Ibu dalam Pusaran Liberalisme



Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Penulis dan pemerhati kebijakan publik)


Jika mengingat seorang ibu, pasti teringat pada hadis Baginda Rasulullah saw. yang masyhur. Bahwasanya ia (Mu’awiyah bin Jahimah) datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ingin berperang dan aku datang untuk meminta petunjukmu.’ Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau memiliki ibu?’, ‘Iya’. ‘Menetaplah dengannya karena sungguh surga di bawah kedua kakinya.” (HR. Ibnu Majah, An-Nasa’i, Ahmad, Ath-Thabrani).

Tepat di hari ini yaitu 22 Desember, banyak yang memperingati Hari Ibu. Berbagai cara orang mengungkapkannya, baik ucapan, puisi, surat, atau memberi hadiah spesial. Di Hari Ibu, tentu seorang ibu senang diperlakukan bak bidadari yang disayangi dan dicintai. Namun, jangan sampai kasih sayang yang diungkapkan pada ibu hanya di Hari Ibu saja. Karena, kasih sayang ibu pada anak tak mengenal batas waktu, usia dan tempat. 

Apalagi melihat pengorbanan ibu yang luar biasa. Wanita manapun yang sudah merasakan sebagai ibu, pasti tahu bagaimana perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan untuk anak tercinta. Nyawa pun rela dikorbankan, jika harus memilih satu di antara dua pilihan, anak atau dirinya. 

Banyak sekali nash tentang kewajiban berbakti pada kedua orang tua, di antaranya surat Lukman ayat 14, "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."

Bahkan, di dalam hadis Rasulullah saw. ibu disebut tiga kali dibanding ayah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’. Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu’. Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’, Nabi saw. menjawab ‘Ibumu’.

Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ beliau menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab ‘Kemudian ayahmu’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kini, dalam pusaran liberalisme banyak kisah pilu seorang ibu. Beban dan peran ibu pun semakin besar, karena arus liberalisme kian menyebar. Jika anak ibarat jantung bagi seorang ibu, liberalisme menyerbu anak generasi estafet perjuangan risalah Rasulullah. Masih hangat dalam ingatan, kisah pilu seorang mahasiswi yang diduga bunuh diri di samping makam ayahnya. 

Karena hamil di luar nikah dan pernah diminta aborsi oleh sang kekasih hati. Hatinya hancur lebur, harapan punah diliputi putus asa yang mendera. Betapa liberalisasi seksual kian menggurita, sementara yang terlihat bagai fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang mungkin serupa belum terkuat ke permukaan. 

Sebagai ibu ketika anaknya seperti ini, hancur berkeping-keping. Rasa bersalah menyelimuti diri, mengapa begitu dan begini. Seandainya begini dan begitu. Menangis pun tak bisa menyelesaikan masalah, hanya bisa mengeluarkan segala unek-unek di dada. Anak yang diperjuangkan hingga lahir menjadi korban buasnya liberalisme. 

Tak mudah menjadi seorang ibu, sudah banyak berkorban pun terkadang anak melihat dari sisi kurang. Sehingga tak jarang selisih paham terjadi di antara anak dan ibu. Karena liberaliisasi pula anak menjadi sosok yang berani menentang seorang ibu. Dulu, anak begitu patuh pada kedua orang tua. Kini, anak begitu berani mengatakan 'tidak' pada ibunya. Tanpa tahu, jauh di lubuk hatinya sakit dan menangis atas ucapan dan tingkah laku anaknya. 

Oleh karenanya wahai para anak, sayangi dan hormati ibumu karena bisa jadi dengan berbakti pada orang tua menjadi salah satu kunci memasuki surga-Nya Allah. Selain itu, menjadi berkah dan mudahnya menjalani kehidupan dunia. Ketika masih hidup jangan disia-siakan, karena jika telah tiada tak bisa lagi melihat senyumnya, tak bisa lagi mendapat doanya dan berbakti secara langsung. Bagi yang ibunya telah tiada, selalu doakan, ziarah ke makamnya dan selalu minta pada-Nya menjadi anak yang salih yang bisa membahagiakan kedua orang tua.

Mari pelajari dan pahami Islam secara kaafah, agar tidak mudah terjebak pada arus liberalisme. Karena hanya berpegang teguh pada ajaran Allah, manusia bisa selamat dari jeratan setan melalui jalan apapun termasuk ide atau apapun di luar Islam. Bergabung dengan kelompok yang selalu mengingatkan dalam kebaikan, dengan orang-orang salih agar terbawa salih.

Wahai para ibu, walau bebanmu kian berat dalam sistem liberalisme. Percayalah, selama berpegang teguh pada Islam maka akan selamat. Terus bekali anak dengan akidah Islam yang kokoh, isi dengan tsaqafah Islam yang cemerlang dan libatkan anak-anak dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Agar energi yang ada terisi pada hal yang baik sesuai perintah Allah, sehingga tak ada waktu untuk melakukan sesuatu yang diharamkan.

Tak dimungkiri sangat berat beban anak dan ibu, selama sistem yang ada tak mendukung ke jalan yang benar sesuai Islam. Maka, keberadaan wadah yang bisa menerapkan Islam secara kaafah sangat urgen. Agar tak ada lagi masalah yang terjadi karena meninggalkan syariah Allah, dan keberkahan bisa dirasakan. Firman Allah Swt. dalam surat al A'raf: 96, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..."

Allahu A'lam bi ash Shawab. 

Posting Komentar untuk "Ibu dalam Pusaran Liberalisme"