Menakar PPKM dan Vaksinasi dalam Menuntaskan Pandemi



Oleh: Alfisyah Ummuarifah, S.Pd (Pegiat Literasi Islam Kota Medan) 

Pada Senin (19/7) kasus positif covid-19 mencapai 34.257 orang. Kemudian pada Selasa (20/7), yang juga bertepatan dengan Hari Raya Idul adha angka tersebut bertambah lagi di kisaran 30 ribuan yakni 38.325 kasus baru (liputan6.com, 28/7/2021).

Hingga Selasa (20/7), tambahan 38 ribu lebih kasus baru itu menyebabkan total akumulatif kasus covid di Indonesia sejak 2 Maret 2020 menjadi 2.950.058 orang.Beberapa pakar dan Anggota Dewan menilai PPKM darurat yang sudah berlangsung selama dua pekan kemarin juga belum menunjukkan hasil yang signifikan. Meski ada penurunan kasus harian pada Sabtu, Minggu, dan Senin lalu.Ia menilai, itu disebabkan karena jumlah tes yang rendah.

Target minimal 400 ribu hingga 500 ribu spesimen per hari itu belum tercapai hingga saat ini. Padahal seharusnya sudah minimal 1 juta spesimen tiap harinya.

Penurunan kasus yang tercatat pada data Satuan Tugas (Satgas) covid-19 tidak mengindikasikan kasus covid di Indonesia terkendali.

Jika perpanjangan ini dijadikan acuan untuk menilai kondisi terkendali atau tidak. Ia menyebut minimal PPKM darurat diperpanjang sampai 8 Agustus.

Selanjutnya untuk kasus kematian covid-19 sementara pada periode 16 hari

PPKM Darurat tercatat kasus naik 2,3 kali lipat menjadi 14.048 orang yang meninggal dunia.

Adapun perkembangan selanjutnya, jumlah positivity rate alias rasio kasus warga terpapar virus corona pada 16 hari selama periode PPKM Darurat Jawa-Bali, positivity rate naik menjadi 28,6 persen.

Berdasarkan data Satgas Covid-19, total kasus kematian selama periode PPKM Darurat dan Level 4 mencapai 23.745 orang. Rata-rata kematian Covid-19 dalam sehari tembus 1.032 orang (CNNindonesia, 26/07/2021).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan rata-rata pasien meninggal karena perburukan gejala.

Selain itu, pasien Covid-19 yang meninggal disebut memiliki komorbid alias penyakit penyerta, serta belum menerima vaksin covid-19.

Dari hasil penelitian tim di lapangan, angka kematian meningkat karena beberapa faktor, kapasitas RS yang sudah penuh, pasien yang ketika datang saturasinya sudah buruk, serta meninggal karena tidak terpantau ketika melakukan isolasi mandiri di rumah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas minimal angka positivity rate kurang dari 5 persen. Jika sudah ke angka 28,5 persen, sesungguhnya itu sudah jauh dari angka normal yang ditetapkan.

Sehingga, apabila positivity rate suatu daerah semakin tinggi, maka kondisi pandemi di daerah tersebut memburuk sehingga perlu ditingkatkan kapasitas pemeriksaan Covid-nya.

Melihat kondisi itu, beberapa pakar menilai pemerintah memang seharusnya mau tidak mau harus memperpanjang PPKM Darurat atau bahkan memilih untuk menyiapkan skenario kedua, yakni karantina wilayah alias lockdown.

Dari data di atas, PPKM Darurat tidak berhasil menekan kasus secara signifikan (100 persen). 

Selain PPKM Darurat, Pemerintah pun tengah menggencarkan program vaksinasi massal, 1 juta suntikan per hari di bulan Juli dan 2 juta suntikan per hari di Bulan Agustus. Target capaian vaksinasi bulan Juli 43,7 juta suntikan. (kompas.com, 30/6/2021)

Jokowi menyampaikan bahwa program vaksinasi bertujuan agar tercapai sebuah kekebalan komunal (herd immunity). Saat 70 % penduduk sudah divaksinasi, maka kekebalan komunal akan tercipta. Maka dari itu Pemerintah berencana memvaksinasi 181,5 juta warga atau 70 persen dari populasi dalam upaya mewujudkan kekebalan komunal.

Namun demikian, mampukah PPKM darurat dan vaksinasi massal efektif dalam memberantas wabah?

Kebijakan PPKM Darurat diterapkan di 48 Kabupaten/Kota dengan asesmen situasi pandemi level 4 dan 74 Kabupaten/Kota dengan asesmen situasi pandemi level 3 di Pulau Jawa dan Bali. Asesmen ini dinilai berdasarkan faktor laju penularan dan kapasitas respon di suatu daerah sesuai rekomendasi WHO.

Kerancuan dengan adanya zonasi-zonasi, esensial dan tidak esensial ini saja akan menimbulkan multitafsir. Sehingga tidak akan mampu menjawab persoalan wabah yang semakin kritis.

Hal demikian membuat kebijakan ini tak akan berbeda jauh dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Apalagi pengawasan yang minim sehingga mobilitas masyarakat tak signifikan berkurang.

Direktur Utama Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III bisa terkontraksi lebih dalam dan itu memicu terjadinya PHK massal. Kebijakan ini pun akan memukul UMKM yang sudah mulai bangkit, kembali terpuruk dengan adanya kebijakan tersebut.

Ditambah perilaku masyarakat yang sudah jenuh dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sedari awal memang tak menguntungkan rakyat. Oleh karenanya, kebijakan ini besar kemungkinan gagal menyelesaikan pandemi. Bahkan bisa jadi kondisinya semakin parah lantaran masyarakat semakin merasa terzalimi.

Vaksinasi Massal Bebas Intervensi Asing

Terkait dengan program vaksinasi. Permasalahan terbesarnya bukan pada pengadaan dan distribusi vaksin itu sendiri. Tapi pada kesadaran masyarakat tentang vaksin itu sendiri.

Banyak masyarakat yang masih ragu untuk divaksinasi dengan alasan keamanan vaksin, efikasi, dan kehalalan vaksin itu sendiri.

Padahal pemerintah sudah mendapatkan EUA atau Emergency Use Authorization dari BPOM berdasarkan uji klinik fase 3 baik dari Indonesia, Turki maupun Brazil.

Lalu terkait kehalalan, MUI pada tanggal 11 Januari 2021 juga telah mengeluarkan vaksin Covid Sinovac halal dan suci.

MUI sendiri yang datang ke Beijing melihat pabriknya dan bahan-bahan yang dipakai. Dua hal ini semoga bisa menjawab keraguan masyarakat.

Setelah Tidak Efektifnya PPKM

Seharusnya dengan dua hal diatas yaitu EUA dari BPOM dan Sertifikat Halal MUI, masyarakat sudah tidak usah ragu lagi. Namun, kepercayaan publik yang sudah terlanjur menurun pada pemerintah, membuat semua itu mental. 

Inilah fenomena publict Distrust, saat kepercayaan publik rusak pada para penguasanya, akibat ulah penguasanya sendiri.

Terkait efikasi vaksin, ahli biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo menyampaikan bahwa vaksinasi dalam rantai pengendalian wabah merupakan tahap terakhir. Ibarat rumah bocor, kita harus menyediakan ember untuk menampungnya agar air tidak ke mana-mana. Vaksinasi adalah embernya. Namun atap bocornya memang belum tertuntaskan.

Namun solusi vaksin tanpa disertai dengan solusi fundamentalnya, tentu tidak akan menyelesaikan permasalahan. Solusi hulunya adalah kebijakan pemerintah yang konsisten. Harus ada kebijakan makro pemerintah yang benar-benar pro rakyat dan konsisten, serta merujuk pada para pakar.

Pandemi Ditunggangi Banyak Kepentingan

Kebijakan yang sering kali mengecewakan masyarakat, seolah menegaskan bahwa kebijakan yang dibuat memang ditunggangi banyak kepentingan. Misalnya saja kepentingan bisnis sektor Kesehatan seperti vaksinasi.

Padahal, vaksinasi sedang berlomba dengan menjalarnya virus ke tengah masyarakat. Namun hegemoni negara-negara maju penghasil vaksin membuat distribusi vaksin pada negara berkembang tersendat. Misalnya saja pembuatan vaksin yang kini diambil alih oleh Biofarma dengan bahan baku yang diimpor, tetap saja sarat dengan kepentingan asing. 

Pertanyaannya, mengapa negara tidak menggunakan bahan baku dari negeri sendiri? Apa masalahnya sehingga bahan baku vaksin harus diimpor dari negara lain? Hal ini menyisakan tanya atas dugaan hegemoni bisnis vaksin secara kapitalistik. 

Meski program vaksin Covid-19 telah tersedia, protokol kesehatan tetap harus dilaksanakan. Saat itu kebutuhan dasar masyarakat harus terpenuhi maksimal. Sehingga masyarakat akan patuh pada kebijakan untuk tetap di rumah. Namun faktanya masyarakat dibiarkan, memenuhi kebutuhannya sendiri yang mengharuskan keluar rumah.

Pasalnya, Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Spa(K), MtropPaed, mengatakan bahwa kekebalan tubuh tidak langsung tercipta setelah penyuntikan vaksin yang pertama.

Kekebalan tubuh baru terbangun sepenuhnya dalam kurun waktu 28 hari setelah penyuntikan yang kedua.

Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) ini juga menjelaskan alasan penyuntikan vaksin Covid-19 harus dilakukan dua kali.

Menurut dr. Hindra, suntikan pertama vaksin Covid-19 ditujukan untuk memicu respons kekebalan awal.

Kemudian, suntikan kedua vaksin Covid-19 bertujuan untuk menguatkan respons imun yang sudah terbentuk setelah penyuntikan pertama.

Jika hari ini kondisi vaksin menipis, atau belum selesai diproduksi oleh Biofarma maka akan terjadi penundaan dalam vaksinasi. Baik vaksinasi tahap dua maupun tahap satu bagi gelombang berikutnya. 

Bentuk vaksin Covid-19 yang diterima oleh Bio Farma pada hari ini, masih dalam bentuk bulk, untuk selanjutnya akan diolah di fasilitas fill and finish milik Bio Farma untuk menjadi Finish Product kemasan multi dose 10 dosis per vial untuk penggunaan 10 penerima vaksin (Health.co, 27/7/2021).

Pembelian bahan baku dari Sinovac merupakan bagian dari kerja sama alih teknologi dari Sinovac ke Bio Farma, terutama dalam hal fill and finish product Covid-19 dan juga proses dari Quality Control.

Harusnya sejak awal bahan baku vaksin ini berasal dari negeri sendiri. Sehingga dikembangkan secara mandiri di negeri sendiri. Ini akan mengurangi anggaran biaya yang harusnya dialokasikan untuk kebutuhan pandemi yang lain. Juga akan menyetop hutang yang terus menggunung. Namun entah apa masalahnya negara ini tak mampu membuat vaksin sendiri.

Namun realitasnya

Sebanyak 21,2 juta bahan baku vaksin Sinovac tiba di Indonesia. Pengiriman bahan baku vaksin COVID-19 ke Biofarma yang berada di Bandung ini dikawal polisi-TNI (Detik.com, 28/7/21). Andai bahan baku bisa diambil dari negeri sendiri. Tentu keadaannya akan berbeda. 

Jika pemerintah mampu membuat vaksin sendiri. Maka jumlah vaksin ini dapat dibuat dengan biaya yang lebih murah. Jumlahnya pun sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat. 

Okeh karena itu tidak boleh terjadi penundaan lebih lama antara vaksinasi pertama dan kedua. Sebab hal itu akan menimbulkan masalah baru karena antibodi yang terbentuk tidak seperti yang diinginkan. Perlu usaha serius untuk memproduksi banyak vaksin mengingat angka kematian Covid yang terus tinggi.

Selain itu ada kepentingan politik di balik PPKM dan vaksinasi ini. Lihatlah bagaimana pandemi melahirkan sejumlah undang-undang yang telah nyata menzalimi rakyat. Dari mulai Perppu Corona yang disebutkan Amin Rais berpotensi besar terjadinya korupsi seperti BLBI dan Century, Undang-undang Minerba yang memfasilitasi korporasi untuk semakin mengeruk SDA milik rakyat.

Faktanya beberapa waktu lalu, suntikan modal pada BUMN terjadi. Justru di saat pandemi saat ini yang menyakiti masyarakat, karena masyarakat sedang kesulitan akibat penerapan PPKM level 4 yang kemudian diperpanjang hingga 25 Juli kemarin. 

Sungguh masyarakat sudah tidak tahan terhadap keadaan ini

 Mereka lapar, karena kebutuhan harian mereka tidak terpenuhi akibat pemberlakuan PPKM darurat itu. 

Bukan hanya keberpihakan pemerintah pada asing. Pemberlakuan undang-undang Omnibus Law yang memantik kemarahan masyarakat dengan gelombang demonstrasi besar-besaran. Masyarakat semakin emosional tak terkendali.

Belum lagi jika kita berbicara pejabat pemburu rente yang selalu hadir dalam setiap implementasi kebijakan baik pusat maupun daerah. Lihatlah dana bansos yang jelas-jelas diperuntukkan bagi rakyat kesusahan malah digarong tikus berdasi. Hingga PPKM sudah hendak berakhir, barulah Bansos itu keluar. Itupun hanya menyasar orang-orang yang punya akses. Tidak untuk seluruh masyarakat yang hampir miskin karena pandemi. 

Pandemi pun dimanfaatkan untuk melemahkan institusi KPK, agar korupsi berjamaah semakin mulus tak terganggu.

Masyarakat yang lapar sudah tidak peduli terhadap semua masalah itu. Hanya menambah pusing pemikiran mereka. Sehingga kasus korupsi, narkoba dan lainnya tenggelam begitu saja. 

Inilah yang menyebabkan ketakpercayaan umat semakin besar pada penguasa. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kesejahteraan yang tak pernah dikecap, memutus hubungan rakyat dan penguasa.

Islam punya solusi

Maka dari itu, akar permasalahan tak terselesaikannya persoalan pandemi, bukanlah sebatas vaksinasi yang belum mencapai 70 persen. 

Tetapi karena kebijakan PPKM Darurat yang serba nanggung. Namun akar masalahnya adalah ketidakpercayaan umat pada penguasa yang telah mengakar belukar. Setiap kali masyarakat dikhianati, sulit untuk mengembalikan kepercayaan itu lagi.

Ketidakpercayaan lahir dari buruknya pengurusan penguasa pada rakyat. Buruknya pengurusan penguasa tak bisa dilepaskan dari tata kelola negaranya yang bersistemkan demokrasi. Sebab demokrasi memang bukan menjadi sistem yang melindungi. Kebohongannya sangat kontras jelas terlihat di sini.

Demokrasi lah yang menghilangkan peran pencipta untuk mengatur kehidupan bernegara. Demokrasi pula lah yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan penguasa korup dan kebijakan yang mendzolimi. Demokrasi pula yang menyebabkan solusi pandemi tak menyentuh akar masalah. Solusi yang diambil menimbulkan persoalan ikutan yang panjang dan tak bertepi. 

Sungguh, kunci terselesaikannya pandemi saat ini adalah mengembalikan kepercayaan umat pada penguasa. Agar penguasa dan umat bahu membahu bekerjasama dalam menyelesaikan pandemi. Namun penguasa yang cinta pada rakyatnya, bekerja hanya untuk melayani rakyatnya, hanya akan kita temui dalam masyarakat islam yang kehidupannya dinaungi sistem buatan illahi, Khilafah Islamiah.

Jika seandainya negara ini ingin mengakhiri pandemi. Tak ada solusi yang lain lagi. Negara harus mengambil jalan lockdown total sesuai syariat Islam. 

Pada saat itu mesti dipastikan seluruh kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Berupa kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan , pendidikan dan keamanan. Anggaran yang banyak dan komitmen hingga lockdown selesai. Vaksinasi gratis dan mudah yang juga tak boleh berhenti, berlaku sama untuk semua warga negara dengan prosedur yang sederhana.

Proses 3T juga mesti ditempuh agar terdeteksi mana yang butuh penanganan serius atau hanya isolasi mandiri atau bebas beraktifitas karena memang sehat. Negara wajib menyediakan alat testing berbasis PCR, tak cukup hanya swab antigen saja atau Rapid test. Semua itu harus diberikan secara gratis dan mudah pelaksanaannya. Lalu berlanjut tracing mengkategorikan dalam memisahkan yang sakit dan yang sehat. 

Terakhir tretmen untuk yang sakit hingga sembuh. Negara wajib menyediakan proses 3T (testing, tracing dan treatment) ini secara gratis dan mudah pelaksanaannya. Tidak berbelit-belit.

Selain itu dipastikan mobilitas pergerakan benar-benar disiplin. Prokes tetap di jalankan bagi yang sehat.

Hal yang paling penting adalah masyarakatnya dan penguasa semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ujian ini dari Allah dan yang akan menghentikan juga hanya Allah

Dia lah yang maha kuasa atas segala sesuatu. Terkait hal ini kita cukup paham bahwa di era khilafah dulu, semua patuh pada penguasa dalam menghentikan pandemi.

Hadist-hadist shahih yang bisa dijadikan sebagai hujjah dalam mengatasi pandemi di suatu wilayah.Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim menjelaskan langkah yang tepat atasi pandemi.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. 

Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat.” (HR Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn ‘Abbas)

Hadist Shahih yang lain adalah Pada suatu ketika ‘Umar bin Khaththab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya.

Antara lain terdapat Abu “Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada ‘Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish.

Lalu ‘Umar menyerukan kepada rombongannya; ‘Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian! ‘ Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; ‘Apakah kita hendak lari dari takdir Allah? ‘ Jawab ‘Umar; ‘Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu ‘Ubaidah? Agaknya ‘Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab; Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah.

Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?.

Tiba-tiba datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata; ‘Aku mengerti masalah ini. 

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.’ Ibnu ‘Abbas berkata; ‘Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi.’ (HR Bukhari dan Muslim).

Demikianlah solusi dari islam saat mengatasi wabah. Masihkah tidak mau mengambilnya? Mau berapa korban lagi yang harus dikorbankan akibat menentang hukum Allah?

Wallahu a'lam bish-showaab 

Posting Komentar untuk "Menakar PPKM dan Vaksinasi dalam Menuntaskan Pandemi"