Darurat PMK Akibat Impor Sapi?
Oleh: Ummu Rufaida ALB (Pegiat Literasi dan Kontributor Media)
Kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PNBP), Suharyanto, menetapkan Status Keadaan Tertentu darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Status ini tertuang dalam surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 47 tahun 2022 yang ditandatangani pada 29/06/2022 dan berlaku hingga 31/12/2022. (detik.com, 02/07/2022)
Koordinator Tim Pakar Saturan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Wiku Adisasmito melaporkan ada total 21 provinsi yang telah melaporkan adanya kasus PMK. Terdapat 317.889 kasus dari angka tersebut 106.925 ekor hewan sembuh. Sejumlah provinsi dengan angka infeksi PMK pada kabupaten/kota diatas 80 persen yakni Jawa Barat (96 persen), Sumatera Barat (84 persen), Jambi (81 persen) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (80 persen). (tempo.co, 08/07/2022).
Kementerian Pertanian (Kementan), Syahrul Yasin Limpo mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah terbebas dari wabah PMK selama 32 tahun, sebelum PMK kembali mewabah tahun ini. Ia menambahkan bahwa untuk menghadapi wabah ini tidak bisa satu sektor atau kementerian saja yang bergerak tetapi harus bersama-sama dengan para camat. Sebab camat yang paling mengetahui wilayah, kebutuhan dan harapan rakyat di wilayahnya. (tribunnews.com, 09/07/2022)
Disisi lain, penyebab maraknya penyebaran PMK pada hewan ternak diduga berasal dari keputusan Kementan untuk mengimpor sapi dari India, sementara India belum dinyatakan bebas PMK. Ketika akhirnya Kementan mengimpor sapi dari India yang harganya lebih murah, sontak wabah PMK menyebar di seluruh Indonesia. Ribuan ternak warna tiba-tiba mati secara bersamaan di berbagai daerah. (republika.co.id, 12/06/2022)
Pemerintah memang telah membuka keran impor sapi atau daging sapi (bahan pangan) untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ini merupakan dampak berlakunya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi kemudahan bagi aktivitas impor. Akibatnya saat ini pemerintah justru seolah mengupayakan agar aktivitas impor dapat terlaksana optimal. Sehingga yang menjadi kekhawatiran dikalangan peternak dan pengusaha sapi lokal adalah produksi sapi dalam negeri akan menurun dan tidak bisa bersaing dengan sapi impor.
Mencermati hal ini, kita bisa memprediksi bahwa keberadaan PMK tidak terlalu dianggap sebagai masalah besar oleh pemerintah. Meski jamak diketahui bahwa ini adalah penyakit berbahaya bagi ternak sapi, yang berpotensi datang dari sapi luar negeri. Namun, tetap orientasi kebijakan yang akan diambil tampaknya tidak jauh dari terminologi impor. Sungguh, aroma kapitalisasi ternak sapi/daging sapi tetap tercium tajam.
Maka wajar jika pemerintah tetap akan mengimpor sapi/daging sapi meski wabah PMK ini sedang merebak. PMK tidak juga membuat pemerintah menyusun roadmap pemberdayaan peternakan nasional menuju swasembada pangan (daging). Malah, tidak menutup kemungkinan justru pemerintah akan menggalakan investasi asing untuk membuka peternakan mereka di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah sentra ternak sapi, seperti di kawasan Indonesia Timur.
Seharusnya pemerintah lebih serius lagi, terlebih masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tentu menggunakan sapi sebagai hewan kurban. Bukan hanya kebutuhan sapi yang harus terpenuhi, pemerintah juga harus mengutamakan kesehatan, keamanan dan memiliki standar tegas untuk produk-produk yang masuk ke dalam negeri. Guna melidungi kesehatan dan keamanan masyarakat secara umum.
Inilah potret kebijakan dalam sistem kapitalisme yang sarat kepentingan (ekonomi dan politik) serta berbasis untung rugi. Tanggung jawab Negara secara optimal hanya bisa terwujud oleh penerapan sistem Islam yakni khilafah. Rasulullah bersabda: “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Maka, penguasa muslim yang memerintah dalam sistem khilafah akan mengamalkan hadits ini dengan maksimal, agar pengurusan urusan umat dapat terselenggara dengan baik.
Dalam hal penyediaan daging sapi sebagai bahan pangan, khalifah akan mengupayakan kebijakan terbaiknya, yakni kebijakan yang mampu mencapai kebutuhan individu per individu. Namun apabila impor terpaksa dilakukan, akan disertai dengan kebijakan transfer analisis dan teknologi pangan sehingga produk dalam negeri pun tetap bisa berkembang. Sebab khilafah tidak akan menggantungkan kebutuhan publik pada aktivitas impor.
Khilafah juga akan memiliki program yang jelas agar peternakan dalam negeri tidak hancur dan terus berkembang pesat. Disisi lain, khilafah akan mengoptimalkan pendidikan peternakan dan sarana kemajuan teknologi. Namun yang paling dasar adalah Negara harus memiliki mindset untuk bisa mandiri dan berdaulat terkhusus pada ketahanan pangan.
Alhasil, khilafah akan berupaya memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya dan akan menetapkan standar yang jelas untuk melindungi warga negaranya. Pun khilafah akan memaksimalkan potensi sumber daya alam dan manusianya sehingga mandiri dalam memproduksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. []
Posting Komentar untuk "Darurat PMK Akibat Impor Sapi? "