Dilema Kesejahteraan Ibu dan Anak
Oleh: Sri (Komunitas Muslimah Rindu Surga)
DPR RI sedang membahas RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR. Selama ini cuti melahirkan bagi istri hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi hanya tiga bulan. DPR RI kini telah sepakat untuk membawa RUU KIA dibahas lebih lanjut menjadi Undang-Undang demi menciptakan Sumber Daya Manusia yang unggul melalui pengawasan masa pertumbuhan emas anak yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak.
Pihak yang paling terdampak dari rencana kebijakan ini adalah pengusaha. Dampak terbesar bagi dunia usaha adalah turunnya produktivitas pekerja akibat rencana kebijakan ini. Ada potensi perusahaan bongkar muat karyawan baru demi menambal kekosongan yang ada, padahal mereka sedang melakukan recovery pascapandemi yang cukup panjang.
Tidak dapat dipungkiri, problem kesejahteraan ibu dan anak (KIA) di Indonesia memang masih menjadi masalah yang krusial. Dimulai dari persoalan jaminan kesehatan, pendidikan, sosial, dan hak-hak lainnya yang tentu hal ini berkaitan dengan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2021, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,71 persen. Dengan kata lain, jumlah penduduk miskin bertambah 1,72 juta orang dibandingkan periode yang sama pada 2019. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.
Ironisnya selama ini pemerintah selalu mengklaim keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan. Fakta tentang kemiskinan ini tidak bisa diabaikan karena akan banyak masalah-masalah sosial yang lahir dari problem kemiskinan ini namun tak kunjung ada pangkalnya.
Dampak dari kemiskinan terhadap kondisi sosial ekonomi ibu dan anak antara lain terlihat dari angka kematian ibu dan gizi buruk serta kasus stunting yang masih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu mencapai 4.627 jiwa pada 2020. Angka tersebut meningkat 10,25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya 4.197 jiwa. Sedangkan menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut angka stunting di Indonesia masih mencapai 24,4 persen. Angka ini masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen.
Krisis ekonomi dan kesehatan global seringkali diklaim sebagai penyebab situasi buruk ini terjadi. Padahal, problem kemiskinan yang berimplikasi pada rendahnya taraf kesejahteraan anak dan ibu, sejatinya telah menjadi ciri khas yang terus melekat pada sistem hidup yang diterapkan oleh para pemangku kekuasaan.
Terbukti dari rezim ke rezim problem kemiskinan tidak pernah bisa dientaskan hingga nasib rakyat, termasuk ibu dan anak yang nyaris tergadaikan. Problem kemiskinan yang berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan ibu dan anak, sejatinya berakar dari sistem hidup sekuler kapitalisme yang diterapkan.
Negara dan penguasa dalam sistem ini juga tak berfungsi sebagai pelayan umat. Negara hanya melayani kepentingan kekuatan modal. Tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan seringkali berselisih dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Yang lebih miris, proyek-proyek pengentasan kemiskinan, seperti bantuan-bantuan sosial, faktanya hanya menjadi komoditas politik yang dijual demi kepentingan meraih simpati rakyat di ajang lima tahunan.
Dalam situasi inilah RUU KIA diajukan. RUU ini sejatinya hanya solusi tambal sulam yang tidak akan pernah bisa mencapai tujuan. Karena sejatinya problem kesejahteraan ibu dan anak tak sekadar problem teknis soal seberapa banyak jumlah cuti melahirkan dan keguguran. Problem kesejahteraan anak dan ibu sejatinya menyangkut soal paradigma kepemimpinan dan penerapan sistem aturan yang diterapkan. Apakah mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara keseluruhan?
Solusi Islam
Kemampuan Islam dalam menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk ibu dan anak bukan sekadar isapan jempol. Sejarah telah membuktikan, kehidupan masyarakat Islam pada era Khilafah sepanjang belasan abad benar-benar diliputi kebaikan dan keberkahan. Terkait jaminan kesejahteraan anak dan ibu, Islam memberi aturan yang begitu komplet. Strategi politik ekonomi Islam yang diterapkan, membuat distribusi kekayaan berjalan ideal dan optimal.
Tidak boleh ada kekayaan yang dikuasai segelintir orang karena Islam mengatur soal kepemilikan, antara lain mengatur bahwa kekayaan alam yang luar biasa besar ini adalah milik rakyat secara keseluruhan. Negara diamanahi oleh Islam untuk mengelolanya dengan optimal demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Posting Komentar untuk "Dilema Kesejahteraan Ibu dan Anak"