Paradoks Antara Harapan dan Kenyataan dalam Pidato Tahunan Presiden 2021




Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Pada 16 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan di depan rapat paripurna MPR/DPR. Sidang tahunan ini digelar dalam rangka mendengarkan laporan kinerja pemerintah tahunan dan menyerahkan laporan keuangan negara.

Pidato presiden kali ini banyak bernuansa harapan-harapan daripada capaian kinerja riil selama ini. Kalaupun terselip capaian kinerja tetap terbungkus harapan. Dengan kata lain, pidato presiden mengandung paradoks antara harapan dan kenyataan. Bahkan pidato tahunan presiden hanya bersifat seremonial tanpa makna.

Paling tidak terdapat 3 hal utama yang disinggung presiden dalam pidatonya. Presiden menegaskan bahwa keselamatan warga negara adalah hal yang utama, pemerintahan sangat mengharapkan kritik yang membangun dan apresiasi pemerintah terutama terhadap wakil rakyat dalam hal pengesahan UU Omnibus Law ciptaker.

Pernyataan bahwa keselamatan warga negara adalah hal yang utama hanya berupa harapan dan konsep. Kenyataannya jauh dari harapan. Contoh paling mudah adalah dalam hal penanganan pandemi Covid-19.

Tatkala berita Covid-19 masih menjadi epidemi di Wuhan, pemerintah tidak menunjukkan sikap sebagai negarawan. Di rentangan Januari-Februari 2020, menjadi waktu yang cukup bagi pemerintah melakukan tindakan nyata mengisolasi Indonesia agar tidak dimasuki Covid-19. Kenyataannya hal itu tidak dilakukan. Justru pemerintah sembrono dan meremehkan. Akhirnya saat di Indonesia sudah mulai meningkat keterjangkitan Covid yang sudah menjadi pandemi, pemerintah gagap. Lantas di manakah letak keselamatan warga negara itu yang utama?

Begitu pula dalam hal penanggulangan pandemi. Pendekatan yang dilakukan lebih mengedepankan aspek ekonomi. Buktinya dari dana Covid-19 yang berjumlah sekitar Rp 600 trilyun tersebut, alokasi untuk kesehatan sangat minim sekitar Rp 75 trilyun. Bahkan nuansa kebijakan yang bersifat politis kental mewarnai penanggulangan pandemi. Dari terbitnya Perppu tentang covid-19 hingga penerapan darurat sipil terkait pandemi. Ditambah pula dengan kebijakan tetap menyelenggarakan pilkada serentak di 2020. Padahal banyak yang mengingatkan potensi penularan baru dari klaster pilkada. Nyatanya pandemi tidak bisa menghentikan hajatan politik tersebut. 

Penanganan pandemi yang sedemikian hanya menghasilkan meledaknya kasus Covid-19 di Indonesia. Jumlah kasus positif adalah 3,87 juta. Sedangkan yang meninggal dunia sebanyak 119 ribu orang.

Dengan kenyataan demikian, dalam pidatonya, presiden hanya menyatakan bahwa pemerintah dalam menangani pandemi ini harus melihat data di lapangan yang selalu berubah. Tentunya kebijakan yang diambil juga menyesuaikan. Hal demikian memberi kesan seolah pemerintah kebijakannya berubah tidak konsisten. Demikian paparnya. Mestinya pemerintah bersikap empati terhadap penderitaan rakyat. Ini yang mestinya disampaikan. Melalui pidatonya, presiden menyampaikan permohonan maaf atas penanganan pandemi yang tidak segera mampu diatasi. Bukan justru membela diri. Mencari pembenaran dan alibi yang hanya menjelaskan pada masyarakat jika memang pemerintah tidak memiliki road map dan goal setting yang jelas serta terukur dalam menangani pandemi. Kebijakan yang dilakukan itu gagap dan tidak konsisten.

Hal demikian bermula dari asas penanganan pandemi bukanlah pendekatan sains dan ilmu kesehatan. Jadi yang ada adalah ambyar. Dari timpangnya jumlah nakes dan fasilitas kesehatan yang tersedia, birokrasi yang tidak kapabel, hingga data yang tidak sinkron antara pusat dan daerah. Parahnya, angka kematian untuk sementara waktu tidak dijadikan ukuran pemberlakuan leveling kebijakan PPKM. Artinya, ini akan menjadi kebijakan yang salah arah dan tidak tepat.

Tentunya perjalanan penanganan pandemi ini tidak sepi dari kritikan dan masukan. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah pemerintah cenderung anti kritik. 

Banyak yang menyoroti kebijakan pemerintah dalam mengekang warganya untuk keluar rumah, sementara itu orang-orang China masih saja leluasa masuk ke Indonesia. Pemerintah tidak bergeming. Bahkan tatkala santer pemberitaan terkait varian corona delta dari tsunami covid India, pemerintah justru memasukkan juga orang India. 

Pandangan bahwa pemerintah anti kritik itu semakin dikuatkan dengan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden di dalam RUU KUHP. Tentu ini adalah hal yang kontraproduktif dengan komitmen mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Diskriminasi hukum pun kerap terjadi. Kasus kerumunan Petamburan dibesar-besarkan hingga vonis hukuman dijatuhkan. Padahal kasus-kasus kerumunan yang lain cukup banyak terjadi. Dari kasus kerumunan kampanye pilkada hingga euforia kemenangan calon. Tidak ada yang diberikan vonis penjara, berbeda dengan kasus kerumunan Petamburan. Contoh yang lain adalah terkait kasus korupsi. Kasus Mega korupsi Jiwasraya, Asabri dan lainnya tidak jelas ujung pangkalnya. Termasuk susahnya negara menangkap si Harun Masiku.

Fragmen-fragmen tersebut menunjukkan bahwa negeri ini mengalami krisis keteladanan. Krisis keteladanan dari para penyelenggara pemerintahan. Bahkan di tengah penderitaan rakyat saat pandemi, para politisi malah sibuk nampang perang baliho untuk ketenarannya.

Berikutnya mengenai disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mengapa pemerintah memberikan apresiasi terhadap DPR yang telah mengesahkannya? Di manakah letak nilai keuntungan bagi warga negara dengan disahkannya UU Omnibus Law ciptaker ini?

Realitasnya proses pengesahan UU Omnibus Law mendapat penentangan yang meluas hampir di seluruh pelosok negeri. Demo besar-besaran menolak UU Ominibus Law ini didominasi oleh kalangan buruh dan pekerja. UU Omnibus Law menjadi undang-undang sapu jagat dalam menjual aset negeri atas nama investasi.

Jadi keberpihakan kepada rakyat yang dilakukan pemerintah masih tergolong rendah. Apa yang dimaksud dengan pemulihan ekonomi nasional sebenarnya hanyalah mengejar nilai pertumbuhan ekonomi. Hingga pada kuartal-II 2021, Indonesia diklaim telah keluar dari resesi. Padahal angka pengangguran selama pandemi meningkat sekitar 7 persen lebih. Tentunya meningkatnya angka pengangguran ini berkontribusi pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Oleh karena itu, di momen kemerdekaan Indonesia yang ke-76 ini patutlah kita semua melakukan refleksi. Apakah benar bangsa ini sudah merdeka? 

Ketika rakyat sebagai pemilik kekuasaan mendapat porsi yang kecil dari kesejahteraan dan keadilan di negerinya sendiri, apakah ini yang disebut sebagai merdeka? 

Tatkala para penyelenggara pemerintahan hanya pandai bersilat lidah mengatakan bahwa keselamatan warganya itu yang utama, tapi pada kenyataannya jauh panggang daripada api. Lantas apakah kita layak disebut merdeka? 

Bukankah amanat pembukaan UUD 1945 alinea kedua telah menggariskan bahwa kemerdekaan ini berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan adanya keinginan luhur berbangsa dan bernegara? Tentunya tatkala penyelenggaraan pemerintahan negara ini didasari oleh kesadaran iman bahwa pemerintah itu penggembala dan pengurus rakyatnya, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat akan terwujud secara konsep dan prakteknya. 

Para penyelenggara negara akan terbuka menerima kritik dan masukan. Bahkan berterima kasih atas kritikan yang ada. Negara dan rakyat bekerja sama dalam membangun negeri. Negara menerapkan secara praktis hukum-hukum Islam guna mengatur kehidupan bangsa dan rakyatnya. Adapun rakyat dengan senang hati dan sungguh-sungguh melakukan koreksi pada negara demi lurusnya penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan yang digariskan oleh Islam. 


#17 Agustus 2021 

Posting Komentar untuk "Paradoks Antara Harapan dan Kenyataan dalam Pidato Tahunan Presiden 2021"