Perpanjangan PPKM Jawa-Bali Di tengah Pergeseran Episentrum Pandemi
Oleh: Mia Kusmiati
Lagi dan lagi, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wilayah Jawa dan Bali kembali diperpanjang. Setelah sebelumnya ditetapkan tanggal 16/08/2021, kini diperpanjang lagi hingga 23/08/2021.
Menurut juru bicara satgas penanganan Covid-19, Wiku Adi Sasmito, alasan pemerintah memberlakukan PPKM darurat hanya di wilayah Jawa dan Bali saja karena kedua pulau itu berkontribusi besar dalam penambahan kasus nasional meskipun ada juga beberapa dari wilayah lain.
Langkah ini diambil agar situasi bisa terkendali dan tidak timbul korban dan jadi modal aktivitas sosial ekonomi kedepannya (Liputan6.com,1/8/2021).
Diliput dari sumber yang sama, PPKM darurat akan berlaku bagi 45 kabupaten/kota dengan asesmen pandemi level 4 dan 75 kabupaten/kota untuk level 3 di dua pulau tersebut. Cakupan pengetatan aktivitas yang dilakukan yaitu 10 persen Work From Home (WFH) untuk sektor non esensial, dan seluruh kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring/online. Lalu untuk sektor esensial diberlakukan 50 persen maksimum Work From Office (WFO) dengan protokol kesehatan.
Fakta penerapan kebijakan PPKM hanya di dua wilayah yaitu Jawa dan Bali ini menunjukkan bahwa fokus utama penanganan pandemi hanya terjadi di dua wilayah tersebut. Sedangkan apabila merujuk dari pernyataan Presiden Indonesia Joko Widodo, ada 5 provinsi diluar Jawa dan Bali yang mengalami lonjakan kasus Covid-19 yaitu Kalimantan Timur, Sumatra Utara, Papua, Sumatra Barat, dan Kepulauan Riau. Serta daerah yang masuk kategori menjadi perhatian yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur karena mengalami lonjakan kasus yang cukup drastis pada tanggal 6 Agustus mencapai 3.598 kasus baru, padahal 5 hari sebelumnya hanya berkisar di angka ratusan kasus saja (Sindonews.com, 8/8/2021).
Bahkan menurut wakil ketua fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani, angka kematian akibat Covid-19 meningkat lebih tinggi di wilayah Lampung daripada wilayah Bali, D.I Yogyakarta dan Banten per 5 Agustus 2021. Nelly juga menyinggung tentang rendahnya capaian testing diluar wilayah Jawa dan Bali yang masih jauh dibawah standar WHO misalnya Lampung, Nusa Tenggara Barat dan Maluku yang mana rasio tesnya hanya 0,9:1000 (Kumparannews, 9/8/2021) sehingga tidak menutup kemungkinan fakta bertambahnya kasus lebih banyak dari yang terdata.
Lembaga Pemantau Covid, Lapor Covid-19 menyebutkan peningkatan kasus infeksi virus corona tidak hanya terjadi di lima provinsi seperti yang di katakan presiden tapi lonjakan kasus sudah merembet ke provinsi lain diantaranya Sumba Timur, dan Maumere di Nusa Tenggara Timur, Lombok di NusaTenggara Barat, dan Sulawesi Tengah. Gelombang ledakan Covid-19 di luar pulau Jawa-Bali ini di perkirakan akan terjadi hingga akhir tahun dengan kondisi yang "lebih buruk" dari yang terjadi di pulau Jawa (bbc.com, 8/8/2021).
Dilansir dari kompas.id, 11/8/2021 terdapat beberapa provinsi yang mengalami perubahan yang mengkhawatirkan yaitu Lampung, Papua, Kalimantan Tengah, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara selama rentang waktu tiga minggu ke belakang. Di provinsi tersebut, tingkat kematian mengalami peningkatan dua hingga lebih dari empat kali lipat.
Peningkatan jumlah kematian di Lampung tergambar lebih jelas. Dilansir dari sumber yang sama, selama 3-19 Juli dan 20-26 Juli, jumlah kematian akibat Covid-19 di provinsi ini ialah 85 jiwa dan 83 jiwa. Adapun jumlah kematian seminggu berikutnya di rentang 27 Juli-2 Agustus ialah 809 jiwa. Sampai dengan 8 Agustus jumlah kematian di Lampung akibat Covid-19 ialah sebesar 2.507 jiwa. Artinya, nyaris 40 persen kematian ini terjadi hanya di rentang 13 Juli-2 Agustus.
Peningkatan angka kematian juga terjadi di provinsi lainnya. Di Banten rerata kematian harian pada rentang 20-26 Juli dibandingkan dengan seminggu sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 63 persen. Dan menggelembung di minggu selanjutnya selama 27 Juli-2 Agustus, dengan peningkatan rerata kematian harian sebesar 216 persen.
Peningkatan juga terjadi di Kalimantan Selatan, pada rentang 20-26 Juli terjadi peningkatan rerata kematian harian sebesar 50 persen dibandingkan seminggu sebelumnya. Dan seminggu setelahnya naik hingga 160 persen.
Tren peningkatan ini, sejatinya menjadi perhatian dari pemerintah, sebab sebelumnya kematian masih terkonsentrasi di beberapa provinsi dengan jumlah kasus positif ”gemuk” seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan DI Yogyakarta, kemudian menyebar ke provinsi lain. Memberi petunjuk adanya fenomena pergeseran episentrum Covid-19 dari Jawa ke wilayah di luarnya.
Kebijakan PPKM Jawa-Bali, Pemerintah Lalai
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada Donie Riris Andono mengatakan bahwa ledakan kasus Covid-19 di luar pulau Jawa merupakan peristiwa yang sudah terprediksi karena pemerintah tidak bersungguh-sungguh menghentikan mobilitas masyarakat ketika Jawa dan Bali mengalami puncak Covid-19 bulan Juli lalu. sehingga ledakan infeksi virus Corona di pulau-pulau lain akan terjadi secara beruntun dengan kondisi yang lebih buruk (bbc.com, 9/8/2021).
Apabila anggapan pemerintah bahwa penyumbang angka terbesar kasus Covid-19 adalah Jawa dan Bali, semestinya pemerintah mengambil tindakan preventif lebih ketat demi menekan penyebaran wabah agar tidak meluas ke provinsi lain. Faktanya, seruan lockdown yang pernah didengungkan rakyat untuk diterapkan pemerintah di saat wabah belum meluas, tidak diindahkan. Begitu juga di tengah kebijakan PPKM Jawa-Bali saat ini pun tidak dilakukan dengan tegas, bandara masih dibuka dan penyekatan jalur darat tidak konsisten dilakukan, sehingga peluang mobilitas warga Jawa-Bali masih dapat terjadi dan membuka peluang penyebaran wabah semakin besar.
Di saat kondisi wabah telah bergeser dari episentrum Covid-19 Jawa dan Bali, tentu saja kebijakan PPKM Jawa-Bali seperti minim solusi. Bagaimana bisa menjamin kesehatan dan keselamatan seluruh masyarakat dari wabah pandemi yang hanya terfokus di sebagian wilayah, tetapi seolah menutup mata untuk wilayah yang lain.
Belum lagi, perpanjangan kebijakan PPKM tanpa kompensasi yang layak, kesejahteraan rakyatlah yang menjadi taruhannya. Bahkan demi menyelematkan ekonomi, kebijakan terhadap TKA asing yang bebas datang melenggang di tengah kebijakan PPKM yang terus saja diperpanjang adalah tanda ketidakseriusan pemerintah dalam menangani wabah. Inilah bukti lalainya pemerintah dalam menangani Covid-19 di era demokrasi kapitalisme.
Kebijakan Pemimpin dalam Prespektif Islam
Islam datang dari Sang Maha Pencipta Allah Swt, lengkap dengan sistem dan aturannya untuk diterapkan dan dijalankan oleh manusia. Sudah sepatutnya, sebagai orang-orang yang beriman mencari solusi semua permasalahan dari sudut pandang Islam. Allah Swt berfirman :
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (TQS.al Maidah: 45)
Islam memberikan solusi mengatasi wabah pandemi adalah dengan melakukan lockdown (karantina wilayah) yaitu memisahkan secara total antara orang yang terkena dan yang tidak terkena wabah, kemudian menutup semua akses masuk guna mengantisipasi wabah menyebar luas. Rasulullaah saw bersabda :
"Apabila kalian mendengar wabah tha'un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu." (HR. Muttafaq 'alaih).
Dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat wabah adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Pemenuhan segala macam kebutuhan rakyat bahkan hewan ternak sekalipun maka negara wajib untuk memenuhinya. Negara pun wajib menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang, memberikan tenaga dan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk rakyat. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki seluruhnya demi kesejahteraan rakyat, bukanlah hal yang mustahil kesulitan ekonomi akibat wabah pandemi yang berkepanjangan dapat diatasi. Tidak hanya itu penerapan mekanisme baitulmal dalam mengelola perkonomian negara Islam, maka penyebaran dana bantuan untuk rakyat saat karantina dapat dipenuhi.
Demi meredam dan mengatasi wabah berkepanjangan, riset terhadap obat dan vaksin harus dilakukan oleh negara demi rakyat dapat keluar dari kungkungan wabah pandemi. Bahkan negarapun akan nelakukan kerjasama dengan negara lain bila keadaan membutuhkannya.
Di tengah wabah berkepanjangan yang sudah terlanjur menyebar secara nasional, selayaknya atensi negara terhadap penanganan wabah lebih ditingkatkan. Pembatasan mobilitas berskala nasional tidak hanya terfokus di satu wilayah akan menjadi jalan keluar mengatasinya. Serta pelaksanan vaksinasi secara gratis bagi seluruh lapisan masyarakat, sepatutnya dilakukan oleh pemerintah dengan pemantauan yang ketat demi menghindari komersialisasi di tengah kondisi sulit yang dirasakan masyarakat.
Itulah kewajiban pemimpin negara dalam Islam. Setiap kebijakan yang diambil adalah demi memenuhi kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullaah saw :
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Sayangnya setiap kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia bukanlah bersandar pada aturan Islam, walaupun mayoritas pemimpin-pemimpinnya adalah muslim. Keengganan penerapan Islam kaffah demi mencari solusi permasalahan membuat rakyat terus merasakan ketidaksejahteraaan. Allah Swt. berfirman yang artinya,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124)
Sudah seyogianya masyarakat menyadari bahwa menjalankan aturan Islam kaffah adalah sebuah kemestian. Agar kesejahteraaan dapat diraih dan rahmat Allah Swt dapat dirasakan seluruh alam.
Wallaahu a'lam bishshowab.
Posting Komentar untuk "Perpanjangan PPKM Jawa-Bali Di tengah Pergeseran Episentrum Pandemi "