Konflik Laut China Selatan: Perebutan Pengaruh AS-China, Di Mana Indonesia?
Jakarta, Visi Muslim-PKAD—“Bahkan dengan negara yang pernah berkonflikpun akan menjalin kerjasama, supaya tetap survive, tetap bisa eksis, tetap bisa hidup. Karena di jaman sekarang hubungan antar negara itu sudah borderless, tanpa sekat, sehingga dipastikan negara itu tidak bisa hidup sendiri”. Ungkap Asep Kamaluddin Nashir dalam diskusi oline bersama Pusat Kajian Analisis Data (PKAD), Jumat, 06 Agustus 2021.
Dalam Insigth #58 PKAD kali ini mengangkat tema "RI-AS Bersatu Jaga Laut China Selatan, Di Mana Posisi Indonesia?". Menghadirkan dua narasumber yang berkompeten di bidangnya. Yaitu, Dr. Asep Kamaluddin Nashir, S.Ag, M.Si, Ketua Asosiai Ilmu Hubungan Internasional Indonesia-AHII. Dan, Farid Wajdi, S.IP, Direktur on Islamic World Studies.
Asep Kamaludin mengungkap, Laut China Selatan (LCS) adalah kawasan yang memiliki hampir 250 pulau. Sebagian besarnya tidak berpenghuni, bahkan kadang tenggelam saat laut pasang. Namun, kawasan ini memiliki potensi Sumber Daya Alam yang luar biasa. Sehingga kaitannya dengan ini, akhirnya menjadi rebutan, bukan hanya oleh China tapi juga Amerika Serikat (AS).
AS memiliki kepentingan mempertahankan akses tanpa hambatan di perairan ini. AS juga ingin menjaga eksistensi atau hegemoninya di kawasan Asia Pasifik. Mempertahankan pengaruh dan statusnya sebagai negara adidaya. Bahkan sekarang muncul kawasan baru, yaitu Indo Pasifik, dan ini menjadi kawasan regional baru yang memiliki bargaining potition.
Jika LCS dikuasai China, tidak mudah bagi AS untuk bebas bernavigasi, apalagi di jalur-jalur perdagangan internasional. Kekuatan China ini sebetulnya sudah mulai diantisipasi sejak jaman Barack Obama, dilanjutkan Trump sampai hari ini Bidden. Yang intinya tidak akan membiarkan China berkembang apalagi sampai menguasai LCS.
Disisi lain, posisi Indonesia menjalankan amanat konstitusi politik bebas aktif. Konsekuensinya harus mesra dan pro aktif dengan semua negara. Apalagi negara tersebut secara umum memiliki hubungan bilateral.
“Hubungan Indonesia dengan Amerika sudah terjalin sejak tahun 50an, namun memang dalam perkembangannya Amerika sangat intensif, karena Amerika memiliki harapan besar terhadap potensi alam yang ada di Indonesia”, paparnya.
Karena memang semua hubungan antar negara berbasis pada national interest, atau kepentingan nasional. Seberapa besar kepentingan nasional negara tersebut, maka sebesar itu pula upaya yang dilakukan dalam bekerjasama dengan negara lain. “Negara-negara besar itu memang untuk survive butuh konflik. Bagaimana AS melakukan invasi ke Irak, Nato ke Libya, itu adalah bagian dari cara untuk melanggengkan hegemoni dan memperlihatkan kekuatannya”, ungkapnya.
Sementara itu hubungan Indonesia-AS adalah hubungan tanpa konflik sebelumnya. Maka, secara umum Indonesia memastikan akan menjaga hubungan baik dengan Amerika. Meskipun dilemanya, Indonesia berhubungan mesra juga dengan salah satu musuh terbesarnya yaitu China. Namun China sendiri masih memegang komitmen dan yakin indonesia akan memuluskan target-target China, termasuk program jalur sutra, infsastruktur, dan lain-lain.
Asep Kamaludin mengingatkan bahwa posisi seperti ini bisa menguntungkan bisa juga merugikan bagi Indonesia. Tergantung situasi, motivasi dan juga peran pemimpin. Merugikan ketika kita tidak bisa mengoptimalkan hubungan baik dengan semua negara besar. Jangan sampai kawasan Indonesia, khususnya LCS menjadi tempat pertarungan dua negara besar, Amerika dan China.
“Jika wilayah Timur Tengah sudah menjadi korban kepentingan antara berbagai negara besar, maka jangan sampai itu terjadi di Asia Tenggara. Kita harus menjadikan kepentingan rakyat di atas segalanya. Mengedepankan semangat membangun negara, mewujudkan kesejahteraan rakyat”, tutupnya.
Posting Komentar untuk "Konflik Laut China Selatan: Perebutan Pengaruh AS-China, Di Mana Indonesia?"