Hustle Culture Phenomenon : What Should Muslim Do?





Oleh : Zahra Riyanti (Sahabat Visi Muslim Media)


Ditengah Industrialisasi yang begitu massif serta maraknya inovasi kehidupan, realita ini akhirnya menuntut semua orang untuk kontributif termasuk bekerja (life work) habis habisan yang memakan banyak waktu, orang orang bahkan bisa menghabiskan kerjanya berjam jam diatas 10 jam kerja perhari dan 45 jam perweek tanpa kenal lelah dan jenuh. 

Parahnya sebagian besar orang merasa baik-baik saja dan menganggapnya sebagai aktivitas yang produktif dan berguna? Why not? Mereka termakan dengan Bermacam macam postingan di media sosial yang nampaknya tengah mempertontokan berbagai segmentasi kehidupan para seleb dan public figure seperti daily Vlog, workaholic, shopping dan bahkan figure pekerja yang independen, postingan postingan tersebut pada akhirnya dianggap sebagai sebuah prestise yang membanggakan, cukup menggiurkan para penonton yang akhirnya melahirkan sebuah animo besar tentang pencapaian manusia dengan banyaknya materi. Sibuk dan produktif yang menimbulkan gelombang masyarakat yang turut berbaris dalam poros gila kerja yang diartikan sebagai produktifitas. 

Kaum rebahan yang drakoran atau mereka yang lulusan sarjana hanya menjadi Ibu Rumah Tangga dianggap gagal dalam sebuah pencapaian, mereka yang kerjanya ngalor ngidul tidak jelas pasca kuliah cuma diam diam wae mananti jodoh kerap kali distigma sebagai mahluk tak berfaedah, dan masih banyak contoh lagi yang selalu menjadi bahan bulli oleh kaum 'siproduktif yang penuh kesibukan' 

Laju kemajuan dan meningkatnya resistensi manusia terhadap teknologi dan digital, isu dan wacana ini seperti banjir bandang yang menyapu mindset masyarakat akan modal dan tujuan hidup manusia, Kerja tanpa batas menjadi tagline yang eksis dalam benak orang orang. Semua ini tidak lepas dari gaya hidup baru yang lahir dari sistem kapitalisme saat ini yang bernama "Hustle Culture" yang begitu menjangkiti milenial. 

Millenial adalah generasi paling vulnarable dalam isu ini bagaimana tidak usia millenial adalah range usia paling ideal dan produktif, kisarannya diantara 40-26 tahun yang merupakan usia matang dalam kiprah sosial termasuk pekerjaan yang surplus populasinya. Bukan hanya potensi usia saja para millenial juga merasa begitu bertanggung jawab menjadi generasi penengah yang disebut sebut sebagai sandwich generation yang menjadi tulang punggung 2 generasi sebelum dan sesudah (Baby boomers dan Gen-Z ) sehingga tak ayal mereka bagai magnet yang selalu hidup dalam kesibukan dan over expectation. 

Selain itu Kapitalisme saat ini, tegak menjadi sebuah sistem kehidupan yang memiliki pandangan 'profit orientied' yang selalu memburu kesenangan dunia dan hura hura tak heran membentuk generasi kita sejak dari bangku sekolah hingga perguruan tinggi melalui kurikulum yang dibuat. Pada akhirnya tak terelakkan lagi massalnya kelahiran generasi karbit 

Lantas benarkah 'hustle culture' adalah suatu budaya yang lumrah kita ambil? Sebagai seorang muslim betulkah kita harus gila kerja sampai tabu dengan 'istirahat'? Lantas bagaimana management waktu yang tepat sehingga kita tetap berkompetisi dengan tuntutan diluar sana tanpa harus abai dengan kewajiban kewajiban kita sebagai muslim dan memperhatikan kesehatan fisik? 

Islam sebagai etalase peradaban yang memfasilitasi manusia dengan segala kebutuhan pada masanya begitu memberikan arti terhadap insan manusia, mereka begitu terbantukan secara psikis dan fisik untuk bertahan hidup. Tuntutan dan parameter yang berlaku tak menggores sedikitpun luka dalam batin untuk berkompetisi dalam pusaran industrialisasi yang tidak manusiawi. Generasi muda dan kelompok masyarakat transisi tidak menjadi obyek pembajakan potensi untuk melanggengkan sistem yang berlaku. Mereka tetap setara dimata negara dalam hal hak dan kewajiban. Ditambah lagi ketaqwaan sebagai pilar negara menjadikan negara islam membuat berbagai regulasi yang mengantarkan setiap orang untuk berorientasi pada akhirat yakni tetap menjalani kehidupan manusia as usually (sanis dan teknologi dikuasai) namun akhirat yang menjadi tujuan atas semua itu. 

Ibnu sina dan Al-Khawarizmi menjadi sebuah potret generasi cemerlang dimasa islam yang begitu kontributif dan produktif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa 'kesibukan' mereka yang dibarengi ketaqwaan Khilafah tak ada hebatnya. Maryam Al asturlabi dan sejumlah muslimah yang begitu produktif mereka mampu melakukan obvervasi tanpa kenal lelah tanpa harus meinggalkan kewajiban sebagai wanita solihah dan ummu warobatul bayt. Dan juga sederet genearasi islam yang saat itu mencapai usia produktif dan ideal yang menunjukan betapa sibuknya mereka selama bertahun tahun siang dan malam beraktivitas yang tak hanya bermanfaat di dunia namun juga di akhirat. Semua itu adalah role negara islam yakni Khilafah yang mencetak output generasi muda yang bukan hanya sehat mental dan fisik tapi bekerja untuk umat yang dapat mengantarkan pada keberuntungan di akhirat. Wallahu 'alam bisshawwab. 

Posting Komentar untuk "Hustle Culture Phenomenon : What Should Muslim Do? "