Ilusi Kesejahteraan di Balik Klaim Indonesia Keluar dari Resesi




Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal-II Tahun 2021 mencapai 7,07 persen. Hal ini diklaim bahwa Indonesia telah bisa keluar dari resesi. Sebagaimana yang telah diketahui, sejak pandemi berlangsung, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga beberapa kuartal sejak Maret 2020.

Angka 7,07 persen ini bisa dicapai karena semua mesin pertumbuhan ekonomi bergerak. Tentu saja naiknya pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan naiknya PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

Tercatat di sektor konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen. Nilai investasi meningkat sebesar 7,5 persen. Pada kuartal-II 2021, ekspor tumbuh 31,8 persen, dan impor tumbuh 31,2 persen.

Adapun di sektor konsumsi rumah tangga yang disebut meningkat 5,93 persen. Indikator yang dipakai dalam hal ini adalah penjualan kendaraan, penjualan ritel, dan transaksi e-commerce. Peningkatan di sektor konsumsi rumah tangga disebutkan adanya penguatan kepercayaan konsumen.

Tren penjualan mobil naik 785 persen. Sedangkan tren penjualan motor naik 268 persen. Tentunya angka tersebut tidaklah mengherankan. Adanya program DP 0 persen bagi pembelian mobil, termasuk pembebasan pajak bagi mobil mewah, akan memberikan angin segar untuk konsumsi kendaraan. Orang-orang kaya tentunya yang akan menikmati fasilitas demikian.

Orang-orang kaya tersebut bisa mengamankan asetnya dengan investasi di bidang komoditas dan digital. Investasi di bidang komoditas seperti perdagangan, perkebunan dan lainnya. Tentunya hal demikian berpengaruh pada peningkatan konsumsi kendaraan, termasuk peningkatan investasi. Begitu pula di sektor digital. Semua orang sangat bergantung pada digital. Bisa dikatakan saat ini adalah berlaku era digital. Pertemuan virtual dengan berbagai layanan seperti zoom meeting dan lainnya, hingga transaksi konsumsi yang serba digital. Investasi di bidang ini sangatlah menggiurkan.

Demikianlah mesin-mesin pertumbuhan ekonomi pembentuk PDB menggeliat. PDB yang bersandar pada pendapatan per kapita tidaklah menunjukkan kesejahteraan masyarakat. Orang-orang kaya telah mendongkrak nilai PDB. Artinya tetap ada gap antara kaya dengan miskin.

Di masa pandemi ini, Credit Suisse telah mencatat jumlah orang kaya mengalami kenaikan menjadi 171.740 orang di tahun 2020. Kekayaan bersih mereka senilai di atas 1 juta US dollar atau sekitar di atas Rp 14,5 milyar. Jadi sekitar 0,1 persen jumlah orang kaya dari jumlah penduduk Indonesia. Ini sejalan dengan temuan riset dari TNP2K (Tim Nasional Percepatan dan Penanggulangan Kemiskinan) di tahun 2019 bahwa 1 persen orang kaya menguasai hampir 50 persen kekayaan nasional.

Ambil contoh kisaran tahun 2019. Disebutkan bahwa Indonesia termasuk negara berpenghasilan menengah keatas. Padahal angka kemiskinan masih tinggi di atas 25 juta jiwa. Bahkan terjadi kelaparan hingga tembus 22 juta penduduk. Belum lagi ILO menyebutkan bahwa ada 220 juta orang menganggur selama pandemi. PHK masih menjadi opsi dalam era pandemi ini setidaknya hingga 2023. Sedangkan di Indonesia sendiri, angka pengangguran meningkat hingga 7,35 persen pada Agustus 2021. Pengangguran akan menyumbang secara signifikan terhadap jumlah kemiskinan dan kasus kelaparan yang terjadi.

Langkah Strategis yang Mesti Diambil

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung positif ini pun mendapat sambutan bahkan di kalangan ekonom. Guna melangsungkan keadaan ekonomi yang sedemikian perlu didukung arah kebijakan yang pas. Sebagian menyatakan adanya PPKM justru akan memperlambat kinerja ekonomi nasional. Jadi perlu ada terobosan dengan mempercepat vaksinasi pada penduduk Indonesia. Selanjutnya dibarengi pelonggaran aktifitas masyarakat. Dengan demikian kinerja ekonomi akan tetap membaik dan stabil.

Demikianlah solusi dan langkah dalam paradigma kapitalisme. Ekonomi tetap menjadi panglima. Inginnya masyarakat tetap bekerja untuk mengerek ekonomi nasional, di sisi lain harus tetap sehat. Atau bahasa kasarnya, rakyat tidak boleh sakit karena akan mengganggu roda ekonomi. 

Padahal yang menjadi masalah utama adalah adanya pandemi. Jadi saat ini sedang terjadi krisis kesehatan. Mestinya pola berpikirnya adalah menyelesaikan kesehatan terlebih dahulu. Berapapun anggaran yang harus dikeluarkan negara. 

Oleh karena itu, Islam memandang menyelamatkan nyawa itu harus didahulukan. Hancurnya dunia ini masih lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim tanpa alasan hak. Membiarkan terjadinya herd immunity bisa dikategorikan ke dalam genoside negara terhadap rakyatnya sendiri.

Oleh karena itu, menjadi urgen dan solusi dalam hal ini adalah sistem ekonomi Islam. Dengan demikian sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan terbesar negara tidak boleh untuk dijual ataupun diprivatisasi. Negara satu-satunya yang berhak mengelolanya dan dipergunakan untuk sebenarnya kemakmuran rakyat.

Dalam aspek distribusi, Islam menggariskan bahwa kekayaan tidak boleh hanya berputar di seputar orang kaya saja. Standar kesejahteraan itu bersifat individual, bukan komunal. Maka negara akan memastikan bahwa setiap individu rakyatnya bisa memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkapnya dengan standar yang baik.

Adapun implementasinya pada masa wabah ataupun pandemi. Negara tetap menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya dengan baik. Negara akan menyalurkan semua logistik ekonomi dan kesehatan kepada rakyatnya. Negara segera mengambil langkah melockdown wilayah yang terkena wabah. Dengan demikian, wilayah lainnya masih bisa normal seperti biasanya. 

Demikianlah arah kebijakan negara dalam Islam guna mewujudkan kesejahteraan yang riil di tengah rakyatnya. Bukan kesejahteraan semu yang termuat dalam angka-angka dan realitasnya rakyat tetap menderita. 

#08 Agustus 2021 

Posting Komentar untuk "Ilusi Kesejahteraan di Balik Klaim Indonesia Keluar dari Resesi"