Ibu Kota Baru: Salah Resep Sejahterakan Indonesia





Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Pada tanggal 18 Januari 2022, DPR mengesahkan UU IKN (Ibu Kota Negara) baru. Bahkan DPR telah menyiapkan nama untuk ibu kota baru yakni Nusantara. 

Rencananya, setelah pengesahan UU IKN ini proyek pembangunan ibu kota baru mulai dikerjakan. Lokasi bagi ibu kota baru tersebut sebagaimana ditegaskan presiden adalah daerah Penajam Paser Utara di Kaltim. Bahkan pembiayaan proyek ibu kota digadang-gadang tidak menggunakan instrumen utang luar negeri. Termasuk disebut-sebut tidak akan membebani APBN.

Pembiayaan proyek ibu kota baru ini dialokasikan dana dari APBN sebesar Rp 510 milyar dari APBN 2022. Hal ini tertuang di dalam perpres no 85 Tahun 2021 tentang rencana kerja pemerintah di tahun 2022. Besaran dana tersebut digunakan untuk pengembangan wilayah IKN dalam mengurangi kesenjangan dan pemerataan. Hanya porsi dana APBN yang dipakai sekitar 19 persen yakni senilai Rp 80 milyar. Tapi anehnya alokasi dana dalam APBN mencapai Rp 510 milyar. Sedangkan secara keseluruhan dana yang dibutuhkan untuk ibu kota baru adalah Rp 466-486 trilyun. Artinya sangat berpotensi alokasi dana dari APBN 2022 akan tersedot semua untuk proyek ibu kota baru. Jadi jauh panggang dari api tidak membebani APBN.

Besaran dana untuk ibu kota baru tentunya tidak akan mampu dikover keseluruhannya oleh APBN. Menkeu Sri Mulyani berencana akan memasukkan proyek ibu kota baru ke dalam program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Besaran dana PEN 2022 sebesar Rp 450 trilyun. Hanya saja belum ada rincian porsi penggunaan dana PEN untuk proyek ibukota.

Menilik skema pembiayaan proyek ibukota sedemikian, bisa dikatakan bahwa terdapat kesalahan resep dalam mengurangi kesenjangan daerah dan pemerataan kesejahteraan wilayah. Proyek ibukota baru menjadi proyek yang tidak berkolerasi bagi kesejahteraan rakyat di era pandemi. Seharusnya dana APBN dan PEN difokuskan dalam penciptaan kesejahteraan rakyat.

Jelas proyek ibukota baru ini tidaklah termasuk program PEN. Program PEN diarahkan dalam membangun manusianya pasca pandemi. Sedangkan proyek ibukota baru adalah program baru yang menyulap kondisi alam menjadi bangunan dan insfrastruktur lainnya. Jadi proyek ibukota baru terkesan pemborosan uang negara.

Rencana pemindahan ibukota ini terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Kalau dilihat dari pembiayaan di luar negara, ternyata terdapat andil besar para kapital raksasa.

Pemerintah akan menjalin kerjasama dengan swasta melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Alokasi dananya sebesar Rp 252,2 trilyun atau 54,2 persen pendanaan ibukota baru. Ditambah dengan investasi swasta dan BUMN atau BUMD adalah sebesar Rp 123,2 trilyun atau 26,4 persen. Lantas, proyek ibukota baru untuk kepentingan siapa??!

Jumlah kemiskinan di Indonesia per Maret 2021 adalah 26,5 juta jiwa. Anehnya sejak pandemi kekayaan para pejabat yang mengalami kenaikan mencapai 70 persen. Termasuk para konglomerat semakin meroket kayanya. Pada tahun 2020, orang yang kekayaannya di atas 100 juta US dollar berjumlah 417 orang. Jumlah ini meningkat 22,29 persen di tahun sebelumnya.

Sementara itu keadaan rakyat tidak diperhatikan. Ekonomi sulit, PHK besar-besaran selama pandemi, termasuk kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat. Pertanyaannya, di manakah nurani pemerintah dalam hal ini?

Terdapat sebuah kutipan dari Faisal Basri bahwa presiden mendapat tawaran dana Rp 1.430 trilyun dari investor. Syaratnya Indonesia dalam waktu 10 tahun bisa memigrasi 5 juta orang yang tinggal di wilayah ibu kota baru. Tentu saja jumlah 5 juta akan mampu mendongkrak roda ekonomi para investor. Hanya saja paket bantuan tersebut tidak diambil.

Tinggal persoalannya adalah proyek ibukota baru nanti akan mampu menarik minat investor. Akan cukup sulit meyakinkan investor di ibukota baru. Di samping faktor jaminan akan kestabilan politik dan birokrasi menjadi penentu investasi. Artinya, tatkala minat investasi masih sangat berat, sementara itu pembangunan ibukota baru, terpaksa masih mengandalkan dana dari APBN dan PEN. Pendek kata, proyek ibukota baru akan mangkrak. Satu alasannya yakni pendanaan tidak mencukupi. Artinya nasib proyek ibukota baru akan menjadi kasus Hambalang ke-2. Dan keadaan demikian sangat merugikan negara.

Jika demikian keadaan yang terjadi, dana negara dikeluarkan untuk suatu proyek pembangunan yang tidak digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemiskinan tetap membelenggu, utang luar negeri yang menumpuk, dan mahalnya kebutuhan hidup dan lainnya. Pendek kata, proyek ibukota baru bukan obat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi bangsa. 

Ideologi Kapitalisme telah mendewakan harta. Inilah masalah utamanya. Kapitalisme hanya memberikan hak akses luas terhadap para kapital. Sebaliknya rakyat yang tetap menderita. 

Pembangunan ibukota itu soal kesiapan suatu daerah. Dalam Islam, setiap jengkal wilayah akan diupgrade kemakmurannya. Hasilnya negara tidak akan susah menentukan ibukotanya yang baru. 

Para penduduk akan disebarkan negara ke seluruh wilayahnya. Dengan berbondongnya masyarakat ke suatu wilayah bahkan di perbatasan akan menghidupkan wilayah tersebut. Di smping itu terdapat motivasi imani bahwa menjaga perbatasan dengan musuh adalah sebuah ibadah yang besar di hadapan Allah SWT. Dengan demikian secara alamiah, setiap wilayah kekuasaan Islam akan meningkat kesejahteraannya. 

Posting Komentar untuk "Ibu Kota Baru: Salah Resep Sejahterakan Indonesia"