Dua Kaidah Fikih Pindah IKN Tertolak, Ini Alasannya

 


Jakarta, Visi Muslim-– Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi memaparkan tiga alasan berkenaan tidak dapat diterimanya dua kaidah fikih sebagai upaya legitimasi pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

“Kalau kita kaji, penggunaan dua kaidah fikih itu untuk melegitimasi pindahnya IKN sebenarnya tidak dapat diterima. Kenapa? Karena ada tiga alasan,” tuturnya dalam Kajian Fikih: Terungkap! Kaidah Fikih Ini Tidak Cocok Dikaitkan dengan Pindah Ibu Kota Negara, Jumat (28/1/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Sebelumnya, ramai di media-media sosial unggahan dua kaidah fikih atau qawa’id fiqhiyyah, yang berbunyi, ‘kebijakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan’ dan ‘perintah pemimpin menghilangkan perbedaan pendapat’. Demikian kaidah tersebut dikaitkan dengan kebijakan pemerintah memindahkan IKN.

Berdasarkan kaidah tersebut, diharapkan pula rakyat akan mendukung RUU IKN yang telah disahkan menjadi UU (18/1) tanpa perlu pro kontra lagi. Karena, selain (katanya) sudah dipertimbangkan masak-masak aspek kemaslahatannya sebagaimana kaidah fikih pertama, UU tersebut juga dikatakan seharusnya menghilangkan pro kontra di antara masyarakat seperti halnya kaidah fikih yang kedua.

Namun tidak demikian menurut kajian yang dilakukan oleh Shiddiq yang berikutnya, ia menyampaikan tiga alasan dimaksud.

Pertama, kaidah fikih itu hanya dapat diberlakukan dalam konteks kebijakan seorang pemimpin dalam arti imam atau khalifah, yaitu kepala negara dalam negara khilafah.

“Tidak dapat diberlakukan secara umum untuk semua pemimpin sehingga mencakup presiden dalam sistem sekuler yaitu sistem republik,” jelasnya.

Hal itu disebabkan karena memang kata ‘imam’, tidak dapat dimaknai secara lughawi, etimologis maupun bahasa. “Ini adalah kaidah syariah atau kaidah fiqhiyyah,” tegasnya.

Artinya, terang Shiddiq, cara memahaminya harus secara syar’i atau dengan makna terminologis menurut hukum Islam yang di dalam nash-nash syariah kemungkinannya ada dua.

Imam di dalam pelaksanaan shalat, disebut juga dengan al-imamah as-sugra atau kepemimpinan kecil, dan imam dalam lingkup negara khilafah atau yang dikenal sebagai al-imamah al-kubra atau kepemimpinan besar, karena memang dari redaksi kalimat yang dicantumkan mengandung kata ar-ra’iyah yang berarti rakyat.

Lebih jauh juga telah dijelaskan di dalam syarah Syekh Muhammad Mustafa az-Zuhaili dalam kitab Al-Qawaidul Fiqhiyyah wa Tatbiqatiha fi Madzahibil Arba’ah, yang menurut Shiddiq relevan dalam masalah kaidah dimaksud.

Dalam kitab tersebut, tepatnya pada juz pertama halaman 193, dijelaskan bahwa beliau menggariskan batas-batas pengaturan umum dan politik syariah dalam kekuasan para penguasa dan kebijakan mereka terhadap rakyat.

Maka, selanjutnya, kaidah ini juga memberikan makna bahwa kebijakan para penguasa atas rakyat wajib dibangun atas dasar kemaslahatan bagi masyarakat dan kebaikan masyarakat. Karena para penguasa yaitu khalifah dan penguasa di bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri melainkan para wakil dari umat untuk menyelenggarakan pengaturan urusan rakyat yang terbaik.

“Jadi jelas yang namanya imam di dalam kaidah tadi maksudnya adalah khalifah,” tukasnya.

Maka dari itu, ia kembali menegaskan, mengartikan imam dalam kaidah fikih secara umum sehingga berlaku juga untuk presiden dalam sistem sekuler adalah suatu kekeliruan yang tidak dapat diterima.

Untuk alasan kedua, andaikan kata imam dalam kaidah fikih tersebut dapat berlaku umum untuk presiden dalam sistem sekuler, yang menurutnya patut dipertanyakan secara kritis adalah benarkah kebijakan pindah IKN ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan?

“Kemaslahatan macam apa ketika ternyata kebijakan IKN ini diduga kuat bisa merusak lingkungan di sekitarnya?” tanyanya lugas.

Padahal, ia melihat atau bahkan menurutnya banyak kalangan yang tahu, pemindahan IKN di-backup para oligarki atau korporat-korporat pemodal raksasa pendukung rezim yang menurutnya anti Islam.

Selain itu, pemindahan IKN diduga kuat dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang dahsyat yang secara langsung mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna di sana.

Akibatnya, pencemaran dan kerusakan lingkungan dari meningkatnya resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrien kawasan pesisir maupun lubang tambang yang tidak ditutup sehingga selain mencemari air tanah juga mengancam terhambatnya jalur logistik masyarakat.

Berikutnya, alasan ketiga (khusus untuk kaidah fikih yang kedua yakni ‘perintah pemimpin menghilangkan perbedaan pendapat’), menurutnya juga tidak bisa diterima karena memang yang dimaksud imam dalam kaidah tersebut seperti dijelaskan sebelumnya adalah khalifah dalam konteks negara khilafah.

Sementara, kaidah kedua itu hanya dapat diterapkan untuk hukum syara’ yang memang terdapat perbedaan pendapat (khilafiyah). “Ada beberapa alternatif hukum syariat yang khilafiyah dalam suatu kebijakan, maka khalifah memilih salah satunya,” tuturnya.

Sehingga jelas, kata Shiddiq, kaidah fikih ‘perintah pemimpin menghilangkan perbedaan pendapat’ tidak dapat diterapkan di dalam konteks UU produk sistem demokrasi yang nyata-nyata bukan berasal dari hukum Syara’. “Maka dari itu kepindahan IKN sebenarnya tidak mendapat legitimasi apa pun dari syariat Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian/mu

Posting Komentar untuk "Dua Kaidah Fikih Pindah IKN Tertolak, Ini Alasannya"