Society 5.0 : Teknologi Bukan untuk Menggeser Manusia




Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos (Pemerhati Kebijakan Publik)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) terusik mendengar kabar pemerintah akan menggantikan PNS dengan Artificial Intelligence (AI) yang menggunakan robot. Di tengah masifnya perkembangan teknologi, para PNS dituntut beradaptasi. Meskipun tidak semua pekerjaan menggunakan robot dan hanya pekerjaan yang berkaitan dengan pengawasan teknis, operator dan mekanis. Namun, benarkah kebijakan tersebut demi memotivasi PNS guna meningkatkan kualitasnya? 

Jumlah PNS Menurun 

Dikutip dari cnbcindonesia.com, Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerjasama BKN Satya Pratama mengatakan, upaya transformasi digital dalam pelayanan publik sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memangkas jabatan eselon PNS. Lanjutnya, saat ini eselon III dan IV sudah dihapus dan diganti menjadi pejabat fungsional. Pekerjaan yang bersifat administratif, rutinitas dan repentitif serta memiliki prosedur operasi standar yang jelas dapat digantikan dengan robot (1/12/2021).

Jumlah PNS pun mengalami penurunan sejak tahun 2016. Jika dirinci, jumlah PNS tahun 2015 sebanyak 4.593.604 orang turun menjadi 4.374.341 orang pada tahun 2016. Tahun 2017 turun menjadi 4.289.396 orang kemudian turun lagi menjadi 4.185.503 orang pada tahun 2018. Sementara tahun 2019 naik tipis menjadi 4.189.121 orang namun kembali turun menjadi 4.168.118 orang di tahun 2020. Adapun jumlah PNS aktif per 30 Juni 2021 sebanyak 4.081.824 orang, turun 3,33% dibanding tahun 2020. Jumlah tersebut terdiri dari 949.050 orang (23%) PNS pusat dan 3.132.774 orang (77%) PNS daerah (cnbcindonesia.som, 23/11/2021). 

Transformasi Teknologi

Bagi sebagian orang, menjadi PNS bukanlah jalan mengumpulkan kekayaan. Gaji standar namun terikat aturan yang cukup ketat. Mereka yang menyukai kebebasan dan menginginkan penghasilan lebih tinggi tentu memilih menjadi pengusaha. Pun demikian, setiap penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selalu ramai pendaftar. Banyak alasan memilih menjadi PNS diantaranya gaji pasti setiap bulan, asuransi kesehatan serta dana pensiun di hari tua. 

Pemerintah pun memiliki sejumlah alasan melakukan otomasi. Penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin yang secara otomatis melakukan dan mengatur pekerjaan sehingga tidak memerlukan lagi pengawasan manusia. Pemanfaatan AI disebut mempermudah dan mempercepat pengambilan keputusan di tingkat daerah dan nasional. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini dinyatakan semakin terbebani dengan tingginya kebutuhan membayar gaji dan tunjangan serta dana pensiun PNS. 

Bahkan, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana sempat menyatakan 10 tahun kedepan, kemungkinan tidak ada lagi PNS dan digantikan oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK dan PNS memang sama-sama Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bisa menduduki jabatan administratif dan fungsional. Namun, diantara keduanya memiliki perbedaan. PNS merupakan pegawai tetap sementara PPPK merupakan pegawai yang dikontrak atau di-outsourching oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam jangka waktu tertentu. 

PPPK dikontrak dalam jangka waktu 1-5 tahun dan bisa diperpanjang tergantung situasi dan kondisi. Status mereka mirip dengan status karwayan perusahaan swasta. Adapun hak pensiun PPPK masih dalam pembahasan. Namun, jika pemerintah sudah menganggap dana pensiun PNS sebagai beban APBN, maka kecil kemungkinan bagi PPPK untuk mendapat hak pensiun. Teringat polemik pengangkatan guru honorer yang awalnya dijanjikan menjadi PNS tapi kemudian diangkat menjadi PPPK. Tersirat pemerintah tidak lagi menginginkan PNS. 

Dikutip dari kompas.tv, alokasi APBN untuk belanja pegawai tahun depan disebut mencapai Rp 426,76 triliun. Jumlah ini setara dengan pengelolaan utang negara dalam APBN 2022 sebesar Rp405,86 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri Rp393,69 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp12,17 triliun. Jumlah utang pemerintah per Agustus 2021 sendiri sudah mencapai Rp6.625,43 triliun (28/9/2021).

Pun demikian, otomasi PNS juga tidak bisa dibilang murah. Di sebuah e-commerce, robot AI seperti Raisa Robot Asisten dibandrol harga Rp50 juta per unit. Bahkan, Robot Shopia yang viral beberapa waktu lalu harganya hampir mencapai US$700.000 atau sekitar Rp10 miliar. Lalu, berapa besar anggaran yang disiapkan untuk pengadaan dan pemeliharaan robot AI di pusat dan daerah? Jika robot AI lokal tidak ada, tentu akan mencari penyedia luar negeri. Terlihat otomasi cenderung menguntungkan korporasi. 

Pemerintah menganggap belanja pegawai sebagai beban APBN. Disaat bersamaan, utang negara tidak dianggap sebagai beban APBN. Utang negara yang terus naik masih dipandang positif demi pembangunan. Cara pandang pemerintah melihat masalah PNS cukup ambigu. Bagaimana pula dengan besaran gaji Staf Khusus Presiden, Staf Khusus Wakil Presiden, Wakil Sekretaris Pribadi Presiden, Asisten dan Pembantu Asisten sebesar Rp51 juta per bulan? Berapa jumlah total gaji seluruh ‘teman diskusi’ presiden dan wakil presiden dalam waktu setahun? 

Padahal, banyak masalah terkait PNS lainnya yang harus dibereskan. Diantaranya kasus PNS fiktif yaitu orangnya tidak ada tapi gajinya tetap jalan. Sebelumnya, BKN menyebut ada dugaan 97.000 PNS fiktif. Harus diselidiki siapa yang menikmati gaji tersebut. Praktik korupsi mulai dari proses rekrutmen hingga penyalahgunaan wewenang pun masih marak. Mutasi dan promosi masih tidak memperhatikan ‘the right man on the right place’. 

Selain itu netralitas PNS masih menjadi polemik. Masih marak politisasi birokrasi, salah satunya intervensi kepala daerah incumbent saat Pemilu maupun Pemilukada hingga membuat kinerja PNS tidak profesional. Rusaknya birokrasi inilah yang seharusnya menjadi sorotan pemerintah. 

Memilih ASN hanya dari kalangan PPPK tanpa melakukan perombakan birokrasi secara sungguh-sungguh dan fundamental tidak akan memperbaiki kondisi. Selain itu, PPPK sewaktu-waktu bisa diberhentikan kemudian diganti PPPK yang baru. Hal ini justru menambah pekerjaan dan beban anggaran negara dalam melakukan proses rekrumen. Akhirnya, bukan solusi yand didapat tetapi muncul masalah baru.  

Mengubah Mindset

Teknologi, termasuk didalamnya robot AI sesungguhnya hanyalah alat. Secanggih apapun alat tersebut, tetap membutuhkan manusia. Dibalik kecerdasan yang dimiliki robot, ada jutaan database yang disebut big data yang tersimpan dalam memori robot. Sumber big data tersebut diambil dari pendapat para pakar ekonomi, psikologi, politik dan lainnya. Jadi, robot hanya mengucapkan kembali pendapat pakar dengan akses super cepat. 

Memposisikan mesin berteknologi tinggi sebagai pesaing manusia tentu sebuah kesalahan. Manusia membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai wasilah mendapatkan rezeki dan mempertahankan hidup. Disini ada kewajiban negara dalam menjamin lapangan pekerjaan. Mengutamakan robot dibanding manusia tentu akan menciptakan ketimpangan sosial serta masalah ekonomi lainnya. Alangkah baiknya, memandang robot sebagai relasi manusia guna memudahkan dan mempercepat pekerjaan hingga kinerja PNS semakin melejit. 

Selain itu, tugas pokok dan fungsi PNS lebih banyak melakukan pelayanan dimana sasarannya adalah manusia. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi perusahaan industri yang melakukan otomasi dimana sasarannya adalah barang. Jepang, sebagai negara maju saja tidak cukup mengandalkan revolusi industri 4.0. Saat ini lebih mengembangkan society 5.0 dimana menggunakan teknologi untuk menciptakan nilai baru dan menyelesaikan masalah sosial. Memposisikan teknologi sebagai mitra untuk memudahkan manusia menjalani kehidupan. 

Cara pandang (idiologi) suatu negara akan melahirkan sebuah kebijakan. Suatu negara yang beridiologi kapitalis akan membuat kebijakan berdasarkan untung rugi secara matematik semata. Tanpa melihat dampak jangka panjang. Padahal, yang harus dilakukan oleh sebuah negara adalah memanusiakan manusia dengan sarana yang ada. Lain halnya dengan cara pandang Islam yang menjadikan manusia sebagai komponen utama dalam perkembangan teknologi, bukan malah menyingkirkan manusia. Wallahu’alam bish showab.    

Posting Komentar untuk "Society 5.0 : Teknologi Bukan untuk Menggeser Manusia"