Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekerasan Seksual: Tuntaskah dengan RUU TP-KS?




Oleh: Ummu Rufaida ALB (Anggota AMK dan Sahabat Visi Muslim Media)


Kasus rudapaksa yang dilakukan oleh pimpinan pesantren terhadap santriwati di Bandung mencuat ke permukaan. Disusul bunuh dirinya Novia Widyasari, seorang pacar oknum polisi, yang diduga menenggak racun lantaran depresi setelah pacarnya menyuruh melakukan oborsi. Sontak menuai ribuan kecaman dari berbagai kalangan, tak terkecuali para aktivis kesetaraan gender. 

Dengan memanfaatkan peringatan hari HAM, 10 Desember, aktivis kesetaraan gender mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TP-KS. Desakan ini pun didukung oleh sejumlah menteri, gubernur, serta anggota DPR. Mereka berpendapat sudah saatnya pemerintah segera menghentikan kasus kekerasan seksual, yang kebanyakan melibatkan perempuan dan anak. Maka, adanya sebuah payung hukum menjadi kebutuhan mendesak agar bisa menjerat pelaku dan melindungi korban.

Menindaklanjuti desakan ini, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) akhirnya menginisiasi pembentukan gugus tugas percepatan RUU TP-KS. Gugus tugas ini melibatkan stakeholder lintas kementerian/lembaga, masyarakat sipil, akademisi hingga media massa. 

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, sepanjang Januari hingga Juli 2021 telah terjadi sekitar 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus kekerasan seksual.

“Angka ini melampaui catatan 2020 yakni 2.400 kasus. Peningkatan dipengaruhi oleh krisis pandemi (Covid-19),” kata Nadiem dalam acara virtual nobar dan webinar “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”, Jumat (10/12/2021). (Kontan.co.id, 10/12/2021)

Lebih jauh lagi, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan bahwa pada 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali. Ia menjelaskan saat ini angka kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding 2020 lalu. (Tirto.id, 13/12/2021).

Data tersebut diatas tentulah tidak sesuai dengan fakta yang ada. Mengingat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan atau anak banyak terjadi di kehidupan privat. Ditambah, tidak semua korban berani melapor apalagi dibawa ke jalur hukum. Hingga akhirnya, diselesaikan dengan kekeluargaan saja. 

Selain itu, saat ini bisa dikatakan bahwa tidak ada satupun tempat aman dari tindak kekerasan seksual. Semua tempat memungkinkan terjadi bahkan pelakunya bisa saja orang terdekat atau yang dihormati korban. Seperti orang tua, saudara, teman, guru, atau bahkan ustadz seperti yang terkuak akhir-akhir ini. 

Para aktivis KG selalu beranggapan bahwa kasus kekerasan termasuk KtP dan KtA merupakan kekerasan berbasis gender, yang bermula dari adanya relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Serta adanya stigma negatif masyarakat bahwa perempuan adalah masyarakat kelas dua, hingga wajar perempuan selalu menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya mereka menganggap solusi atas problem ini adalah menciptakan budaya dan aturan sesuai perspektif gender. 

Apa yang mereka suarakan tentu merupakan upaya perpanjangan tangan dari program-program dunia internasional. Terbukti sejak 1991 lembaga Women's Global Leadership Institute yang disponsori oleh Center for Women's Global Leadership, selalu melakukan kampanye 16 hari Antikekerasan terhadap Perempuan yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember (Hari HAM). Indonesia, dalam hal ini Komnas Perempuan, sudah terlibat sejak 2001. 

Namun demikian, bukankah seiring tertancapnya ide kesetaraan gender dan HAM justru problem ini tak kunjung hilang atau bahkan berkurang?

Harus diakui bahwa persoalan perempuan, terutama KtP yang merus menghantui, ternyata hadir bersamaan dengan arus kebebasan atas nama HAM. Kebebasan bertingkah laku yang lahir dari sistem hidup sekularisme kapitalis. Kebebasan inilah yang menjadi pijakan utama yang akhirnya membiarkan pergaulan bebas laki-laki dan perempuan terjadi. 

Buktinya, saat ini tidak adanya aturan khusus yang mengatur laki-laki dan perempuan, mereka dibiarkan berpacaran, berkhalwat, berzina, homoseksual, lesbianisme, dan sebagainya. Semua diperbolehkan asalkan atas persetujuan kedua belah pihak atau sexual consent (perilaku seksual berdasarkan persetujuan).

Selain itu, tidak adanya aturan yang mengharuskan perempuan untuk menutup aurat. Semuanya dibebaskan memilih, mau menutup aurat ataupun tidak dan tidak boleh ada yang memaksa. Akibatnya, wajar jika hingga detik ini masalah kekerasan tidak pernah tuntas. 

Maka, jelas bahwa RUU TP-KS tidak akan menuntaskan problem ini. Sudah seharusnya kita merujuk pada satu paradigma yang pasti benar. Yang bersumber dari Tuhan Pencipta manusia, yaitu sistem kehidupan Islam. 

Islam dengan tegas mengharamkan mengumbar aurat, perzinaan, berpacaran, pelecehan seksual, sexual consent, pergaulan bebas, homoseks, dan perilaku menyimpang lainnya. Meskipun semua itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

Sehingga dalam pemerintahan Islam, tentu akan memasukkan aturan pergaulan sesuai Islam dalam kurikulum seluruh jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, pemerintah juga akan mengontrol media agar tidak mempertontonkan hal yang diharamkan, semisal pornografi dan pornoaksi. 

Pemerintah juga akan memudahkan warganya untuk menikah, menutup perzinahan serta kemaksiatan lainnya. Serta memberi sanksi tegas bagi para pelaku tindak asusila. Sanksi yang dijatuhkan negara harus berfungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir).

Dalam Islam, sanksi bagi pezina yang belum menikah adalah wajib mendapat dera 100 kali cambuk dan boleh mengasingkannya selama setahun. Sedangkan bagi yang sudah menikah, akan dirajam hingga mati. 

Adapun sanksi bagi orang yang memfasilitasi orang lain untuk berzina, dengan sarana apa pun dan dengan cara apa pun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, tetap akan terkena sanksi. Bagi mereka sanksinya penjara lima tahun dan mencambuknya. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksi diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki. 2002. Sistem Sanksi Dalam Islam.

Hlm. 238. Pustaka Tariqul Izzah. Bogor)

Disamping itu, sistem Islam juga akan melahirkan individu bertakwa yang penuh kesadaran akan melakukan kontrol sosial dan melaksanakan peraturan pergaulan, serta siap menjaga diri dan akhlaknya. []

Wallahu a'lam 

Posting Komentar untuk "Kekerasan Seksual: Tuntaskah dengan RUU TP-KS?"

close