Korupsi Menggila dalam Demokrasi, Butuh Solusi Syar'i

 



Oleh : Ummu Fathan 


Korupsi seolah tiada henti di negeri ini. Pemberitaan datang silih berganti, koruptor pun beragam. Orang nomor satu di Bekasi, Rahmat Effendi dibekuk dalam Operasi Tangkap Tangan KPK. 

Wali kota Bekasi bersama dengan Tiga belas orang lainnya ditangkap beserta barang bukti berupa uang tunai sejumlah Lima Miliar Rupiah.

Kpk menelisik dugaan adanya pemotongan anggaran tunjangan di beberapa kelurahan di pemeritahan Kota Bekasi atas nama Pepen. Dalam kasus ini, Pepen diduga telah menerima ratusan juta rupiah darin hasil minta "uang jabatan" kepada pegawai Pemerintah Bekasi. Kpk juga menduga pepen menggunakan banyak cara untuk memperoleh uang miliaran dari hasil intervensi proyek pengadaan barang dan jasa dari sejumlah pihak swasta (kompas.com, 4/2/2022). 

Sistem Politik Demokrasi Suburkan Korupsi 

Ada fulus maka jalanpun mulus. Istilah yang pas sebagai penggambaran nilai sebuah jabatan di sistem demokrasi. Siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka harus rela bermodal besar. Karena diperlukan proses panjang dan biaya yang tak sedikit untuk mengikuti pesta demokrasi dan memperoleh kedudukan, maka "harga mahal" demi menduduki jabatan politik pada sistem demokrasi kapitalisme tak bisa dihindari. Demi menyokong tujuan ini, merekapun akan menggandeng para pegusaha. Tak pelak lagi, ketika jabatan telah ada di tangan, kepentingan politik dan bisnis para pengusaha pun ikut andil mewarnai jabatan mereka. 

Maka tak heran ketika sudah berhasil menduduki satu jabatan, mereka akan berusaha keras memenuhi kepentingan para pemilik modal, baik itu berupa kebijakan-kebijakan yang dibuat yang nantinya akan mempermudah kepentingannya atau berupa jabatan yang seolah bayaran hutang yang harus dikembalikan. 

Terwarnailah tujuan murni para penjabat, bukan lagi menjalankan amanah namun disalahgunakan untuk jalan mengeruk kekayaan demi mempekaya diri atau kelompoknya. Alhasil, uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat rela masuk kas pribadi dan berdampak pada kemelaratan rakyat. Hak rakyat yang seharusnya diurusi kehidupannya, jadi terabaikan. Dana yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, akhirnya dinikmati oleh para elit politik. 

Ditambah lagi sikap pemerintah yang seolah tidak serius dalam memberantasnya, korupsi pun tumbuh subur di negeri ini. Sanksi yang ada tidak memberikan efek jera kepada para koruptor bahkan gerbang untuk kembali berada ke kursi jabatan masih terbuka lebar untuk para mantan koruptor. Belum lagi pelemahan KPK sebagai lembaga independen yang mendapatkan mandat memberantas korupsi, terus dilakukan. Mulai dari revisi UU KPK, dibentuknya Dewan Pengawasan KPK, dan tes wawasan kebangsaan yang soalnya tidak relevan bagi para anggota KPK. 

Bagikan benang tak berujung, gulungan kasus korupsi terus melilit negeri ini. Begitulah sistem politik kapitalisme, menyuburkan korupsi, karena sistem kapitalisme tak mampu mencabut akar korupsi. 

Solusi Syar'i untuk Korupsi 

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah Amanah, tanggung jawab itu tak hanya dihadapan manusia, tetapi juga dihadapan Allah kelak di akhirat. karena sistem Islam disandarkan pada akidah Islam yang memberikan solusi tak hanya ketika muncul masalah, tetapi juga mencegah niat manusia  melakukan korupsi. 

Islam bukan hanya agama ritual saja tetapi juga mengatur seluruh kehidupan. Begitu juga dalam hal pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin dalam Islam (Khalifah) diangkat berdasarkan kerelaan dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-quran dan As-sunah. 

Pengangkatan para pejabat tidak berbiaya tinggi, sehingga tidak ada istilah "balas budi" demi mendapat sebuah kursi. Islam pun melarang bagi para pejabat menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak syar'i baik yang diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat. 

Dalam pengangkatan pejabat dan pegawai negara, khilafah menetapkan syarat Takwa sebagai ketentuan. Karena takwa menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat. Di tambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat selalu merasa diawasi ketika melaksanakan tugasnya. 

Allah Swt berfirman dalam QS. Al-hadid ayat 4 :

" Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalam nya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan ". 

Ketika sifat takwa dan zuhud ada dalam diri  seorang pemimpin yang memandang rendah dunia dan qana'ah dengan pemberian Allah, maka pejabat dan pegawai negara akan betul-betul amanah mengemban tugas. Karena bukan dunia tujuan nya, tapi Ridha Allah dan pahala menjadi standar perbuatannya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin bukanlah untuk kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya. 

Dalam Islam, politik ri'ayah bertujuan untuk mengurusi urusan rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.

Pemerintah Islam memberikan penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping itu, biaya hidup dalam pemerintahan islam juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan bagi seluruh rakyat. 

Siapapun dengan hati ikhlas dan akal waras akan merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptur yang bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Karena korupsi hanya akan menyengsarakan rakyat dan mensejahterakan para pejabat. 

Oleh karena itu perubahan menuju ke arah Islam dalam memberantas korupsi harus disegerakan. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen dari kita semua agar sistem pemerintahan islam kaffah dapat diwujudkan. Wallahu 'Alam bish shawab 

Posting Komentar untuk "Korupsi Menggila dalam Demokrasi, Butuh Solusi Syar'i"