Perang Baliho, Menyingkap Kedok Politisi dalam Demokrasi

Ilustrasi


Oleh : Sari Chanifatun (Sahabat Visi Muslim Media)


Ditinjau dari etimologi kata, istilah “baliho” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti menyampaikan. Pesan yang disampaikan melalui baliho adalah pesan yang tersirat, baik itu promosi, iklan atau pemberitahuan yang sifatnya agar diketahui khalayak umum.

Baliho merupakan media berpromosi hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pada kecanggihan mesin cetak digital dalam bentuk vertikal maupun portrait yang berukuran besar. Baliho banyak digunakan untuk menjajakan suatu produk bahkan bertujuan mendongkrak popularitas seseorang yang berada dalam gambar baliho tersebut.

Perang baliho kian marak. Kendati kontestasi Pilpres 2024 masih jauh, keberadaan baliho di jalan-jalan raya yang strategis dengan hilir mudik kendaraan memberi kesan pada publik bahwa yang ada pada pikiran mereka hanyalah kekuasaan dan mendongkrak elektabilitas di masa krisis ini.

Karenanya kampanye media dalam bentuk baliho ini tidaklah menuai simpati rakyat tetapi malah makian dan protes. Sebab para politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin adalah sosok yang tak punya kepekaan terhadap kondisi rakyat dan hanya bertarung demi mendapatkan kursi. 

"Secara umum billboard/baliho/media luar ruang memiliki keunggulan: mudah dilihat, karena diletakkan di jalan-jalan yang terbukti banyak dilalui kendaraan. Ukurannya yang besar, secara struktural 'memaksa' orang untuk melihatnya. Apalagi kalau diletakkan di kawasan yang strategis pasti tak terhindarkan. Orang lewat tak bisa mengelak," kata Firman Kurniawan Sujono kepada wartawan, Rabu (04/08) malam.

Sebagai Pakar Komunikasi UI, Firman Kurniawan menyampaikan sebaliknya, bahwa "Dalam musim kampanye atau event lain, di mana terjadi kompetisi baliho, justru kejenuhan yang terjadi. Pesan memang memaksa masuk, tapi persepsi yang terbentuk bisa negatif. Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan. Hal ini bukan lagi terkait jumlah atau di mana baliho itu terpasang dan itu akan berbuah sia-sia.

"Aspek kreativitas misalnya, berupa tampilan unik baliho, yang membuat orang memperhatikan, memotretnya, dan membaginya di media sosial. Di sini, baliho yang kreatif mengalami alih wahana ke media lain. Lebih banyak orang yang menyimak ketika tampil di media sosial, karena ada orang ingin menceritakan keunikannya," kata Firman (Detik News/politik/05.08.2021)

Selayaknya menjadi cambuk bagi rakyat untuk segera tersadar akan keburukan sistem demokrasi ini yang niscaya menghasilkan politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat.

Sudah saatnya rakyat kembali kepada fitrah politik Islam.

Politik dalam bahasa Arab ialah _siyasah_ yang memiliki arti mengatur, memelihara, mengurusi. 

Dalam Islam, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.

Dalam sistem Islam, pergantian kepemimpinan merupakan hal yang biasa dan lazim. Dalam sejarah Islam pergantian pemimpin telah dicontohkan saat Baginda Rasulullah saw. wafat, ia segera digantikan oleh Abu Bakar ra. dan Abu Bakar ra. wafat, digantikan oleh Umar ra. dan Umar ra. wafat, digantikan oleh Ustman, dan seterusnya.

Pergantian kepemimpinan hanya dilandaskan pada ketaqwaan pada Allah SWT, bukan berlandas kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Berkaitan dengan ini Nabi Muhammad SAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)

Menjadi pemimpin adalah orang yang bisa mengatur urusan negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin yang bisa menampung aspirasi umat islam dan didukung oleh mayoritas umat islam. 

Menjadi pemimpin berarti memegang amanah, seperti diriwayatkan dalam hadis Muslim.

"Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Hadits di atas menegaskan, untuk mewujudkan bangsa yang besar, kuat, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, bukan pemimpin yang lemah. Syaikhul Islam dalam as-Siyasah as-Syar'iyah menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, "Selayaknya untuk diketahui, siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Dalam Islam pemimpin yang ideal memiliki dua sifat dasar, kuat (mampu) dan amanah. Diterangkan dalam firman Allah:  

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).


Wallahu a'lam bishshowab 

Posting Komentar untuk "Perang Baliho, Menyingkap Kedok Politisi dalam Demokrasi"