Pengesahan UU PPP itu Bentuk Justifikasi UU Omnibus Law Ciptaker?
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)pada 24 Mei 2022. Alibi yang digunakan untuk merevisi UU PPP No 12 Tahun 2011 lalu mengarahkannya adalah sebagai pelaksanaan putusan MK terkait UU Omnibus Law Ciptaker.
MK dalam putusannya memerintahkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki UU Omnibus Law Ciptaker. Menurut hasil judicial review bahwa Omnibus Law Ciptaker itu inkonstitusional bersyarat. Jadi MK memberikan tenggat waktu dalam 2 tahun guna perbaikan Omnibus Law Ciptaker. Dalam perbaikannya benar-benar mewujudkan partisipasi masyarakat yang bermakna.
Hanya saja Pemerintah dan DPR menjawab dengan merevisi UU PPP. Dalam UU PPP yang baru saja disahkan, dimasukkan model UU Omnibus Law. M Isnur dari YLBHI mengendus adanya akal-akalan pemerintah dan DPR dalam hal ini. Artinya pemerintah dan DPR telah membuat payung hukum terhadap UU Omnibus Law Ciptaker. Padahal dalam UU PPP sebelum direvisi, UU Omnibus Law Ciptaker itu inkonstitusional, bahkan bisa dicabut. Demikian yang dijelaskan pula oleh Feri Amsyari dari Universitas Andalas.
Yang bermasalah juga adalah terkait proses revisi dan pengesahan UU PPP yang terburu-buru, tertutup dan tidak transparan. Seharusnya pembahasan revisi dan pengesahan UU PPP masuk prolegnas, dan tidak terburu-buru.
Putusan MK bersifat mengikat. MK mengamanatkan untuk memperbaiki UU Omnibus Law Ciptaker, bukan UU PPP. Dalam hal ini, MK juga setengah hati. UU Omnibus Law Ciptaker sudah jelas tidak ada pijakan dasar hukumnya di UU PPP No 12 Tahun 2011. Kodifikasi UU model Omnibus Law itu akan menyulitkan di dalam monitoring dan evaluasinya. Artinya peluang manipulasi dan pasal pesanan masih terbuka lebar.
Adapun tinjauan dari isi UU Omnibus Law Ciptaker jelas wujud rasa tidak adil bagi pekerja. Amnesti Internasional sendiri menyatakan bahwa UU Omnibus Law Ciptaker berpotensi melanggar HAM, khususnya bagi pekerja. Di antaranya adalah tidak adanya batasan maksimal status kontrak pekerja. Tentunya ini akan dipakai perusahaan untuk memperkerjakan karyawan dengan status kontrak seterusnya. Mengingat status kontrak itu gajinya lebih rendah dari status pegawai tetap. Begitu pula penambahan waktu lembur. Awalnya dari 3 jam per hari menjadi 4 jam per hari, 14 jam per minggu menjadi 18 jam per minggu. Ditambah lagi mekanisme pembiayaan pegawai, perusahaan bisa menetapkan sesukanya. Belum lagi pemangkasan hak-hak pekerja dalam masalah cuti yang melekat misalnya cuti melahirkan dan cuti nikah. Alasannya cuti demikian merupakan tambahan dari cuti 12 hari setahun.
Jadi UU Omnibus Law Ciptaker termasuk eksploitasi pekerja bagi kepentingan pengusaha. Apalagi dalam pengesahannya juga terburu-buru, tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. 14 Serikat buruh yang diklaim dilibatkan, faktanya mereka tidak dilibatkan dalam menyusun Omnibus Law Ciptaker.
Mengenai Omnibus Law Ciptaker yang digadang-gadang akan meningkatkan investasi di Indonesia. Pasca pandemi ini Indonesia membutuhkan modal pembangunan yang besar, maka investasi harus ditingkatkan, klaim manfaat Omnibus Law Ciptaker. Bahkan dinyatakan jika investasi itu sudah sejak dulu ada di Indonesia, kok baru sekarang dipersoalkan.
Persoalannya investasi yang ada di Omnibus Law Ciptaker telah memberikan peluang bebas bagi para pengusaha dalam menguasai kekayaan alam negeri ini. Jika demikian halnya, maka investasi menjadi bencana ekonomi dan sosial bagi Indonesia. Model investasi yang bebas hanya memperburuk, baik di masa dulu maupun sekarang.
Demikianlah kodifikasi hukum dan undang-undang di dalam sistem sekuler. Kepentingan kesejahteraan lahir batin rakyat tidaklah menjadi prioritas utama. Standar yang digunakan adalah kepentingan materi dan keuntungan. Jual beli hukum dan undang-undang kerapkali terjadi. Hal ini bisa terjadi karena kekuasaan terbentuk dari sebuah proses yang mahal. Tentunya para kapital besar akan siap menjadi cukong-cukong kekuasaan. Dari sini lahirlah korupsi kebijakan.
Merumuskan Perundangan yang Berkeadilan
Pijakan asas dari suatu perundangan perlu diperjelas. Jika asasnya sekulerisme, maka akan lahir perundangan yang bercorak sekuler. Yang penting untung. Rasa keadilan sulit didapatkan.
Sedangkan bila asas pijakannya adalah keyakinan mayoritas rakyat negeri ini yakni Aqidah Islam, tentunya akan lahir perundangan yang islami. Halal haram menjadi standar perbuatan. Kesejahteraan rakyat menjadi orientasinya. Bukankah pemimpin yang memberatkan rakyatnya, termasuk mendholimi rakyatnya, didoakan Rasul Saw dalam kesengsaraan di akherat??
Tentu saja sebagai muslim, kita mengambil peraturan perundang-undangan Islam. Rasul Saw telah menjamin kita tidak akan tersesat selama-lamanya sepanjang masih berpegang Teguh dengan Qur'an dan Sunnah Nabi Saw.
Dalam persoalan akad ijarah antara buruh dan majikan. Islam menetapkan bahwa gaji buruh itu didasarkan manfaat tenaga dan atau jasa yang dikeluarkan buruh. Standar penggajian dikembalikan pada harga bursa tenaga kerja. Jika terjadi konflik antara buruh dan majikan, keputusannya dikembalikan kepada Khubaroh yang ditunjuk negara. Khubaroh akan menyelesaikan sengketa dengan seadil-adilnya.
Negara tidak menetapkan gaji minimum. Karena penetapan gaji minimum itu termasuk mengurangi hak pekerja untuk bisa sejahtera secara layak. Di samping itu, negara telah berlepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Kalaupun seorang pekerja bergaji sedikit yang tentunya tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, maka negara turun tangan. Negara sadar bahwa menyediakan fasilitas kesehatan terbaik dan terjangkau bahkan gratis adalah tanggung jawabnya. Dengan begitu semua rakyat kaya maupun miskin dapat mengenyam fasilitas-fasilitas yang disediakan negara.
Negara dalam tugasnya menyejahterakan rakyatnya tetap memperhatikan rambu-rambu syariat. Pada sektor kepemilikan umum seperti kekayaan alam, negara akan mengelolanya dengan maksimal. Tidak ada investasi dalam sektor ini.
Sedangkan pada sektor kepemilikan negara, bisa mengundang investor. Hanya saja pengelolaan negara dalam hal ini tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Yang lebih penting lagi adalah adanya aktivitas koreksi dari rakyat kepada penguasa. Islam telah mewajibkan umatnya untuk mengoreksi kekuasaan bila terindikasi adanya penyimpangan kekuasaan. Aktifitas mengoreksi kekuasaan ini akan mampu menjamin kelurusan jalannya pemerintahan.
Dengan mengambil peraturan perundang-undangan Islam, akan mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Pelaksana undang-undang bersikap amanah. Pelaksananya adalah seorang Kholifah dalam wadah al-Khilafah Islam. Demikian pula rakyatnya adalah rakyat yang peduli akan terwujudnya segala kebaikan.
#05 Juni 2022
Posting Komentar untuk "Pengesahan UU PPP itu Bentuk Justifikasi UU Omnibus Law Ciptaker? "