Refleksi Kekerasan pada Perempuan, Akankah Bisa Dihentikan?




Oleh : Habiba Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)


Menengok perjalanan di tahun 2021, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi catatan yang suram. Ada beberapa kasus yang sempat gempar dan menjadi perbincangan. Beberapa saat lalu, ada seorang guru di Bandung yang mencabuli 21 muridnya hingga lahir 9 bayi. Sebelumnya, juga ada seorang guru ngaji di Kabupaten Bekasi, berinisial M (40), mencabuli murid perempuan berinisial F yang masih berusia 12 tahun. Miris, juga ada berita pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Belum lagi, pelecehan yang umum terjadi di masyarakat. Sebagai contoh terungkap adanya sopir grab yang berusaha melecehkan penumpang hingga menganiaya. Kemudian, adanya pelecehan di KRL di antara sesama penumpang. Termasuk, pelecehan yang juga kerap terjadi di kampus yang dialami mahasiswa dan dilakukan oleh civitas kampus sendiri. Hingga ada kasus anak yang mengalami pelecehan yang justru dilakukan oleh keluarga terdekat mereka termasuk sang ayah kandung. Sebagaimana contoh kejadian yang terjadi di Luwu Timur beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan selama tahun 2021. Sebagaimana sekretaris KPPPA, Pribudiarta N. Sitepu menyampaikan ada 8.800 kasus pada 2019, lalu 8.600 kasus pada 2020 dan sudah 8.800 pada November 2021 (CNN Indonesia, 9/12/21). Dari data tersebut sejatinya masih banyak kasus yang tidak terlaporkan. Maka, fenomena kekerasan ini ibarat gunung es, yakni yang tidak terlaporkan justru sangat banyak.

Berbagai fakta di atas adalah gambaran bahwa perempuan saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Ada banyak solusi yang ditawarkan, namun nampaknya tidak memberikan secercah harapan. Hal ini dikarenakan regulasi yang mengatur nampaknya hanya bersifat kuratif dan bahkan tidak memberikan efek jera dan edukatif terhadap masyarakat. Bahkan cenderung memunculkan problematika yang lebih berat. Wajar jika tawaran tersebut senantiasa menimbulkan adanya pro kontra, contoh saja kasus digodognya RUU PKS dan munculnya Permendikbud 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Lalu, adakah solusi untuk permasalahan kekerasan perempuan?

Menelisik Akar Permasalahan Kekerasan Perempuan

Jika kita melihat banyaknya kasus yang terjadi, maka sejatinya permasalahan ini bukanlah sesuatu yang Individual, namun merupakan masalah sistematik. Ada sesuatu yang salah di dalam tata kehidupan ini sehingga perempuan dipandang rendah, hingga mereka menjadi korban kekerasan. Perempuan yang seharusnya dilindungi dan ditempatkan secara terhormat, nyatanya justru menjadi objek tontonan, objek pelampiasan dan minim perlindungan. 

Bagaimana tidak? Di kehidupan yang serba materialistis ini perempuan terus dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga bahkan menjadi sumber devisa negara. Di sisi lain, perempuan digeret di dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama, sehingga mereka rela auratnyaterbuka dan dinikmati oleh manusia yang tak berhak. Bahkan sistem ini memberikan kebebasan terhadap tindak pornografi pornoaksi, seks bebas, bahkan pernikahan sejenis menjadi halal. Inilah kehidupan liberal buah dari sekulerisme kehidupan.

Adanya kekacauan cara pandang kehidupan yang bersandar pada kapitalis-sekuler menjadikan tata kehidupan ini memandang perempuan begitu rendah. Perempuan bahkan hanya dianggap sebagai objek yang bisa memuaskan. Di sisi lain, perempuan justru ditarik ke dalam pemahaman feminis yang menempatkan perempuan harus sama dengan laki-laki. Hingga perempuan akhirnya dituntut untuk keluar rumah dan mengurus hidupnya sendiri tanpa perlindungan dari keluarga dan negara. Demikianlah, betapa berat kehidupan perempuan di bawah sistem yang memiliki arah pandang kapitalis-sekuler ini. Wajar jika kekerasan terhadap perempuan menjadi kado pahit yang tak bisa dihindarkan.

Butuh Solusi Sistemik dan Komprehensif

Tak dipungkiri jika solusi yang ditawarkan saat ini oleh pemerintah tidaklah memberikan secercah harapan. Bagaimana tidak, regulasi yang ditawarkan tidak pernah mengatur sesuatu perbuatan yang di dalamnya dilakukan secara suka sama suka. Padahal, perbuatan tersebut adalah perbuatan asusila dan melanggar syari'at agama. Maka, jika ingin benar-benar menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan diperlukan solusi yang sistematis dan komprehensif. Selain itu, perlu difahami bahwa bagi siapa saja yang ingin mencari solusi terhadap problematika kehidupan harusnya kembali kepada aturan Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.

Sudah selayaknya jika Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mengambil Islam sebagai solusi terhadap setiap permasalahan. Catatan sejarah telah membuktikan bagaimana pemerintahan Islam benar-benar menjaga kehormatan perempuan. Sebagaimana kisah yang cukup masyhur yakni pelecehan muslimah di Amuria telah menyebabkan Khalifah Al-Mu’tasim mengirimkan pasukan dan menaklukkan wilayah itu. Peristiwa ini layak menjadi pelajaran kaum muslim saat ini karena menjadi potret kegagahan Islam dalam membela perempuan.

Saat itu, memang muslimah berada di bawah perlindungan khilafah. Sebuah sistem negara yang menerapkan Islam secara kaffah dam setiap lini kehidupan. Di dalam Islam, secara individu wanita diberikan kewajiban untuk menutup aurat secara sempurna dengan memakai jilbab dan kerudung. Islam menempatkan perempuan pada posisi fitrahnya yakni sebagi ibu dan pengatur rumah tangga. Sehingga, perempuan bisa mengoptimalkan tugas mereka di rumah sebagai pendidik pertama dan utama bagi generasi. Kalaupun mereka harus mengamalkan ilmunya entah di bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya maka akan ada kemudahan untuk tetap menjalankan tugas utama mereka.

Sistem Islam juga tidak memandang perempuan sebagai objek pemuas, namun ditempatkan di posisi yang sama dengan laki-laki sebagai hamba Allah SWT. Dengan demikian, hubungan laki-laki dan perempuan akan diperbolehkan hanya di dalam ikatan yang halal yakni dalam pernikahan. Ada perintah menundukkan pandangan, menutup aurat, larangan khalwat dan ikhtilat sehingga gharizah nau' tidak begitu mudah dirangsang hingga berakhir pada perbuatan zina.

Islam juga mengatur tata kehidupan berkeluarga, sehingga masing-masing faham akan hak dan kewajiban. Berikut juga batasan interaksi dan aurat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga lainnya. Alhasil, tidak akan ada keluarga bahkan ayah yang justru mejadi pelaku kekerasan seksual. Dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi, perempuan tak diwajibkan untuk mencari nafkah. Islam mengatur urutan pihak yang wajib memberikan nafkah mulai dari keluarga hingga ke negara.

Seorang khalifah wajib memastikan masing-masing penduduk terpenuhi kebutuhan pokoknya, baik secara individu atau kolektif. Semua pembiayaan diambilkan dari kas negara di baitulmal dan dari pos kepemilikan umum. Hal ini menjadikan Islam benar-benar bisa memberikan kesejahteraan bagi ummat manusia.

Demikianlah Islam memiliki solusi sistemik dan komprehensif untuk menyelesaikan problematika kekerasan perempuan. Namun, penerapan seluruh aturan Islam tidak bisa dilakukan dalam sistem kapitalis sekuler seperti saat ini. Syariat Islam hanya akan bisa memberikan solusi kehidupan jika diterapkan secara total di dalam bingkai negara. Maka, layaklah kita menjadi bagian yang akan menyambut adanya perubahan dunia dari kapitalisme menuju Islam Rahmatan lil 'alamin. Wallahu a'lam bi showab. 

Posting Komentar untuk "Refleksi Kekerasan pada Perempuan, Akankah Bisa Dihentikan?"