Gejolak Biaya PCR, Benerkah Negara Berpihak Pada Korporasi?




Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)


Sejak awal kemunculan tes PCR di kala pandemi, dana yang harus dikeluarkan bisa membuat kantong bolong. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode pemeriksaan virus SARS Co-2 dengan mendeteksi DNA virus. Uji ini akan didapatkan hasil apakah seseorang positif atau tidak SARS Co-2. Biaya tes PCR sangat fantastik, kisaran 900 ribu rupiah atau lebih.

Mahalnya biaya PCR awalnya dimaklumi. Terlebih sejak penetapan PPKM Darurat mengharuskan penumpang pesawat harus mengantongi surat keterangan negatif covid-19 dari tes PCR. Pelaku perjalanan domestik yang menggunakan transportasi jarak jauh seperti pesawat, bus, dan kereta api harus menunjukkan kartu vaksin, minimal vaksin dosis pertama dan PCR H-2 untuk pesawat serta swab antigen untuk moda transportasi jarak jauh lainnya, seperti kereta api. Namun, lambat laun gejolak mahalnya biaya tes PCR muncul.

Maskapai penerbangan Sriwijaya Air menyediakan layanan tes PCR bagi para calon penumpang yang ingin melakukan perjalanan udara. Mengusung tagline solusi terbang nyaman dan kantong aman, maskapai tersebut memberikan penawaran harga untuk pemeriksaan PCR mulai dari Rp500.000. Dua maskapai ini mendukung penub kebijakan pemerintah, yakni PPKM Darurat Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021.  

(Bisnis.com, 2/7/2021). Persyaratan tes PCR ini semakin menambah beban biaya perjalanan. Terkadang harga tes PCR lebih tinggi dari harga tiket pesawat yang dipesan.

Penggunaan tes PCR menjadi standart tes yang digunakan oleh rumah sakit, khususnya rumah sakit rujukan covid-19. Apalagi perjalanan via udara diwajibkan menggunakan tes PCR, maka peluang bisnisnya sangat basah. Sehingga, tak heran jika kemudian baiya tesnya sangat mahal. Namun demikian, keluhan demi keluhan datang dari rakyat terkait mahalnya PCR, terutama datang dari para pelanggan moda transportasi udara.

Akar Masalah Tingginya Biaya Tes PCR

Tak dimungkiri, negara ini penganut ekonomi kapitalisme tulen. Maka, munculnya angka di atas 500 ribu rupiah untuk sebuah tes kesehatan, yaitu tes PCR tentu bukan tanpa perhitungan. Ada peran besar pemangku kebijakan pastinya. Tingginya permintaan tes PCR seolah menjadi dalih untuk bisa dimaklumi semua pihak di masa pandemi ini. 

Kasus positif covid-19 terus bertambah tak terkendali. Namun, negara hadir seakan hanya menjadi regulator antara korporasi dan rakyat. Rakyat yang berkepentingan tes PCR untuk urusan kerja atau perjalanan, maka harus menanggung sendiri biaya seperti yang telah ditetapkan pemerintah. Berdasarkan catatan detikcom, harga rapid antigen tertinggi sebesar Rp250 ribu untuk Pulau Jawa dan Rp275 untuk luar Jawa. Sementara untuk harga tes RT-PCR tertinggi sebesar Rp 900 ribu (finance.detik.com, 14/8/2021).

Gejolak biaya tes PCR seakan mengindikasikan ke mana kebijakan berlabuh. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dua masalah terkait dengan tingginya harga tes usap berbasis polymerase chain reaction (PCR) di Indonesia. Peneliti ICW Wana Alamsyah memaparkan masalah terkait biaya PCR; pertama bahwa tidak ada biaya impor yang dibebankan pada pelaku usaha untuk produk tes kit dan reagent laboratorium. Dimana dampak tidak adanya biaya impor tersebut akan mempengaruhi komponan dalam menyusun tarif PCR. Pelaku Usaha membeli reagen senilai Rp 180.000 hingga Rp 375.000.

Kedua terkait transparansi informasi yang tidak didapatkan dari Kemenkes. Wana menyatakan bahwa Kemenkes tidak pernah menyampaikan besaran keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR (Kompas.com, 15/8/2021).

Sementara rakyat tak pernah tahu hal itu dan berapa besaran keuntungan yang diambil karena memang tak ada informasi dari pemangku kebijakan. Diketahui, Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya, pada Minggu sore, meminta agar tarif PCR diturunkan menjadi Rp 450.000 hingga Rp.550.000. Dia juga meminta hasil tesnya 1×24 jam saja karena butuh gerak cepat (kompas.com, 15/8/2021).

Pernyataan Presiden Jokowi seakan membenarkan aktivitas para pelaku usaha atau korporasi selama ini. Permintaannya agar harga diturunkan seakan menegaskan bahwa biaya tes PCR di negeri ini tinggi. Padahal, kondisi rakyat sangat terpuruk. Setiap individu rakyat tidak memiliki akses yang sama terhadap tes PCR. Orang miskin tentu akan kesulitan mengaksesnya jika harga menjadi pengendali satu-satunya. Sementara angka 500 ribu bagi rakyat miskin sangatlah bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Meski pasien covid-19 didanai sepenuhnya oleh negara, namun pelaku usaha atau korporasilah yang menjual produknya. Betapa banyak pasien yang telah terpapar dan dites dengan PCR. Jika dikalkulasikan tentu akan ditemukan angka yang sangat fantastik. Tidak mungkin negara mendapatkannya secara cuma-cuma. Tapi, mungkin saja negara membelinya dengan deal-deal politik.

Wajar jika problem mulai bermunculan. Gejolak harga tes PCR muncul lantaran negara memosisikan diri sebagai regulator, sedangkan operatornya adalah pelaku usaha yang punya banyak dana (korporasi). Hal ini menyebabkan terciptanya kapitalisasi korporasi dalam bisnis PCR yang semakin menggurita dan tak terkendali. Sehingga, alasan negara mematok harga tak lain karena mengikuti alur sistem kapitalisme, yakni mengikuti mekanisme pasar bebas yang digawangi korporasi. Sehingga, peran negara dalam mengurusi rakyat akan berkurang. Keberpihakan negara pada korporasi menihilkan tanggung jawabnya terhadap rakyat, termasuk bidang kesehatan.

Islam Menjamin Kesehatan Rakyat dan Melarak Pematokan Harga

Sejatinya kesehatan adalah tanggung jawab negara. Islam memosisikan negara sebagai pengatur urusan umat, bukan sekadar regulator yang memfasilitasi korporasi berjual beli dengan rakyat. Pemerintah wajib menjamin seluruh kebutuhan umat dan melindunginya dari segala macam bahaya, termasuk fasilitas kesehatan. Negara akan hadir dan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Bukan hanya pangan, tapi seluruh kebutuhan pokoknya yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan, semuanya dijamin oleh negara. Alat kesehatan, alat pelindung diri, obat-obatan, laboratorium, tenaga medis, dan tim ahli akan dijamin pemenuhannya oleh negara, terlebih saat pandemi melanda.

Islam telah memerinci peran negara dalam menjaga terwujudnya perdagangan yang sehat. Larangan ta’sir (taksir) adalah larangan bagi pemerintah untuk mematok harga, baik harga batas atas (ceiling price), maupun harga batas bawah (floor price). Sebagaimana sabda Baginda Nabi saw.:

“Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allahlah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan rezeki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezaliman pun dalam darah dan harta.'” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani)

Imam Abu Dawud juga menuturkan hadis Abu Hurairah ra. yang mengatakan:

"Sesungguhnya pernah ada yang datang, lalu berkata, 'Ya Rasulullah, patoklah harga ini.' Beliau menjawab, 'Tidak, justru biarkan saja.' Kemudian beliau didatangi laki-laki laim dan berkata, 'Ya Rasulullah, patoklah harga ini.' Rasulullah menjawab, 'Tidak, tetapi Allahlah yang berhak menaikkan dan menurunkan harga."

Dari dua hadis tersebut, tindakan pematokan harga haram hukumnya. Hukum mematok harga bersifat umum untuk semua bentuk barang. Bahan makanan pokok ataupun bukan, maka tidak boleh dipatok harganya. Dengan demikian, harga tes PCR maupun seluruh kebutuhan rakyat dikembalikan pada mekanisme permintaan dan penawaran. Namun demikian, tes PCR menjadi salah satu obyek barang kebutuhan pokok jama'i. Maka, negaralah yang akan memenuhinya untuk rakyat.

Sungguh, peran negara yang dominan dan berpihak pada umat akan membuat rakyat sejahtera. Sebab, negara telah menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, terutama di saat wabah melanda. Umat akan tenang diam di rumah saat negara hadir sebagai penerap sistem Islam dengan khusyuk tanpa dibebani ketakutan tak mampu membeli dan membiayai sarana prasarana kesehatan dan kebutuhan hidup lainnya.

Wallahu a'lam. 

Posting Komentar untuk "Gejolak Biaya PCR, Benerkah Negara Berpihak Pada Korporasi?"