Hubungan Korporasi Vaksin dengan Negara-negara Besar
Oleh : Miladiah Al-Qibthiyah (Pegiat Literasi dan Media)
Praktik perebutan vaksin yang dilakukan oleh negara kaya secara besar-besaran, akhirnya berdampak pada tidak meratanya distribusi vaksin ke berbagai negara, khususnya wilayah Indonesia. Hal ini akan mengakibatkan pandemi Covid-19 sulit terkendali. Seyogianya distribusi vaksin yang merata harus menjadi skala prioritas terutama untuk memberikan vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta berisiko tinggi.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklaim saat ini banyak
orang berebut vaksin virus corona (Covid-19). Ia mengatakan hal itu jadi salah satu penyebab vaksin tidak terdistribusi secara merata di daerah. Budi mengaku melakukan konferensi video dengan kepala daerah setiap pekan untuk menanyakan pelaksanaan dan kesulitan pelaksanaan program vaksinasi. Dari situ, ia mendapat pertanyaan kenapa jumlah vaksin kurang. (https://m.cnnindonesia.com/, 03/03/2021)
Melihat persaingan antarnegara kaya dalam menyedot vaksin dalam jumlah besar, sangat mustahil bagi mereka untuk saling berbagi, meskipun sebelumnya negara-negara ini berkomitmen saling berbagi. Mau tidak mau, negara-negara miskin akan menjadi sasaran empuk jebakan utang dan balas budi yang diberikan negara-negara besar tadi.
Sungguh ironi. Di saat masyarakat di berbagai belahan dunia menanti vaksin sebagai jalan penyembuhan penyakit Covid-19, justru negara-negara besar yang punya kekuatan berlomba mencari keuntungan besar tanpa peduli dampak buruk yang dirasakan oleh negara miskin dan berkembang. Alhasil, negara-negara miskin ini sangat bergantung dan menjadi pengekor pada negara-negara kaya.
Tren Nasionalisme
Menurut Budi, jatah vaksin di dunia juga berkurang dikarenakan sedang rebutan vaksin. WHO dan PBB sedang debat panas karena vaksin ini banyak (diambil) oleh negara-negara besar, sementara negara miskin kesulitan. Dia menyinggung beberapa negara seperti Australia, Jepang, Thailand dan Filipina yang juga baru memulai vaksinasi. Bahkan Malaysia, yang belum jelas kapan vaksinasi dimulai (https://m.cnnindonesia.com/, 03/03/2021).
Puluhan negara kaya dilaporkan melakukan perjanjian dengan perusahaan farmasi. Hal ini dikhawatirkan oleh pakar kesehatan akan membuat ketimpangan distribusi vaksin di dunia. Negara miskin pada akhirnya harus 'bersabar' menunggu giliran mendapat vaksin.
Amerika Serikat (AS) misalnya diketahui sudah memborong suplai 100 juta kandidat vaksin korona dari perusahaan farmasi BioNTech dan Pfizer. Inggris Raya dan Uni Eropa (EU) juga mengamankan stok kandidat vaksin dari GlaxoSmithKline, Sanofi, AstraZeneca, dan Moderna.
Skenario negara berebut vaksin ini juga pernah terjadi saat flu burung H1N1 mewabah. Hanya saja kala itu penyakit flu burung sifatnya lebih jinak sehingga dapat dikendalikan hingga akhirnya reda. Dunia tidak terlalu mengalami dampak buruk dari ketidakseimbangan distribusi vaksin. Padahal, kasus sars pertama yang tidak begitu mengancam dunia, membuat negara adidaya seperti Amerika mengamankan semua obat saat itu. Padahal, negaranya saat itu belum sebutuh Indonesia dan Vietnam.
Tren nasionalisme tidak bisa lepas dari keberadaan negara yang berebut vaksin. Jika dibiarkan, maka ancaman virus korona semakin berbahaya di dunia. Hal ini dikarenakan, menghentikan pandemi Covid-19 ini tidak bisa dilakukan oleh masing-masing negara. Sejak WHO menetapkan virus korona sebagai pandemi global, maka penyelesaian kasus virus korona juga harus diselesaikan secara global. Dalam hal ini, perusahaan produsen vaksin menutup kerjasama bilateral terhadap negara-negara besar agar vaksin yang ada bisa didistribusikan secara merata. Bila perlu, memprioritaskan negara miskin dan berkembang serta negara yang paling rentan berisiko tinggi.
Hubungan Bisnis
Perebutan jatah vaksin ini semakin meningkat setelah ditemukannya varian baru COVID-19 di Inggris dan Afrika Selatan. Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar produsen memprioritaskan persetujuan regulasi di negara-negara kaya di mana keuntungan paling tinggi, daripada menyerahkan berkas lengkap ke WHO. Terdapat 44 kesepakatan bilateral antara negara-negara dengan produsen vaksin yang telah ditandatangani 2020 lalu, dan setidaknya 12 kesepakatan yang telah ditandatangani tahun ini. Melalui kesepakatan itu, lebih dari 39 juta dosis vaksin telah diberikan ke 49 negara berpenghasilan tinggi, sedangkan hanya 25 dosis yang telah diberikan di satu negara miskin.
Hal yang lumrah ketika dalam negara kapitalis memandang segala sesuatu dengan nilai bisnis. Terlebih ketika negara produsen vaksin telah melakukan penelitian dengan menghabiskan biaya tinggi. Dimulai dari sarana dan prasarana penelitian, biaya peneliti, asuransi kesehatan, uji lab, bahan sampel untuk eksperimen, dan berbagai macam variabel penelitian lainnya masuk dalam hitungan biaya.
Tidak heran bila produsen vaksin memandang Covid-19 sebagai peluang bisnis sekali seumur hidup. Sehingga, ketika vaksin telah melampaui uji klinis, maka kesempatan bagi produsen vaksin untuk memasarkannya ke publik. Akibatnya, mereka akan melobi pimpinan negara, khususnya negara-negara besar dan kaya agar menyetujui produk mereka untuk diproduksi massal.
Permainan bisnis antara produsen vaksin dan negara-negara besar sangat berpotensi mem-blacklist negara-negara miskin untuk mendapatkan jatah vaksin. Pada akhirnya, semakin buruk pandemi, maka semakin tinggi laba yang diperoleh, negara miskin pun semakin memprihatinkan sebab tak mampu membeli vaksin dengan harga tinggi.
Hal ini juga disebabkan ketika regulator tak mampu mengontrol penetapan harga vaksin, maka produsen sebagai pemegang hak paten vaksin akan bisa bermain menentukan harga dari vaksinnya. Dari sinilah perusahaan produsen vaksin merasa berhak mendapatkan keuntungan yang besar karena melakukan tugas mendesak untuk membuat vaksin Covid-19.
Permainan bisnis berbungkus kesepakatan bilateral mengakibatkan negara besar telah menyedot sebagian besar pasokan vaksin. Ironisnya, masyarakat di negara-negara miskin akhirnya hanya bisa pasrah dengan jatah vaksin yang tidak merata. Kapitalis semakin menumpuk harta, sedangkan rakyat yang tinggal di negara miskin semakin sengsara hidupnya. Meskipun WHO mendesak negara-negara kaya untuk berhenti melakukan kesepakatan bilateral dengan produsen vaksin, namun tidak akan mengubah realita. Sebab, mustahil menjumpai keadilan di dalam negara kapitalis. Menuntut adil dalam pembagian jatah vaksin di seluruh dunia hanya utopis.
Perlunya Perbaikan Sistem Politik Kesehatan
Pemerintah Indonesia diketahui telah mengimpor vaksin sebagai salah satu bentuk penanganan pandemi Covid-19. Namun, perkara nominal harga vaksin masih menjadi sebab masih banyak rakyat indonesia terkendala melakukan vaksinasi. Sejak awal, pemerintah mencoba uji rapid test Covid-19 yang cukup terbilang mahal. Maka, negara mengambil langkah impor vaksin. Kenyataannya, harga vaksin ini juga mengundang reaksi masyarakat. Bagaimana tidak? Sejak dunia dilanda pandemi Covid-19, telah sangat berdampak buruk pada kondisi ekonomi masyarakat, bahkan disebutkan Indonesia mengalami resesi. Harga vaksin yang mahal ini akan membebani ekonomi masyarakat. Padahal, di sisi lain, masyarakat sangat membutuhkan vaksin.
Melihat fenomena ini, maka perlu perbaikan sistem politik kesehatan. Tidak ada salahnya bila berkiblat pada sebuah sistem yang sudah masyhur dalam memberikan pelayanan serta fasilitas kesehatan yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Tak terkecuali dalam hal vaksinasi, yang digratiskan bagi rakyat secara masif dan sistematis. Sebab, haram hukumnya bagi sebuah negara menetapkan harga vaksin. Apatah lagi pelayanan kesehatan masuk dalam kategori kebutuhan dasar, yang dalam hal ini, wajib diberikan untuk rakyat secara gratis.
Pemerintah dalam negara kapitalisme yang berencana menjual vaksin kepada masyarakat adalah penyimpangan terhadap ajaran Islam. Maka, orang yang berilmu, dalam hal ini adalah para intelektual harus memiliki sudut pandang yang khas mengenai sistem politik kesehatan. Sebab, menjadi aspek paling urgen dalam penanganan pandemi Covid-19. Pun, para tenaga kesehatan dipastikan merupakan tenaga professional yang memiliki integritas untuk menjadi bagian yang berkontribusi dalam penyelesaian masalah pandemi.
Negara juga menyelenggarakan tindakan medis preventif seperti vaksinasi tanpa mengambil untung dalam melayani masyarakat. Dalam kondisi darurat wabah, negara bisa menggerakkan semua kemampuan negara, semisal industri berat (industri militer) untuk membuat APD, ventilator atau alat medis lainnya secara massal.
Jika vaksinasi dalam negara kapitalisme semisal Indonesia baru menyentuh 20-25 persen masyarakat, maka negara yang berdiri tegak di atas sistem Islam menyentuh 100 persen sebab sistem politik kesehatan, dalam hal ini pelayanan dan fasilitas kesehatan di-suport penuh oleh negara tanpa menunggu tercukupinya stok dosis vaksin oleh negara produsen vaksin. Wallaahu a'lam bi ash-shawab
Posting Komentar untuk "Hubungan Korporasi Vaksin dengan Negara-negara Besar"