Adakah Efek Nasionalisme?




Oleh: Hadi Sasongko (Direktur POROS)


Banyak literatur menerangkan bahwa nasionalisme lahir di Eropa sekitar abad 18 saat munculnya Revolusi Prancis dan penaklukan beberapa daerah selama era Napoleon Bonaparte. Spirit nasionalisme kemudian menyebar ke penjuru dunia dengan berbagai coraknya.

Mahatma Gandhi dan pemikir Tiongkok menginspirasi Soekarno yang kemudian mencoba mengejawantahkan nasionalisme dengan corak yang berbeda dengan nasionalisme Barat (sosio-nasionalis). Menurut dia, nasionalis yang sejati nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan; nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Bagi Soekarno, rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).

Sedikit dibalut atas nama agama, nasionalisme juga menjelma dengan istilah nasionalisme-religius. Konon negara-negara di Timur Tengah mengadopsi model nasionalisme ini. Penambahan istilah religius seolah sejalan dengan ketentuan agama, padahal tetap saja memiliki esensi yang sama.

Dari beragam corak tersebut, esensi nasionalisme bermuara pada inti yang satu, yakni berupa buah pikir manusia yang memiliki arti sikap mental saat kesetiaan tertinggi diserahkan pada negara-bangsa. Dalam pemaknaan ini, nasionalisme dinilai selalu relevan dan dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman untuk memicu terjalinnya persatuan dan kesatuan.

Ben Anderson dalam Imagined Communities menyebut bahwa nasionalisme terbentuk dari adanya suatu ilusi akan suatu bangsa mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial; suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa. Faktor kesamaan bahasa serta kesamaan pengalaman bersama yang ditimbulkan oleh karya-karya sastra menghasilkan suatu imagined communities yang didasari oleh perasaan senasib dan sepenganggungan (Anderson, Benedict, Imagined Communities).

Cita-cita nasionalisme selalu bertolak belakang dengan harapan. Paham ini bukannya membantu sebuah negara menjadi lebih baik, tetapi justru menjadi penghancur. Itulah mengapa seorang tokoh kemerdekaan, Soedewo, pernah mengatakan, “Nasionalisme bersemboyan Right or Wrong my Country itulah yang bertanggung jawab atas peperangan dan pemerkosaan hak secara kasar; atas penjajahan dan exploitas bangsa lemah. Disebut terakhir ini dipaksakan ke dalam perbudakan, diruntuhkan dan dipermalukan moralnya, demoralisasi.” (Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia).

Begitulah, nasionalisme berpotensi menjadi pemicu hancurnya sebuah bangsa. Bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa penyebaran paham batil ini justru memberikan dampak buruk bagi sebuah bangsa, apalagi  bagi Dunia Islam.

Nasionalisme terbukti menghilangkan kepedulian umat sehingga kaum Muslim menjadi lemah. Negeri-negeri Islam menjadi santapan empuk bangsa-bangsa imperialis. Namun, mereka menghadapi persoalan itu hanya dengan sendiri-sendiri. Kesadaran bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh pun telah meluntur. Padahal persaudaraan mereka berjumlah lebih dari satu miliar manusia. 

Posting Komentar untuk "Adakah Efek Nasionalisme?"