Berburu Untung Hingga ke Udara
Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
Kericuhan kembali mencuat ke permukaan tanah air. Para pejabat negara begitu sampai hati, mereka telah hilang empati. Diketahui, kasus Covid-19 di Indonesia tengah mengalami penurunan. Penguasa tentu tak tinggal diam, dengan cepat memberi lampu hijau pada berbagai aspek, salah satunya maskapai penerbangan.
Pebisnis maskapai penerbangan mendapat sinyal dari pemerintah, akan mengizinkan maskapai mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-2) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM. (banjarmasin.tribunnews.com, Kamis 21/10/2021)
Adapun sebelumnya, pemerintah hanya mewajibkan pelaku perjalanan udara menunjukkan hasil negatif antigen (H-1) sebagai syarat penerbangan. Dilansir dari nasional.kompas.com, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19, Alexander Ginting, mengatakan bahwa kebijakan itu diubah untuk mencegah penularan virus corona ketika mobilitas mulai meningkat.
Hal ini tentu mengundang reaksi dari banyak pihak. Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin, mengkritik kebijakan wajib tes PCR kepada calon penumpang pesawat udara. Aturan ini dinilai memberatkan masyarakat. Tentu saja, karena biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penumpang mencapai ratusan ribu rupiah. Apabila tidak melakukan tes, maka masyarakat tidak boleh naik pesawat. (www.viva.co.id, Minggu 24/10/2021)
Padahal transportasi udara juga merupakan kebutuhan rakyat. Negara harusnya memenuhi kebutuhan tersebut. Bukankah lisan sudah merapal sumpah untuk mengurus rakyat? Di sisi lain, rakyat masih tertatih bangkit dari aspek ekonomi. Perihal makan saja masih merangkak, lah ini harus terbebani dengan biaya perjalanan udara yang mengudara.
Maka, bisa digarisbawahi bahwa pertimbangan diberlakukannya PCR untuk transportasi udara bukan berstandar kesehatan. Apabila berstandar kesehatan, pemerintah harusnya memberikan keringanan pada masyarakat. Misalnya, dengan mengadakan tes PCR dengan harga murah atau secara gratis. Apabila karena alasan kesehatan, mengapa moda transportasi lain tidak diwajibkan? Alasan jelasnya hanya satu, ialah demi keuntungan maskapai dan penyedia jasa PCR (pengusaha).
Begitulah rezim kapitalis, yang lebih mementingkan keuntungan segelintir elit pemilik modal. Mereka meneken aturan untuk memuluskan kepentingan para elit tersebut. Terkait keselamatan dan kesejahteraan rakyat, justru dinomor-sekiankan. Selagi kita berada di bawah naungan sistem kapitalisme, hal ini lumrah terjadi, bahkan semakin menjadi. Inilah politik balas budi, yang senantiasa hinggap di sistem ini.
Tentu bertolak belakang dengan sistem Islam, sistem yang berasal dari Sang Pemilik kehidupan, Allah Swt. Perihal kebutuhan pokok seperti makanan, negara akan mengurusnya hingga terpenuhi, entah dengan cara langsung atau tidak langsung. Sedangkan kesehatan, di awal pandemi saja negara dengan sigap melakukan tes massal untuk melihat rakyat yang masih sehat dan sudah terjangkit.
Negara akan mengadakannya dengan harga murah bahkan tak memungut sedikitpun biaya. Pemimpin tentu tak mengambil untung untuk kesenangan dunia, meraup pundi-pundi rupiah, mempertebal dompet miliknya atau kroni-kroninya layaknya di sistem sekarang. Sebaliknya, rida-Nyalah yang selalu berada di pelupuk mata, mengurus rakyat dengan sebaik-baiknya untuk meraih kebaikan hakiki di kehidupan nanti.
Rasulullah saw. bersabda, "Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam bishshawab.
Posting Komentar untuk "Berburu Untung Hingga ke Udara"