduli dengan Covid-19. Tentunya hal demikian harus menjadi bahan evaluasi serius pemerintahan. Artinya berbagai program digulirkan tidak akan bisa berjalan baik.

Memang kita tidak boleh hanya menyalahkan masyarakat. Gejala tersebut muncul karena tidak konsistennya negara dalam menangani pandemi. Negara masih berhitung untung rugi terhadap rakyatnya. Padahal dalam UU Karantina Wilayah disebutkan bahwa kewajiban negara adalah memenuhi kebutuhan pokok masyarakat hingga hewan piaraan. Akan tetapi di lapangan justru untuk rapid test, swab test, PCR dan lainnya, masyarakat dikenakan biaya. Padahal ada dana Covid-19. Dan yang miris adalah dana bansos Covid pun dikorupsi. Begitu pula untuk vaksinasi. Ada 75 juta orang harus membayar untuk vaksin Covid-19.

Ditambah lagi seolah ada pandangan bahwa pemberian vaksin akan mampu menanggulangi pandemi. Keberadaan vaksin itu ibarat wadah ember yang digunakan saat ada tetesan kebocoran atap rumah. Jadi ada kapasitasnya. Bila sudah penuh, sementara atap masih bocor maka akan meluber kemana-mana. Artinya vaksin bukanlah satu-satunya.

Walhasil menangani pandemi ini membutuhkan pengerahan sumber daya. Kesehatan harus menjadi asas utama dalam menangani. 

Perlu adanya pemetaan yang jelas mengenai daerah yang masuk zona merah, kuning dan hijau. Lockdown atau karantina wilayah menjadi hal yang urgen pada daerah yang rawan. Pada saat penerapannya, ekonomi rakyat menjadi tanggungan negara. Oleh karena itu, diperlukan negara menerapkan konsepsi ekonomi yang handal dan tahan krisis. 

Ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang rentan krisis. Saat dibutuhkan justru malah minus. Sementara SDA diserahkan pengelolaannya pada swasta dan asing. Sedangkan negara menjadikan pajak sebagai instrumen utama ekonominya. Rakyat mau tidak mau harus berjuang untuk bisa mengakses pelayanan dan juga untuk membayar pajak.

Yang tidak kalah pentingnya juga adalah tidak memasukkan orang dari luar negeri ke dalam di masa pandemi. Hal demikian tentunya menjadi hal yang kontradiksi dalam menangani Covid-19. 

Di tempat-tempat umum terjadi pemisahan orang yang sakit dari yang sehat. Diperlukan adanya trecing yang cepat untuk mengetahuinya.

Jadi yang menjadi kunci utama adalah kesadaran yang utuh negara dan rakyatnya dalam melakukan penanganan pandemi ini. Negara sadar akan kewajibannya dalam melayani rakyat. Sedangkan rakyat sendiri ada kesadaran untuk patuh. 

Asas kehidupan halal dan haram akan mampu membentuk kesadaran akan kewajiban baik bagi negara dan masyarakat. Rasa amanah akan menjadi bekal utama dalam memberikan layanan kesehatan. Ekonomi tercukupi dengan mengambil konsepsi Islam. Menasionalisasi SDA akan memberikan sumber dana yang sangat mencukupi dalam menangani layanan kesehatan buat rakyatnya. Tidak elok rasanya di tengah krisis kesehatan dan ekonomi yang sulit, rakyat harus menanggung biaya kesehatannya sendiri. 


# 5 Februari 2021

Posting Komentar untuk "Menyorot Efektifitas PPKM Tangani Pandemi"

close